Pemerintah Menargetkan Penanaman 4 Miliar Pohon

Pemerintah Menargetkan Penanaman 4 Miliar Pohon

[JAKARTA] Indonesia telah menargetkan penanaman 4 miliar pohon hingga 2020, mengupayakan pembentukan hutan kemasyarakatan dan hutan desa, serta merehabilitasi 500.000 hektare lahan kritis setiap tahun. Langkah itu disiapkan untuk membantu mengurangi pemanasan global dan mencapai target penurunan emisi 26 persen pada 2020. Hal tersebut dikemukakan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan (Dephut), Indriastuti di Jakarta, Senin (21/12), terkait langkah konkret pemerintah pasca-Konferensi Perubahan Iklim COP ke-15 UNFCCC di Kopenhagen, Denmark.

"Pada 2050 kita menargetkan penanaman 9,3 miliar pohon. Jika separuhnya saja bisa bertahan, pohon-pohon yang ditanam itu akan menyerap 50 miliar metrik ton karbon," katanya.

Data Dephut menunjukkan pada tahun ini, pemerintah menargetkan menanam 230 juta pohon melalui program "one man one tree".

Sedangkan, pada 2007, terealisasi penanaman 86,98 juta batang pohon dari rencana 79 juta pohon dan pada 2008, telah ditanam 108,94 juta pohon dari rencana 100 juta pohon.



Dikatakan, untuk merehabilitasi 500.000 hektare lahan kritis dibutuhkan anggaran Rp 3 triliun dan saat ini Dephut hanya memiliki dana Rp 644 miliar.

Sebelumnya, dalam perjalanan dari Kopenhagen menuju Jakarta, Presiden SBY menyatakan pemerintah akan menyiapkan sejumlah langkah konkret pascakonferensi di Kopenhagen. "Indonesia melangkah terus agar peluang tidak hilang. Kita telah berjuang dan berupaya, hasilnya seperti itu, pandailah kita dapat peluang dan melangkah untuk lingkungan kita, agar mendorong perkembangan ekonomi kita," katanya.

Indonesia mengharapkan adanya penajaman-penajaman kesepakatan dan bisa dibawa dalam konferensi serupa yang akan berlangsung di Meksiko pada akhir 2010. "Di samping rencana aksi nasional yang sudah dimutakhirkan, maka kita pastikan dilampiri oleh rencana aksi daerah-daerah. Dengan demikian tidak perlu menunggu sempurna protokol baru," ujarnya.

Salah satu hal yang membuat Indonesia menilai positif Kesepakatan Kopenhagen adalah diadopsinya usulan Indonesia tentang pengelolaan hutan. "Tentang hutan yang tadinya kurang balance, seolah hanya memberikan kewajiban pada negara yang miliki hutan tropis dan tidak ada klausul insentif apa yang diberikan negara maju. Atas perjuangan kita, masuk gamblang sekali, mekanisme pendanaan dan sebagainya," kata Presiden.

Pada kesempatan itu, Presiden mengaku sedikit kecewa karena usulan atas peningkatan dana bantuan negara maju bagi negara-negara berkembang untuk asistensi pencegahan perubahan iklim dan mitigasi sebesar US$ 25 miliar hingga US$ 35 miliar dari 2010 hingga 2012 hanya disepakati berada pada angka US$ 10 miliar. Walau demikian, Presiden mengatakan Indonesia harus tetap bekerja, selain bagi kebaikan global, khususnya bagi kebaikan Indonesia sendiri.


Stop Eksploitasi Hutan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Berry Nahdian Furqon menyatakan sebagai bukti keseriusan pemerintah merealisasikan target penurunan emisi hingga 26 persen pada 2020, Presiden SBY harus menghentikan dan mengevaluasi semua perizinan eksploitasi hutan alam yang digunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan.

"Langkah konkret yang harus dilaksanakan pemerintah adalah menghentikan pembukaan lahan untuk konversi hutan dan semua perizinan eksploitasi hutan, seperti HPH dan HTI. Tidak ada lagi konversi hutan gambut ataupun hutan alam untuk perkebunan sawit dan pertambangan," katanya.

Dikatakan, evaluasi itu harus dilakukan karena banyak pemegang izin pengelolaan hutan telah melanggar undang-undang dan menyebabkan kerusakan lingkungan luar biasa. Para perusak lingkungan itu harus diberi sanksi berat.

Selain itu, Presiden juga harus membenahi koordinasi antarinstansi yang mengurus hutan dan lingkungan, sehingga ada skema dan agenda yang jelas untuk dikerjakan bersama ke depan. "Kami minta Presiden SBY tidak beretorika lagi dan harus benar-benar memimpin langsung rencana aksi untuk merealisasikan target penurunan emisi hingga 26 persen. Presiden harus mau mengecek langsung dan berani memberi sanksi keras bagi aparat birokrasi di bawahnya yang hanya main-main dan tidak mau melaksanakan program lingkungannya," tegasnya [S-26/M-17/Ant/E-7](SP, Senin, 21 Desember 2009, Hal Utama)

Jangan Ada Lagi Jamban Terbang



SP/Luther Ulag

Seorang warga memanfaatkan jamban terapung di Sungai Ciliwung, Jatinegara, Jakarta Timur, baru-baru ini. Selain itu, warga juga memanfaatkan sungai tersebut untuk mandi dan mencuci pakaian.

Jorok dan menjijikkan, namun sangat menggelitik. Itulah kesan pertama saat menyaksikan foto-foto gaya bebas masyarakat Indonesia membuang hajat, yang dipamerkan di sela-sela Pertemuan Puncak Sanitasi Kota se-Indonesia VI (City Sanitation Summit) di Jambi, pekan lalu.

Pengunjung dipaksa terenyum dan tertawa menyaksikan foto-foto berbagai model buang air besar sembarangan (BABS) di sungai, selokan, sawah, dan di jamban darurat sekitar rumah. Apalagi, dilampiri judul-judul yang menggelitik semisal enjoy saja dan mencari inspirasi.

"Ini fakta. Apa adanya, tetapi menarik juga. Foto-foto tersebut menunjukkan betapa buruknya sanitasi di tengah kehidupan masyarakat kita saat ini," kata Harlik, pejabat Pemkot Jambi mengomentari pameran foto tersebut.

Buruknya sanitasi yang terekam melalui pameran foto tersebut, ternyata bukan karena kesabaran tukang potret mengintip orang yang sedang buang hajat di jamban khas masyarakat miskin Indonesia. Tetapi itulah kondisi yang terjadi di sebagian besar daerah di Tanah Air. Orang kurang peduli masalah kebersihan dan kesehatan, sehingga mengabaikan bahaya membuang hajat, membuang sampah, dan membuang limbah rumah tangga secara sembarangan.

Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) Nasional, Handy B Legowo pada diskusi sanitasi tersebut mengemukakan, sanitasi di Indonesia tergolong sangat buruk. Cakupan pelayanan sanitasi terhadap masya- rakat Indonesia juga masih rendah.

Handy, yang juga menjabat Kepala Sub Direktorat Pengembangan Sistem Air Limbah, Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (PU) mengungkapkan, hampir 30 persen penduduk Indonesia saat ini masih buang hajat secara sembarangan.

Dari jumlah itu, sekitar 18,1 persennya tinggal di permukiman kumuh perkotaan. Secara akumulasi, hampir 60 juta penduduk Indonesia masih BABS.

Sebaliknya, penduduk yang telah merasakan pelayanan sanitasi dasar di per-kotaan baru mencapai 71,06 persen, dan di pedesaan sekitar 32,47 persen.

Sanitasi dasar yang yang baik tersebut antara lain air bersih, tempat pembuangan sampah, serta sarana mandi, cuci, kakus (MCK).

"Biasanya warga masyarakat BABS di jamban-jamban darurat khas Indonesia, seperti di pinggir kali, pantai, selokan, sekitar rumah, kebun, dan lapangan terbuka lainnya. Tak jarang warga yang tak punya fasilitas jamban, membuat jamban terbang. Buang hajat menggunakan penampung lalu di buang ke sembarang tempat, bahkan ada yang nyangkut di atas pohon," katanya.

Paling Buruk

Dilihat dari rendahnya cakupan pelayanan sanitasi, kata Handy, kondisi di Indonesia tergolong paling buruk di ASEAN. Cakupan pelayanan sanitasi di Indonesia masih berada di bawah Vietnam, Malaysia, dan Myanmar.

"Hal itu tercermin dari 98 persen tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Indonesia masih bersifat open dumping (terbuka dan tanpa pengolahan)," ujarnya.

Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang telah menikmati pelayanan sanitasi dasar saat ini baru mencapai 57 persen. Sedangkan Thailand sudah mencapai 96 persen, Malaysia 74,70 persen, dan Myanmar 64,48 persen. "Indonesia peringkat tujuh di ASEAN, hanya unggul dari Kamboja yang cakupan pelayanan sanitasi sekitar 28 persen," katanya.

Buruknya sanitasi, mengakibatkan 53 sungai yang menjadi sumber air bersih di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar. Sungai-sungai tersebut umumnya dijadikan tempat pembuangan air limbah domestik. Ironisnya, sebagian besar masyarakat menggunakan air yang sama untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, seperti memasak, mandi, dan mencuci.

Kondisi demikian mengakibatkan warga sangat rentan penyakit diare, polio, tipus, dan penyakit kulit. Sanitasi yang buruk dan air sungai yang tercemar tersebut memicu kematian akibat diare di Indonesia kini mencapai 100.000 orang per tahun.

Kerugian ekonomi akibat air sungai tercemar dan sanitasi yang buruk juga cukup besar. Berdasarkan penelitian Bank Dunia pada 2008, buruknya sanitasi di Indonesia mengakibatkan kerugian hingga Rp 56 triliun per tahun, atau sekitar 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto. "Pihak yang paling banyak dirugikan, ya, penduduk miskin juga," kata Menteri Pekerjaan Umum melalui Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Departemen PU, Susmono, saat membuka pertemuan.

Anggaran Kecil

Buruknya sanitasi di Indonesia sebenarnya tak lepas dari kecilnya anggaran pembangunan sanitasi selama ini. Dalam lima tahun terakhir, anggaran untuk sektor sanitasi kurang dari 1 persen dari volume belanja APBN dan APBD. Akibatnya, selama 30 tahun (1974-2004), anggaran sanitasi penduduk Indonesia rata-rata hanya Rp 200 per orang per tahun. Idealnya biaya sanitasi mencapai Rp 47.000 per orang per tahun.

Secara nasional, anggaran sanitasi setiap tahun hanya Rp 600 miliar. Padahal anggaran yang dibutuhkan untuk membangun sanitasi yang layak mencapai Rp 6 triliun.

Alokasi anggaran sanitasi pun cenderung kurang transparan, karena digabung dengan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) air minum. Akibatnya dana untuk pembangunan sanitasi selalu rendah, dan pembangunan sanitasi pun relatif sedikit.

Dari sekitar Rp 1,2 triliun DAK air minum dan sanitasi tahun 2009, hanya Rp 300 miliar atau 25 persen yang dialokasikan untuk pembangunan sanitasi. Karena itu selama tahun ini hanya 100 paket pembangunan sanitasi yang bisa dilaksanakan.

Pada akhirnya, percepatan pembangunan sanitasi sangat penting, bukan saja untuk membebaskan penduduk Indonesia dari kehidupan yang kumuh, tetapi juga karena menjadi salah satu program tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Program MDGs menetapkan, hingga tahun 2015 harus dapat mengurangi hingga separuh penduduk dunia yang tidak mempunyai akses berkelanjutan untuk memperoleh air minum dan sanitasi dasar.

Untuk itu, Departemen PU telah memisahkan anggaran dana air minum dan sanitasi dalam DAK. Mulai 2010, DAK sanitasi dialokasikan Rp 357 miliar. Dana tersebut akan dimanfaatkan membangun 1.000 paket sarana dan prasarana sanitasi di 449 kota dan kabupaten yang telah memiliki strategi sanitasi kota.

Selain itu, Departemen PU juga akan mengembangkan infrastruktur persampahan di 240 kabupaten/kota, pembangunan 1.500 unit fasilitas pengelolaan sampah, pengembangan infrastruktur drainase di 50 kabupaten/kota, serta normalisasi saluran drainase di 100 kabupaten/kota.

Langkah lainnya, mengkampanyekan pengelolaan sampah melalui pola 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (penggunaan kembali), dan recycle (pengolahan kembali). Upaya itu disertai pembangunan TPA sampah berwawasan lingkungan dan pengurangan genangan sekitar 22.500 hektare di 100 kota. [SP/Radesman Saragih](Suara Pembaruan, Sabtu, 31/10/09 : Halaman 1/Utama)
Memanjakan Pengunjung Museum di Kota Jambi

Memanjakan Pengunjung Museum di Kota Jambi

Rendahnya kunjungan wisata ke museum sebagai pusat wisata sejarah selama ini banyak dipengaruhi kurangnya kegiatan rekreasi yang digelar di arena museum. Masyarakat cenderung enggan berkunjung ke museum kalau hanya melihat-lihat benda-benda bersejarah yang dinilai banyak orang hanya barang kuno.

Kecenderungan seperti itu juga terjadi di dunia pariwisata Provinsi Jambi. Museum di daerah itu sepi kunjungan karena di museum sangat jarang digelar kegiatan rekreasi yang mampu menyedot perhatian pengunjung.

Menyikapi kondisi yang kurang mendukung pengembangan wisata sejarah itu, pihak Museum Negeri dan Museum Perjuangan Rakyat Jambi terus menggencarkan berbagai kegiatan rekreasi, seni, budaya, dan pendidikan di arena museum. Sasaran utama kegiatan tersebut umumnya anak-anak dan remaja.

Kepala Museum Perjuangan Rakyat Jambi Herman di Jambi, baru-baru ini menjelaskan, pihaknya telah beberapa kali menggelar kegiatan rekreasi, seni budaya dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah di arena museum tersebut. Tujuannya, tak lain untuk menggairahkan minat anak-anak dan generasi muda mengunjungi museum.

Lomba menggambar dan mewarnai tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) Kota Jambi digelar di arena museum di pusat kota itu, baru-baru ini. Setelah lomba tersebut, anak-anak diberi kesempatan melihat-lihat berbagai koleksi benda bersejarah di dalam gedung museum.

Kegiatan lain yang digelar di Museum Perjuangan Rakyat Jambi sebelumnya, yakni seminar sejarah perjuangan Jambi dan pameran teknologi tepat guna Juli - Agustus lalu. Secara insidentil, pihak Museum Perjuangan Rakyat Jambi juga bekerja sama dengan berbagai sekolah melakukan kegiatan ekstrakurikuler di museum tersebut. Semua kegiatan tersebut dijadikan sebagai perangsang minat generasi muda mengunjungi museum.

Pantauan SP, koleksi Museum Perjuangan Rakyat Jambi di Jalan Sultan Agung Kota Jambi sebenarnya tidak kalah dari koleksi museum di berbagai daerah di Tanah Air. Untuk wilayah Provinsi Jambi, koleksi Museum Perjuangan Rakyat Jambi paling lengkap.

Museum tersebut cukup layak dijadikan objek wisata sejarah andalan di Sumatera. Museum ini sering dijadikan barometer pengelolaan museum tingkat nasional karena koleksinya cukup lengkap. Pada pameran museum nasional di Sumatera Barat, Mei 2009, Museum Perjuangan Rakyat Jambi mampu memikat pencinta permuseuman karena koleksinya lengkap dan terawat.

Cukup Banyak

Museum yang diresmikan Presiden Soeharto tahun 1997 itu menyimpan koleksi cukup banyak. Koleksi tersebut, antara lain mata uang Kesultanan Jambi. Mata uang koin yang diperkirakan dibuat tahun 1840 itu bertuliskan Arab berbunyi "Sanat 1256".

Koleksi replika pesawat catalina RI 005 merupakan pesawat yang disewa oleh Dewan Pertahanan Daerah Jambi dari seorang mantan penerbang Royal Australian Air Force (RAAF) Kobley.

Pesawat itu digunakan untuk perjuangan mempertahankan dan melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pesawat tersebut menjadi pengangkut senjata, makanan, pakaian, dan perlengkapan militer serta sipil untuk wilayah Kota Jambi, Bukittinggi, Sumatera Barat, Rantauprapat, Sumatera Utara, Banda Aceh, Tanjungkarang, Provinsi Lampung, Yogyakarta, dan Singapura. Pesawat tersebut jatuh di Sungai Batanghari, dekat Desa Sijenjang, 29 Desember 1948.

Koleksi lain yang paling banyak mengisahkan heroisme dan patriotisme Jambi mengusir penjajah Belanda ialah patung, gambar, dan catatan sejarah perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin dengan senjata Keris Siginjei.

Keris yang dibawa Belanda ke Batavia setelah Sultan Thaha gugur, kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Keris Siginjei merupakan pusaka secara turun-temurun Kesultanan Jambi. Keris yang bersarung emas berhiaskan permata itu merupakan lambang pemersatu masyarakat Jambi. Sultan Thaha Syaifuddin menjadi sultan terakhir yang memiliki keris tersebut.

Kepala Museum Perjuangan Rakyat Jambi Herman menjelaskan, peninggalan sejarah yang menjadi koleksi unggulan dan masih terpeli-hara ialah patung, gambar, dan kisah perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin Jambi ser-ta replika pesawat terbang catalina.

Karena itu, pihaknya memajang patung, gambar, dan kisah perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin Jambi di ruang depan museum itu. Replika pesawat catalina dipajang di halaman depan museum agar bisa dilihat masyarakat yang melintas setiap saat.

Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mengatakan, benda-benda peninggalan sejarah yang tersimpan di seluruh museum di Jambi perlu dirawat dan diamankan agar jangan sampai rusak atau hilang. Benda-benda bersejarah di museum perlu dilestarikan agar dapat dijadikan sebagai bahan penyemaian nilai-nilai kejuangan dan nasionalisme di kalangan generasi muda.

Koleksi benda-benda bersejarah di museum Jambi banyak menyimpan kisah perjuangan rakyat Jambi mengusir penjajah. Kisah tersebut, kini banyak dilupakan masyarakat Jambi karena kehadiran museum semakin terabaikan.

"Untuk itu, museum ini harus bisa dikelola dengan baik. Pengelola museum perlu membuat paket-paket rekreasi sejarah yang menarik di arena museum agar pengunjung museum meningkat," katanya. [SP/Radesman Saragih](Suara Pembaruan, Sabtu, 7/11/09: Nusantara)
Srikandi Batik dari Jambi

Srikandi Batik dari Jambi

Keterpurukan usaha kerajinan batik tradisional di Jambi akibat lonjakan harga berbagai bahan baku beberapa tahun belakangan ini, ternyata tidak membuat Nafizah (30) patah arang. Pada saat pengusaha batik bertumbangan akibat mahalnya biaya produksi dan sulitnya pemasaran, usaha milik Nafizah, "Dua Putri" tetap eksis.
Nafizah mampu mempertahankan usaha yang dikelolanya sejak 1994. Kiatnya, tak henti membuat terobosan jitu mencari bahan baku alami dan murah untuk mengatasi mahalnya bahan baku pembuatan batik. Di antaranya, penemuan zat pewarna batik tradisional dari bahan-bahan alam seperti kulit kayu, bunga-bungaan, daun-daunan, dan buah-buahan. Zat-zat pewarna alam penemuan Nafizah tersebut meliputi kulit kayu bulian, kulit batang daun salam, daun salam, daun alpukat, daun mangga, buah mengkudu, bunga bugenvil, dan kulit buah jengkol.
Perjuangan Nafizah menemukan zat-zat pewarna alternatif itu ternyata tidak hanya mampu mengatasi kesulitan modal usaha sanggar batiknya. Penemuan itu justru melambungkan namanya di tingkat nasional. Anak bungsu dari lima bersaudara itu berhasil merebut gelar Juara II Pemuda Pelopor Tingkat Nasional tahun 2005.
Di rumahnya yang sekaligus menjadi sanggar batik di Kelurahan Jelmu, Kecamatan Pelayangan, Seberang Kota Jambi (Sekoja), Nafizah mengaku terpaksa melirik kulit kayu menjadi zat pewarna karena mulai kesulitan membeli zat-zat pewarna kimia. Srikandi batik dari Sekoja itu terpikir untuk memanfaatkan kulit kayu setelah mendapatkan masukan dari orangtuanya. Banyak kulit kayu di Jambi yang memiliki warna. Di antaranya kayu bulian dan kayu samak merah. Kulit kayu tersebut mudah diperoleh karena banyak yang hanyut di Sungai Batanghari selama ini.
Beberapa kali mencoba, usaha itu berhasil. Nafizah mencari jenis-jenis bahan lain untuk zat pewarna alami. Dia pun mencoba mengolah kulit kayu daun salam, daun salam, daun mangga, daun alpukat, bunga bugenvil dan buah mengkudu untuk zat pewarna.
Terakhir, menjelang lomba Pemuda Pelopor, Oktober 2005, ia mencoba mengolah kulit atau cangkang buah jengkol menjadi zat pewarna. Juga berhasil. Upaya itu yang mengantarnya masuk jajaran Pemuda Pelopor 2005 untuk kategori teknologi tepat guna. Sebelumnya, dia meraih gelar Juara I Pemuda Pelopor Kota Jambi dan Juara I Pemuda Pelopor Tingkat Provinsi Jambi.
Nafizah menjelaskan, zat-zat warna bahan-bahan alam itu bisa dimanfaatkan menjadi pewarna batik melalui proses sederhana. Bahan-bahan itu digiling terlebih dulu, kemudian diperas dan disaring. Pemantapan warna dilakukan dengan memasukkan kapur dari batu gamping. Kulit kayu bulian menghasilkan warna merah hati, buah mengkudu menghasilkan warna krem, dan kulit jengkol menghasilkan warna cokelat.
Kelemahan
Terobosan lain, di antaranya mengubah warna-warni batiknya menjadi lebih lembut seperti karakter warna batik Jawa. Namun, bukan berarti ia meninggalkan karakter cemerlang yang selama ini menjadi ciri khas warna batik tradisional Jambi. Paduan warna batik Jawa dengan Jambi itu menjadikan hasil kerajinan batik Nafizah diminati pasar, lokal, nasional, maupun luar negeri.
"Konsumen batik nasional dan internasional cenderung menyukai warna batik yang lembut dan menyejukkan. Peminat batik kami kebanyakan dari Jepang dan Australia. Mereka langsung memesan ke sini," ujar Nafizah, kelahiran Jambi, 12 Agustus 1976 itu.
Kelemahan batik Jambi di pasar nasional dan internasional selama ini menurut pendapatnya bukan karena kualitas produksinya. Kelemahan utama terletak pada corak warna yang terlalu norak, seperti merah menyala, kuning, biru, hijau, kuning, pink. Selain itu motifnya terlalu miskin.
Motifnya terlalu didominasi gambar durian pecah dan kembang. Produk bahan jadinya pun kurang modis. "Kelemahan-kelemahan itulah yang saya perbarui, sehingga tetap bisa mendapatkan pasar. Pembaruan saya lakukan karena pernah studi banding dan pelatihan ke beberapa sentra kerajinan batik di Yogyakarta, Jawa Tengah," ujarnya.
Ia mengakui, usaha kerajinan batik di Jambi saat ini memang benar-benar menghadapi masa sulit. Para perajin sulit memasarkan produksi karena permintaan terus merosot. Perajin sering hanya berproduksi bila ada pesanan. Kondisi demikian membuat usaha-usaha yang masih eksis saat ini mengurangi jumlah pekerja. "Saya kini mempekerjakan dua orang. Biasanya 20 orang per hari. Tujuh pekerja tetap dan 13 orang bekerja dengan gaji harian," ujarnya.
Saat ini rata-rata dalam satu bulan ia minimal bisa menjual 100 meter kain batik bahan katun, kualitas rendah, dan batik sutra. "Penghasilan kotor Rp 3 juta - Rp 4 juta per bulan. Kalau ada pesanan khusus minimal 100 meter penghasilan bisa mencapai Rp 10 juta sebulan," ujarnya.
Pendapatan sebesar itu pas-pasan. Sekitar Rp 2 juta untuk membayar cicilan pinjaman atau kredit dari PT Pertamina, sisanya untuk gaji pekerja dua orang minimal Rp 500.000 per orang sebulan dan modal membeli bahan.
"Penghasilan tambah kalau ada pesanan. Bulan ini saya mendapat penghasilan tambahan karena ada pesanan pembuatan batik dari Pemkab Tanjungjabung Barat, untuk seragam pada pameran ke Pekan Raya Jakarta bulan depan," katanya.
Mencintai
Kendati menghadapi masa sulit, Nafizah bertekad mempertahankan karena sudah telanjur mencintainya dan tidak ingin batik tradisional kekayaan budaya warisan nenek moyang itu punah.
Ia menyayangkan saat ini banyak remaja putri yang menekuni kerajinan batik banting setir. Mereka memilih bekerja di pusat-pusat perbelanjaan. Keadaan seperti itu dikhawatirkan membuat batik Jambi punah karena kehilangan kader-kader perajinnya. "Kalau di Jawa beda. Perajin tampaknya profesional. Kerajinan batik dijadikan penghasilan utama, bukan penghasilan sampingan seperti di Jambi. Inilah tantangan yang harus saya hadapi," ia menegaskan.
Nafizah mulai menekuni kerajinan batik setamat SMA Negeri 7 tahun 1993. Semula ia bekerja di sanggar milik orang lain dengan upah harian. Setelah beberapa tahun menekuni, dia mendirikan sanggar sendiri.
Modal awalnya pinjaman dari PT Pertamina sebesar Rp 10 juta. Pinjaman tersebut cepat bisa dilunasi karena usaha batiknya maju. [Pembaruan/Radesman Saragih]
Pesona dan Keindahan Pulau Berhala

Pesona dan Keindahan Pulau Berhala

PULAU Berhala adalah sebuah pulau kecil yang indah mempesona di Selat Berhala. Ada tiga pulau kecil dengan luas sekitar 0,25 hektar sampai 0,5 hektar mengelilinginya. Air lautnya biru dan jernih. Pantainya yang landai, sebagian merupakan hamparan pasir putih dan sebagian lagi berbatu. Sumur yang digali hanya sekitar 10-15 meter dari bibir pantai dengan airnya yang bening, tawar, dan tidak berbau.
SELAMA beberapa tahun, pulau yang sebagian lahannya ditumbuhi pohon kelapa ini, kepemilikannya dinyatakan status quo oleh pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri), karena diperebutkan oleh Provinsi Jambi dan Provinsi Riau.
Pengamatan Kompas menunjukkan, dari segi sumber daya alam, sesungguhnya Pulau Berhala tidaklah potensial. Potensinya yang menonjol adalah perikanan dari laut yang mengelilinginya. Selebihnya adalah lahan kosong yang gersang, dengan hamparan pasir kuarsa dan batu karang.
Potensi lainnya adalah pariwisata bahari, seperti memancing, menyelam, dan berlayar, karena keindahan pantai dan air lautnya yang biru. Khusus untuk kepentingan pariwisata bahari ini, Pulau Berhala memerlukan penataan, sentuhan, dan pembangunan berbagai fasilitas. Seperti sarana transportasi laut, dermaga, sarana komunikasi, pondok wisata, dan sebagainya. Sebagian besar dari luas pulau yang 200 hektar ini merupakan wilayah kosong, berbatu, dan pasir kuarsa. Di beberapa bagian hanya ada sedikit pohon kelapa.
Dengan kapal feri cepat atau speed-boat dari Kota Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Pulau Berhala bisa dicapai dalam dua jam perjalanan. Sedangkan dari Muaro Sabak, ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Timur, waktu tempuhnya sekitar satu setengah jam, dan kalau dari Nipahpanjang selama 45 menit perjalanan.
Jika berangkat dari Desa Sungai Itik, Tanjung Jabung Timur, waktu tempuhnya hanya 15 menit dengan pompong.
Pulau Berhala dinyatakan status quo sejak tahun 1984 karena Provinsi Riau mengklaim pulau itu masuk Kecamatan Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau. Sedangkan Provinsi Jambi mengklaim masuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sesungguhnya, sebagai negara kesatuan, tidak perlu ada silang sengketa dalam kepemilikan Pulau Berhala. Kedua provinsi hendaknya menyadari bahwa pulau ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemprov Riau yang memiliki ribuan pulau menganggap Pulau Berhala bagian yang tak terpisahkan dari gugusan Kepulauan Dabo Singkep, dan telah membangun sejumlah infrastruktur di pulau itu. Sementara Pemprov Jambi menganggap Pulau Berhala bagian yang tak terpisahkan dari Kerajaan Melayu Jambi. Datuk Paduka Berhala yang merupakan Raja Kerajaan Melayu Jambi dimakamkan di pulau ini. Secara geografis, letak Pulau Berhala memang dekat dari Provinsi Jambi, tepatnya 12 mil dari pantai Sungai Itik.
DENGAN disahkannya Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, status Pulau Berhala berubah. Dalam peta Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Berhala yang dihuni sekitar 60 keluarga itu tidak termasuk Provinsi Kepulauan Riau. Pulau itu masuk ke dalam wilayah Provinsi Jambi, yaitu berada di wilayah Desa Sungai Itik, Kecamatan Nipahpanjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dengan demikian, sengketa antara Provinsi Jambi dengan Riau tentang status kepemilikan Pulau Berhala diharapkan segera berakhir.
Keperluan sehari-hari penduduk pulau ini didatangkan dari Sungai Itik. "Sebuah gedung SD permanen dibangun oleh Pemprov Riau di pulau itu, namun hingga kini belum pernah dibuka. Tidak ada guru yang ditugaskan di tempat ini. Padahal, ada anak usia sekolah sekitar 20 orang," kata Ismael (75), penduduk Pulau Berhala.
Menurut Chalik (45), pemilik satu-satunya warung di Pulau Berhala, harga bahan kebutuhan pokok tidak tinggi karena didatangkan dari Nipahpanjang dan Dabo Singkep. "Di sini tidak ada tenaga medis, apalagi dokter. Kalau ada warga yang sakit dibawa berobat ke Nipahpanjang atau ke Sabo," kata Chalik.
"Perairan sekitar Pulau Berhala kaya dengan berbagai jenis ikan permukaan. Cocok untuk kegiatan memancing dan penangkapan ikan oleh nelayan. Di pulau ini kami membuat keramba besi untuk menampung ikan hasil tangkapan nelayan sebelum dijual agar harganya tidak jatuh," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi Herman Suherman kepada Kompas, akhir Maret lalu.
Kepala Biro Humas dan Umum Pemprov Jambi Syaifuddin Anang (sejak 28 Maret 2003 digantikan oleh Harun Saat) mengatakan, Pulau Berhala adalah bagian tidak terpisahkan dari Provinsi Jambi.
"Tidak mudah bagi Provinsi Jambi mengambil Pulau Berhala, kami memiliki bukti kuat bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Riau," kata Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau Djuharman.
Masalah Pulau Berhala masuk Provinsi Jambi atau Provinsi Riau, meskipun rumit, tetapi bukanlah persoalan sulit yang tidak bisa diselesaikan. Bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Pulau Berhala dan perairan Tanjung Jabung Barat serta Tanjung Jabung Timur dicantumkan sebagai tempat kunjungan wisata bahari yang dilaksanakan pada hari Minggu.
Kapal feri milik BUMD itu merencanakan melakukan pelayaran wisata satu kali seminggu ke pulau itu. Penduduk Provinsi Jambi yang umumnya jauh dari pantai, kini memiliki sarana untuk rekreasi ke laut, mengikuti pelayaran wisata bahari. Akankah "sengketa" kepemilikan Pulau Berhala antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Riau ibarat peribahasa orang pantai, "Bagaikan ombak perang dengan pantai. Entah kapan selesainya?" (NASRUL THAHAR)
Surat Kabar di Indonesia Mampu Bertahan 15 Tahun Lagi

Surat Kabar di Indonesia Mampu Bertahan 15 Tahun Lagi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan Surat Kabar di Indonesia diperkirakan mampu bertahan hingga 10-15 tahun ke depan karena beberapa keunggulannya dibanding media lain seperti televisi, radio, maupun online.

"Patut disyukuri tapi tidak boleh euforia karena ke depan tetap bisa rawan," ucap Hendrajit anggota lembaga riset LP3ES saat mempresentasikan hasil penelitian LP3ES terhadap masa depan surat kabar Indonesia dalam acara Jambore Pers Indonesia di Jakarta, Rabu ( 19/8 ).

Hendrajit menjelaskan, surat kabar memiliki keunggulan dibanding media lain yaitu kedalaman berita serta kearsipan yang membuat masyarakat tetap tertarik.

Namun, dari hasil penelitian atas survei terhadap 2.971 responden pembaca surat kabar di 15 kota besar serta dengan penelitian wawancara diperoleh bahwa mayoritas surat kabar khususnya di daerah kurang memberikan informasi yang mendalam terhadap suatu peristiwa.

Temuan lain, ungkapnya, surat kabar daerah kurang mengangkat isu-isu lokal melainkan lebih banyak mengangkat isu nasional untuk menyaingi koran nasional. "Secara substansi koran lokal tidak menganggap dirinya sebagai koran daerah melainkan mengganggap sebagai koran nasional yang berada di daerah," ujarnya.

Harga kertas yang terus melonjak dan persaingan antar media masa yang ketat, katanya, masih menjadi ancaman buat surat kabar ke depan.Untuk itu, surat kabar harus lebih mengedepankan aspek kedalaman berita, isu lokal, dan harus memiliki karakter yang kuat untuk mampu bertahan.

Senada juga dikatakan Subagio Dwijosumono Deputi Bidang Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang menilai industri pers ke depan akan terus diminati dengan melihat beberapa aspek, yaitu jumlah daya beli masyarakat relatif meningkat, jumlah masyarakat berpendidikan menengah ke atas terus meningkat yang mengakibatkan pembaca media cetak ikut naik.

Selain itu, lanjut dia, kompetisi antar penerbitan pers yang semakin kuat membuat perusahaan penerbitan meningkatkan kualitas medianya serta SDM yang bekerja di dunia pers semakin bermutu.

"Memang era digital dengan E-paper akan terus berkembang tetapi dalam dua dekade ke depan belum akan menggeser minat masyarakat untuk membaca media cetak. Perkembangan media elektronik terutama televisi juga tidak akan menggeser masyarakat untuk membaca," tuturnya.
(Sumber:Kompas.Com,Rabu, 19 Agustus 2009)
Upah yang Layak atau Terima Amplop (?)

Upah yang Layak atau Terima Amplop (?)

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Kebanggaan menjadi wartawan, seperti yang selama ini kita ketahui, memang tak pelak membuat kita luput mempertanyakan bagaimana kesejahteraannya. Hingga saat ini, wartawan masih dianggap sebagai sebuah pekerjaan profesional. Coba tanya, siapa yang tidak akan bangga bisa bertatapan dan bicara langsung dengan gubernur atau para artis. Kebanggaan mendapatkan akses yang jauh lebih mudah dan eksklusif dibandingkan orang lain atau pekerja lain.


Makanya tak heran, banyak orang, bahkan wartawan sendiri yang tak mau beranggapan bahwa pekerjaan wartawan tak jauh beda seperti pekerjaan buruh atau pekerja biasa. Banyak yang tidak sepakat dan mendebat keras, ketika profesi wartawan diidentikkan dengan kaum buruh yang konotasi umumnya selalu tertindas, menerima upah rendah dan kesejahteraannya "payah."


Padahal kenyataannya memang sepeti itu. Sejak awal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sendiri menggolongkan wartawan tak ubahnya sebagai buruh, karena secara reguler bekerja untuk mendapatkan gaji dan pendapatan yang layak bagi penghidupannya. Bahkan, banyak wartawan yang malah menerima upah yang tak layak dan tidak cukup untuk kesejahteraannya.


Menurut Adi Prinantyo, wartawan Kompas yang juga Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, para jurnalis itu berbeda ciri dengan "pekerjaan" profesi seperti dokter praktik, tukang ojek, atau petani yang memiliki lahan dan menguasai alat produksi. Wartawan tak jauh beda dengan buruh pabrik dan petani penggarap yang tidak menguasai alat produksi, tapi bergantung pada pemilik alat produksi (pengusaha media).


Pada umumnya, wartawan bekerja pada perusahaan media tertentu dan mendapatkan upah dari pekerjaannya. Jika pengusaha medianya tak membutuhkannya lagi, maka ia tak akan mendapatkan upah lagi. Sehingga sangat jelas mencirikan sebagai pekerja atau buruh. Sedangkan kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah layak, terdiri dari gaji dan tunjangan serta memperoleh kondisi kerja yang memadai (waktu kerja, sarana kesehatan dan keselamatan kerja maupun aturan di tempat kerja).


Upah Tak Layak


Gaji wartawan menjadi permasalahan krusial yang harus diperhatikan setiap perusahaan media. Bayangkan saja, di zaman serba susah ini masih ada wartawan yang digaji di bawah upah minimum regional (UMR), yakni di bawah Rp 900 ribu per bulan, padahal tekanan pekerjaannya begitu berat. Bahkan, ada wartawan yang sama sekali tidak digaji, sehingga hanya mengharapkan "amplop" dari narasumbernya.


Menurut Dewan Pers, hanya 249 dari 829 perusahaan media cetak di Indonesia yang layak disebut sebagai usaha bisnis, alias sisanya tak sanggup menggaji wartawannya sesuai dengan standar upah di Indonesia. Ini hanya 30 persennya saja dari total perusahaan media cetak yang ada di Indonesia tersebut. Belum lagi media elektronik yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah media cetak.


Berdasarkan survei terakhir yang dilakukan AJI tentang keadaan media pers dan kesejahteraan para wartawannya, mengungkap bahwa penghasilan rata-rata wartawan antara hanya Rp 900 ribu hingga Rp 1,4 juta per bulan. Penelitian ini melibatkan responden 400 wartawan dari 80 media massa di 17 kota besar di Indonesia yang hampir seluruhnya ibukota provinsi.


Sebanyak 29,1 persen wartawan yang berpendidikan sarjana masih bergaji di bawah Rp 1 juta sebulan.

Sedangkan 11,5 persen wartawan masih digaji di bawah rata-rata upah minimum setempat. Bahkan yang sangat menyedihkan, ternyata masih ada media di Indonesia yang menggaji wartawannya hanya Rp 200 ribu per bulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvei.


Hasil survei AJI ini menunjukkan wartawan dan perusahaan pers pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung. Tak ada yang bisa menjamin kesejahteraan para wartawan ini jika media tempatnya bekerja sendiri kesulitan untuk bertahan hidup.


Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvei harus memiliki pekerjaan sampingan, yang di antaranya tentu saja dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan profesinya sebagai wartawan. Malah 61,3 persen dari para wartawan tersebut menganggap pemberian "amplop" oleh narasumber dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka.


Makanya tak heran jika banyak wartawan yang hanya mengandalkan kartu pers (ID Card) wartawan yang dimilikinya untuk mendapatkan penghasilan dari sumber berita. Bahkan, sering kali nilai nomimal uang yang diterima dari "amplop" tersebut justru lebih besar dibandingkan jumlah gaji dari medianya sendiri. Sehingga, "amplop" tak lagi "haram" bagi para wartawan, seperti yang disampaikan AJI. Para wartawan ini selalu bilang, "Haram menerima amplop, tapi terima isinya saja."


Jika melihat kenyataan ini, bagaimana akan muncul sosok wartawan yang profesional, beretika, independen dan kritis, kalau "tak bergaji" layak? Malah setiap mereka harus terus menggantungkan harapan pendapatan dari pihak lain yang bisa "mengatur" pemberitaan yang akan dibuat.

Jaminan Kesejahteraan


Kelayakan gaji bagi wartawan sudah pasti akan berpengaruh terhadap proses dan hasil pekerjaannya, yang dituntut oleh masyarakat harus selalu benar, objektif, faktual, berimbang dan bermanfaat bagi publik. Namun ketika kesejahteraan para wartawan tidak bisa dijamin sepenuhnya oleh media di mana mereka bekerja, maka pendapatan dari "amplop" yang diberikan oleh sumber berita menjadi lahan lain bagi para wartawan.


Oleh karena itu juga, banyak wartawan yang menganggap penerimaan "amplop" sebagai hal yang wajar.

Bahkan para redaktur yang membawahi mereka pun tak ada yang menegur wartawannya, karena dulu mereka juga pernah merasakan bagaimana "nikmat"-nya menerima "amplop". "Asal hanya ratusan ribu, tak apalah," bisanya seperti itu dalih para redaktur yang menangkap ulah wartawannya.


Memang, tidak semua "amplop" dapat dikategorikan sebagai suap atau sogok, kecuali jika nilainya sangat besar atau diberikan secara rutin hingga menjadi semacam ikatan antara wartawan dan sumber. Akan tetapi, "amplop" bernilai kecil pun bila dianggap sebagai kewajaran dalam pekerjaan pers, tetap akan mengganggu integritas wartawan dan dapat menghambat kemajuan profesionalisme jurnalistik mereka.


Sangat mungkin, pemberian narasumber yang akan menjadi embrio penyuapan atau penyogokan untuk jangka panjang tersebut akan menyebabkan kemandekan dalam pengembangan standar jurnalistik profesional. Terutama kemandekan di sini adalah soal ketidakberimbangan dalam sebuah berita. Karena wartawan telah "disogok" dengan "amplop" oleh suatu pihak, maka pihak tersebut selalu dibela dalam pemberitaan. Inilah yang telah merusak independensi jurnalisme.


Disebabkan oleh "budaya amplop" yang semakin mengakar dalam watak wartawan di Indonesia, akan memengaruhi kinerja mereka karena berakibat hingga retaknya independensi dan idealisme para wartawan dalam mengemas berita. Jika demikian, bagaimana mungkin wartawan dan media massa dapat menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang ke empat?


Di sinilah tanggung jawab perusahaan pers untuk memberikan upah layak bagi para wartawannya, sehingga mereka tidak mudah tergoda dengan berbagai bentuk "amplop" dari narasumber. Sudah sepantasnya wartawan mendapatkan jaminan kesejahteraan dari media tempatnya bekerja, sebagai imbalan atas kerja kerasnya, dan tentu saja untuk tetap mempertahankan independensi dan idealisme sebagai pemberi informasi yang benar kepada masyarakat.


Lalu berapa besar gaji yang bisa dikatakan layak untuk menjamin kesejahteraan para wartawan? AJI telah melakukan berbagai survei di lapangan melalui wawancara dengan para wartawan. Setelah dihitung, AJI menemukan angka sebesar Rp 2,7 juta lebih per bulan. Inilah standar gaji yang layak bagi wartawan menurut hasil survei AJI.


AJI merincikan kebutuhan wartawan selama satu bulan. Antara lain, makanan dan minuman sebesar Rp 750 ribu, perumahan dan fasilitas sebesar Rp 242.667, kebutuhan sandang Rp 149 ribu dan ditambah aneka kebutuhan lainnya Rp 1,3 juta lebih. Total kebutuhannya adalah Rp 2.480.439 atau lebih dari Rp 2,4 juta.


Kemudian gambaran upah tersebut harus ditambah 10 persen dari total upah sebesar Rp 248.439 untuk tabungan bagi para wartawan. Sehingga totalnya mencapai Rp 2,7 juta lebih. Mungkin nilai sebesar inilah yang harus dibayarkan oleh perusahaan pers untuk menjamin kesejahteraan para wartawannya. Setidaknya dengan ini, mereka sudah bisa membayar kredit sepedamotornya setiap bulan, tanpa harus berutang lagi.


Jika kesejahteraan wartawan bisa dijamin oleh perusahaan pers, maka fungsi pers tentu saja bukan lagi hanya sebagai sarana mendapatkan berita. Perannya sebagai penjaga hak-hak rakyat agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa, pasti bisa ikut diwujudkan. Posisi pers sebagai pilar keempat dalam demokrasi (the fourth estate) tentu akan berjalan pula. Dan kita bisa percaya bahwa tidak ada negara di dunia ini yang bisa mengaku sebagai negara demokrasi jika tidak memiliki pers yang bebas dan kuat.


*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU 2005, mantan anggota Pers Mahasiswa SUARA USU dan calon wartawan. {Harian Global Indonesia, Medan, Rabu, 12 Agustus 2009}
Pers Harus Kembali ke Khitah

Pers Harus Kembali ke Khitah

[JAKARTA] Insan pers dan media massa diingatkan untuk kembali ke khitahnya. Media diminta tidak sekadar mengejar profit atau rating, tetapi juga harus mengedepankan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi pencerahan kepada masyarakat, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Hal tersebut ditegaskan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara kepada SP di Jakarta, Kamis (13/8). Dia menjelaskan, pada masa lalu, media massa menjadi alat perjuangan yang luar biasa, dalam mengantar Indonesia menuju kebangkitan nasional dan kemerdekaan.

Pada era sekarang ini, kata dia, tak dapat dimungkiri bahwa pers nasional sudah berubah, menjadi sebuah industri yang begitu besar, dengan peralatan yang modern dan sumber daya manusia (SDM) yang luar biasa. Namun, dia meminta insan pers dan media massa, harus tetap terpanggil menjadi lokomotif, dalam terus menggelorakan paham kebangsaan dan nasionalisme.

Diakuinya, media massa, khususnya televisi, lebih mementingkan rating. Sehingga sering hal yang disajikan ke masyarakat tidak mendidik, di antaranya, perselingkuhan, kawin cerai, dan hal-hal berbau mistis serta film asing lainnya.

Pers, kata dia, jangan pernah berhenti untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap kebijakan penguasa yang merugikan kepentingan umum.

Peran Berubah

Anggota Dewan Pers, Ikhlasul Amal menambahkan, peran media massa dalam menggelorakan semangat kemerdekaan sudah harus berubah. Dari sekadar menayangkan atau memberitakan mengenai sejarah-sejarah perjuangan masa lalu, menjadi motor penggerak meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Menurut dia, media harus menjadi jembatan informasi yang benar bagi masyarakat, dengan memberitakan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Sementara itu, Ketua Forum Kebudayaan Indonesia, Luluk Sumiarso, saat deklarasi pembentukan forum tersebut di Jakarta, Kamis malam, mengatakan, media berperan membangkitkan semangat dan membangun budaya bangsa yang sudah mulai luntur. "Banyak nilai-nilai budaya bangsa yang menghilang. Kami dengan berbagai elemen bangsa mencoba, melalui Forum Kebudayaan Indonesia, menggali nilai-nilai itu untuk menjadi khazanah budaya baru bangsa," kata Luluk yang adalah mantan Dirjen Migas itu.

Salah satu kegiatan yang akan dilakukan Forum Kebudayaan Indonesia adalah menghidupkan nilai-nilai kepahlawanan melalui video game tokoh-tokoh atau pahlawan Indonesia, seperti Gadjah Mada, dan sebagainya.

Di tempat terpisah, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan, peran media dalam menumbuhkan nilai-nilai budaya bangsa dan meningkatkan pendidikan informal sangat penting. "Ada pendidikan yang tidak diregulasi, dilakukan oleh keluarga dan masyarakat secara mandiri, tanpa ada dukungan dana dari APBN. Peran media massa justru sangat besar dalam memberikan pendidikan informal," katanya. [W-12/E-7/M-17]*** {Suara Pembaruan, Kesra ,Jumat, 14/8/09}
Hukum Adat Selamatkan Hutan di Bungo

Hukum Adat Selamatkan Hutan di Bungo

Pendampingan yang dilakukan para aktivis lingkungan hidup, ternyata memiliki manfaat besar membangun motivasi masyarakat di sekitar hutan melawan keganasan penjarah hutan. Kehadiran para aktivis lingkungan mampu memberikan semangat kebersamaan bagi warga desa menghalau siapa saja yang hendak menghancurkan hutan di sekitar desa mereka.

Peran aktivis lingkungan menggerakkan masyarakat desa dalam pelestarian hutan ini cukup berhasil di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. Jalinan kerja sama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) Jambi dengan warga desa mampu mengamankan sekitar 2.356 hektare (ha) Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur dari ancaman penjarahan hutan.

"Ribuan hektare hutan lindung yang menjadi sumber air dan sumber energi pembangkit listrik di Desa Lubuk Beringin kini aman. Hutan tersebut telah dikukuhkan Menteri Kehutanan MS Kaban menjadi hutan desa beberapa waktu lalu. Sesuai statusnya sebagai hutan desa, Hutan Lindung Bukit Rantau Panjang Rantau Bayur tidak bisa lagi disentuh pengusaha untuk dijadikan kebun sawit atau hutan tanaman industri (HTI)," kata Direktur Eksekutif Direktur KKI Warsi Jambi Rachmat Hidayat di Jambi, Jumat (31/7).

Menurut Rachmat, pengalihan status hutan lindung menjadi hutan desa itu diajukan pertama kali kepada Bupati Bungo H Zulfikar Achmad lima tahun lalu. Usulan tersebut mendapat tanggapan positif. Bupati Bungo melalui surat Nomor 522/B312/Hutbun/2008 mengajukan pengukuhan Hutan Lindung Desa Lubuk Beringin menjadi hutan desa kepada Menteri Kehutanan. Surat tersebut didasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.49/Menhut - II/2008 tentang Hutan Desa.

Hutan adat desa tersebut dinilai perlu memiliki kekuatan hukum berupa surat keputusan Menteri Kehutanan agar tidak dikonversi menjadi kebun sawit. Selanjutnya, Menteri Kehutanan menyetujui penetapan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur menjadi hutan desa. Pengukuhan hutan desa itu melalui Surat Keputusan (SK) Menhut Nomor 109/Menhut-II/2009 tentang penetapan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur menjadi Hutan Desa di Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

Gubernur Jambi juga mengeluarkan SK Nomor 124 Tahun 2009 tentang pengelolaan Hutan Desa Lubuk Beringin kepada kelompok Ndendang Hulu Sako Batang Buat (kelompok pengelola hutan desa). Dengan adanya persetujuan pemerintah itu, warga Desa Lubuk Beringin dapat memanfaatkan kekayaan hutan di desa mereka untuk keperluan hidup sehari-hari, tanpa merusak lingkungan dan hutan.

Menurut Rachmat, warga Desa Lubuk Beringin telah lama mendambakan hak pengelolaan hutan lindung tersebut menjadi hutan desa. Warga desa merasa perlu mengelola hutan lindung itu agar mereka bisa memetik manfaatnya sekaligus menjaga kelestarian hutan tersebut.

Manfaat

Ada tiga manfaat yang bisa dinikmati warga Desa Lubuk Beringin dari hutan lindung itu. Hutan lindung yang terancam ekspansi usaha HTI dan perkebunan sawit itu menjadi sumber air minum dan irigasi pertanian mereka. Hutan lindung tersebut juga menjadi sumber pembangkit listrik bagi mereka. Kemudian, warga desa juga dapat menikmati hasil hutan non kayu seperti rotan, buah-buahan, madu, hewan, dan ikan.

Mengetahui banyaknya manfaat hutan bagi warga Desa Lubuk Beringin tersebut, KKI Warsi Jambi berusaha mengajukan pengalihan hutan lindung tersebut menjadi hutan desa. Penetapan status hutan lindung menjadi hutan desa memberikan kewenangan menerapkan hukum adat desa bagi siapa saja yang merusak hutan. Hutan lindung tersebut tak bisa disentuh para pengusaha kayu, pengusaha sawit, dan makelar tanah.

Tokoh masyarakat Desa Lubuk Beringin, Hadirin Datuk Rio menyebutkan, masyarakat desa tersebut hingga kini masih melestarikan hukum adat. Berdasarkan hukum adat desa itu, siapa pun yang tertangkap menebang kayu tanpa izin di hutan desa itu dijatuhi sanksi adat.

Sanksi tersebut, antara lain membayar utang seekor kerbau, 100 kilogram (kg) beras dan lauk-pauk lainnya. Perusak hutan dan lingkungan di desa tersebut juga biasanya dijatuhi sanksi berupa pengucilan dari pergaulan sosial.

"Pemberian hak pengelolaan hutan desa ini menguatkan kami melaksanakan hukum adat bagi perusak hutan dan lingkungan. Kami akan lebih berani melarang siapa pun yang hendak merambah dan mencuri kayu dari hutan desa ini," katanya.

Rachmat mengatakan, hutan desa penting bagi masyarakat Desa Lubuk Beringin untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Hutan desa itu juga penting agar masyarakat desa bisa melindungi kawasan hutan lindung itu. Proteksi itu penting karena hutan tersebut menjadi sumber utama air Sungai Batang Buat.

Kawasan hutan sangat penting bagi masyarakat setempat untuk menjamin ketersediaan air Batang Buat untuk memutar kincir air pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga air yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat desa itu menghasilkan energi listrik 10 kilowatt. Listrik tersebut mampu menerangi 85 rumah warga Desa Lubuk Beringin ditambah lima rumah warga desa tetangga, Desa Laman Panjang.

Selain itu, penetapan hutan desa itu juga memberikan kesempatan bagi warga desa memanfaatkan hutan hasil hutan nonkayu. Misalnya wisata lingkungan, penelitian, pengairan sawah, pemijahan ikan serta kebutuhan air bersih.

"Jika hutan di wilayah hulu Sungai Batang Buat tidak terjaga dengan baik, maka sungai tersebut tidak akan mampu memutar kincir pembangkit listrik dan sumber air bersih warga desa pun hilang. Ini yang menjadi perekat hubungan masyarakat dengan pelestarian lingkungan di desa ini," katanya.

Menurut Rachmat, penyerahan hak pengelolaan hutan desa di Desa Lubuk Beringin tersebut merupakan yang pertama di Indonesia. Pengelolaan hutan desa itu diharapkan bisa menjadi model bagi pembangunan hutan-hutan desa di berbagai daerah.

Pelestarian hutan melalui pengelolaan hutan desa tersebut tidak hanya perlu bagi warga desa, tetapi juga bagi dunia. Pelestarian hutan desa memberikan manfaat bagi dunia mengurangi pemanasan global.

Yang menikmati kelestarian hutan lindung di Bungo ini bukan hanya warga desa setempat, tetapi juga warga negara Indonesia dan dunia. Karena itu, kita tetap mendampingi petani dalam pengelolaan hutan desa tersebut. [SP/Radesman Saragih]
***(Suara Pembaruan, Jumat, 5/8/09)

Mewujudkan Impian Keliling Indonesia dengan Naik Sepeda



SP/Radesman Saragih

Ismail (kanan), penjelajah Indonesia asal Indramayu, Jawa Barat, bersama anggota klub sepeda onthel Kota Jambi, Didin, di Jambi, baru-baru ini.

Penampilannya penuh percaya diri. Tak ada rasa sungkan berhadapan dengan orang-orang yang baru dikenal. Tebaran senyum dan gaya bicaranya pun bersahabat. Berbicara dengannya seperti bertemu kembali dengan sahabat karib yang sudah lama tak bersua.

Begitulah gaya Ismail (40), penjelajah Indonesia warga Indramayu, Jawa Barat ketika bertemu wartawan di pelataran parkir kantor Gubernur Jambi, Selasa (28/7). Kendati bertemu wartawan secara kebetulan dan dia tergesa-gesa untuk bertemu Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin, dia tetap melayani perbincangan dengan wartawan seperti kawan sendiri.

"Nggak apa-apa ngobrol sebentar. Biasa, berbagi pengalaman," katanya. Tanpa banyak ditanya wartawan, Ismail pun secara spontan mengisahkan ihwal penjelajahan Indonesia yang dilakoninya.

Kematangan pengalaman bertemu dengan banyak orang dan menghadapi tantangan alam dalam penjelajahan dari daerah ke daerah selama ini, menempa Ismail menjadi sosok yang fleksibel dalam segala hal. Dia tak pernah merasa asing terhadap orang-orang yang baru dijumpainya. Semua orang yang baru ditemuinya di berbagai daerah dianggapnya sebagai saudara sendiri. Rasa persaudaraan itulah yang bisa memuluskan perjalanan Ismail menjelajah Indonesia selama 11 tahun.

"Saya tidak pernah melihat perbedaan antara saya dan orang-orang yang saya temui di berbagai daerah. Semua saya anggap saudara dan sahabat. Persahabatan dan persaudaraan itu menjadi modal bagi saya menelusuri seluruh pelosok nusantara ini," paparnya.

Ismail mengatakan, salah satu pihak yang banyak membantu penjelajahannya ialah klub motor dan sepeda. Selama berada di Kota Jambi, dia dibantu kelompok sepeda onthel Kota Jambi. Bantuan yang dia peroleh tidak hanya penginapan, tetapi juga petunjuk jalan, dan mempertemukannya dengan para pejabat dan profesional untuk pengumpulan tanda tangan.

Ismail mengatakan, sejak memulai penjelajahan Indonesia 20 Juni 1998, sudah hampir 197 kota, kabupaten dan provinsi yang dijelajahinya. Sedangkan, Provinsi Jambi merupakan provinsi yang ke-26 yang disinggahinya. Daerah-daerah yang dijelajahi Ismail, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

"Saya akan mengakhiri penjelajahan Indonesia ini di Jakarta tahun 2012. Untuk tahun 2009 - 2011, target penjelajahan saya seluruh daerah kabupaten, kota dan provinsi di Sumatera. Hingga Juli ini, baru beberapa daerah Sumatera yang saya kunjungi, seperti Lubuk Linggau, Provinsi Lampung, Sarolangun dan Kota Jambi, Provinsi Jambi," kata anak ketiga dari lima bersaudara ini.

Menjadi penjelajah Indonesia bagi Ismail bukan sekadar ikut-ikutan. Dia bercita-cita menjadi penjelajah Indonesia sejak kelas IV SD untuk mengukir nama di Guinnes Book of Records. Dia juga ingin menjadi pengumpul tanda tangan pejabat dan profesional terbanyak di dunia.

"Sampai saat ini sudah 153 buku harian saya berisi tanda tangan serta pesan pejabat dan orang-orang profesional dari seluruh nusantara ini. Jumlah tanda tangan ini akan terus saya kumpulkan hingga menjadi yang terbanyak di dunia," katanya.

Misi

Salah satu misi mulia yang diemban Ismail dalam penjelajahan Indonesia, yakni menunjukkan bahwa Indonesia tetap satu walau berbeda-beda adat, suku, agama, dan daerah. Ismail merasakan perlu mengemban misi kesatuan dan persaudaraan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda itu karena melihat adanya kerapuhan dalam ikatan persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia akhir-akhir ini.

Dari pengalaman penjelajahan ke berbagai daerah selama ini, Ismail merasakan bahwa pada dasarnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia itu masih cukup kental asalkan sesama warga mau menunjukkan solidaritas sosial, saling berbagi, sa- ling memberi, dan saling menolong.

"Ini saya rasakan dari pertemuan dengan warga Indonesia di berbagai daerah. Kendati saya datang dari Jawa Barat, saya tetap dianggap saudara dan mendapat bantuan dari saudara-saudara saya di Papua, Sulawesi, Bali, Maluku, Kalimantan, Sumatera, Aceh, dan daerah lain. Sepeda yang saya pakai sekarang bantuan saudara dari Aceh," katanya.

Penjelajahan Ismail selama ini tidak selalu mulus. Banyak tantangan dan pertaruhan nyawa yang harus dilalui. Ketika singgah di Timor Timur (Timtim) pascakonflik atau kemerdekaan Timtim tahun 1999, dia sempat disandera. Ismail dituduh sebagai mata-mata Indonesia karena tidak memiliki izin masuk ke Timtim yang baru merdeka. Ketika itu, Ismail menganggap Timtim masih bagian dari Indonesia. Namun, setelah menjelaskan bahwa dia penjelajah Indonesia, pihak keamanan Timtim pun membebaskannya.

Kemudian Ismail juga pernah ditangkap dan dihukum adat oleh Suku Dani di Jayawijaya, Papua. Dia direndam di air beberapa jam hanya karena menabrak seekor babi. Pengalaman Ismail yang paling mengancam nyawa ketika terdampar di kepulauan Maluku. Dia terancam tidak makan dan tidak bisa kembali keluar dari pulau. Namun, warga setempat menyelamatkannya.

Pengalaman serupa dialaminya ketika menjelajah wilayah Kalimantan. Dia kesasar masuk wilayah hutan Malaysia. "Ketika itu, satu bulan saya tidak ketemu manusia. Makan dari buah dan akar pohon. Untung saya diselamatkan polisi hutan Malaysia," katanya.

Ancaman maut tidak hanya dihadapi Ismail di daerah-daerah rawan, seperti Timtim, Papua, Maluku, dan Kalimantan. Ismail juga menghadapi ancaman maut di Sumatera. Selama menjelajah daerah-daerah di Sumatera, khususnya Lubuk Linggau, Provinsi Lampung hingga Sarolangun, Provinsi Jambi, Ismail sudah lima kali bertemu harimau. Namun, hanya sekali dia diserang harimau.

"Saya sekali dicakar harimau di batas Lubuk Linggau-Sarolangun, Mei lalu. Cakaran harimau melukai paha kanan saya sekitar 15 sentimeter. Tidak tahu kenapa, setelah mencakar, harimau tersebut pergi. Mungkin harimau itu tahu saya tidak berniat jahat, sehingga dia tidak berniat memangsa saya," katanya.

Betapa berat tantangan yang masih akan dihadapinya, penjelajahan Indonesia yang kini dilakoninya akan tetap dilanjutkan. [SP/Radesman Saragih]{Suara Pembaruan, Selasa, 4 Agustus 2009, Nusantara)

Membendung Keganasan Pengedar Narkoba di Jambi


SP/Radesman Saragih

Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin (kanan menggunakan masker) membakar daun ganja kering pada acara pemusnahan narkoba seusai peringatan HUT ke-63 Polri di Jambi, Rabu (1/7).

Kelancaran transportasi udara, darat, dan laut dari Kota Jambi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Batam, Medan, dan Aceh ternyata semakin melancarkan peredaran narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba) di Jambi. Hal ini tampak dari semakin seringnya polisi di Jambi mengungkap kasus-kasus narkoba skala besar.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah (Polda) Jambi AKBP Syamsuddin Lubis di Jambi, Rabu (1/7) menjelaskan, selama enam bulan terakhir, pihaknya berhasil mengungkap beberapa kasus besar peredaran narkoba.

Pertama, kasus penangkapan seorang pengedar narkoba dengan barang bukti 1.929 butir pil ekstasi. Tersangka kasus narkoba yang ternyata oknum anggota TNI berinisial JS tersebut tertangkap ketika mengambil kiriman ekstasi dari Jakarta di loket jasa pengiriman PT Jasa Ekspres Kota Jambi akhir tahun lalu.

Kemudian jajaran Kepolisian Resor (Polres) Tanjungjabung Barat (Tanjabbar) berhasil menangkap truk pisang bermuatan 1,1 ton daun ganja kering di ruas Jalan Lintas Timur (Jalintim) Sumatera, wilayah Desa Suban, Kabupaten Tanjabbar, batas Jambi - Riau, awal Februari lalu.

Daun ganja yang tertangkap ketika razia itu sebanyak 43 karung dan berisi sekitar 1.045 paket. Daun ganja yang ditinggalkan pengemudi truk tersebut berasal dari Aceh dengan tujuan Jakarta. Pengemudi truk tersebut hingga kini masih buron, katanya.

Selain itu jajaran kepolisian di Jambi juga berhasil mengamankan sekitar 43 kilogram (kg) daun ganja kering di ruas Jalintim Sumatera, wilayah Desa Tungkal Ulu, Tanjabbar. Ganja tersebut ditemukan dalam mobil jenis Suzuki Carry yang ditinggalkan pengemudinya di pinggir jalan awal Mei lalu. Ganja tersebut diduga berasal dari Aceh untuk dikirim ke Jakarta.

Satuan Narkoba Polda Jambi juga berhasil menangkap Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrat Provinsi Kepulauan Riau, Abdul Aziz yang diduga sebagai pengedar narkoba. Tersangka tertangkap memiliki 28 butir pil ekstasi senilai Rp 200 juta di Bandara Sultan Thaha Kota Jambi akhir Desember 2008. Namun, tersangka telah divonis bebas hakim Pengadilan Negeri (PN) Jambi akhir awal Juni lalu.

Syamsuddin mengatakan, meningkatnya pengungkapan kasus narkoba skala besar dan melibatkan oknum-oknum aparat dan politisi tersebut menunjukkan meningkatnya peredaran narkoba di daerah itu. Karena itu seluruh jajaran kepolisian di daerah itu hingga kini melakukan razia rutin untuk membongkar dan memutus jaringan peredaran narkoba.

Dukungan

Dikatakan, untuk meraih dukungan segenap lapisan masyarakat dalam pemberantasan narkoba itu, pihaknya menggandeng para kepala daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan para pihak pengelola lembaga pendidikan. Sosialisasi dan penyuluhan mengenai bahaya narkoba tersebut masih terus dilakukan di semua lapisan masyarakat.

Salah satu aksi penggalangan dukungan terhadap pemberantasan narkoba yang dilakukan Polda Jambi, yakni pemusnahan barang bukti ganja. Polda Jambi memusnahkan sekitar 1,15 ton daun ganja kering pada peringatan HUT ke-63 Polri di lapangan Polda Jambi, Rabu (1/7).

Pemusnahan ganja dan 4.600 botol minuman keras itu dilakukan Kapolda Jambi, Brigjen Pol Budi Gunawan, Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin dan unsur Muspida Provinsi Jambi dengan cara membakar. Pemusnahan minuman keras dilakukan dengan cara menggilas menggunakan alat berat.

"Kita mengharapkan aksi pemusnahan ganja tersebut mampu menggugah segenap lapisan masyarakat dan jajaran pemerintah daerah mendukung pemberantasan narkoba. Kita berharap aksi tersebut mampu menyadarkan masyarakat, khususnya generasi muda mengenai bahaya narkoba," katanya.

Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin mengatakan, pihaknya sangat mendukung program pemberantasan narkoba. Intensitas pemberantasan narkoba hingga ke pelosok desa di daerah itu perlu dilakukan guna membendung keganasan pengedar narkoba meracuni masa depan generasi muda.

Dikatakan, sebagai bentuk kepedulian Pemerintah Provinsi Jambi terhadap pemberantasan peredaran narkoba, pihaknya mengalokasikan bantuan secara rutin kepada Badan Narkotika Provinsi Jambi. Untuk tahun 2010, alokasi dana Pemprov Jambi untuk badan narkotika daerah itu mencapai Rp 1,5 miliar.

Sementara itu, Direktorat Narkoba Polda Maluku menangkap pengedar obat-obatan terlarang di Kota Ambon. Ernanko Kasturian (39). Penangkapan ini bermula atas informasi yang diterima polisi. Informasi tersebut menyebutkan kalau selama ini tersangka sering menyuplai narkoba kepada para pengguna di Kota Ambon. Narkoba yang biasa disuplai di antaranya jenis sabu-sabu dan ekstasi atau inex.

Aparat kepolisian yang dipimpin Kepala Satuan I Direktorat Narkoba Polda Maluku AKBP H Pambudi Rahayu memancing tersangka untuk bertransaksi. Transaksi yang dilakukan cukup rapi, karena tersangka tidak pernah mau bertemu dengan orang yang bertransaksi dengannya saat memberikan narkoba.

Tersangka meminta sejumlah uang kepada polisi yang melakukan penyamaran. Setelah menerima uang, tersangka kemudian meletakkan ekstasi yang dibeli satu lokasi dan menghubungi orang yang akan bertransaksi untuk mengambilnya. [VL/141]{SUARA PEMBARUAN DAILY, Jumat, 3 Juli 2009, Nusantara}
Boikot Pilpres, Ketua KPPS di Tebo Ditahan

Boikot Pilpres, Ketua KPPS di Tebo Ditahan

[JAMBI] Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 2 Desa Betung Berdarah Barat, Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, Arbain ditetapkan sebagai tersangka kasus boikot pemilihan presiden (pilpres) di desa tersebut, 8 Juli lalu. Tersangka diduga sebagai dalang aksi boikot pilpres di dua tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Betung Berdarah Barat. Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Tebo sudah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyelidikan (SPDP) kasus boikot pilpres tersebut dari penyidik Polres Tebo, Rabu (15/7).
Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejari Tebo, Candra Cahya Putra di Jambi, Kamis (16/7) menjelaskan, pihaknya mulai menyelidiki kasus boikot pilpres di Tebo tersebut. Berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) yang diserahkan penyidik Polres Tebo, tersangka kasus boikot pilpres di Desa Betung Berdarah Barat tersebut bukan hanya Ketua KPPS 2, Arbain. Aksi boikot pilpres tersebut juga melibatkan puluhan warga masyarakat desa.
"Hari ini (Kamis, 16/7) kita memulai penyelidikan kasus boikot pilpres di dua TPS Desa Betung Berdarah Barat. Kalau BAP yang diserahkan polisi lengkap, kasusnya segera kita limpahkan ke pengadilan. Kalau tidak lengkap, BAP-nya kite kembalikan kepenyidik kepolisian,"katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, 854 pemilih di Desa Betung Berdarah Barat, Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Ilir , Provinsi Jambi tidak melakukan pencontrengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 1 dan TPS 2 desa itu.
Warga memboikot pilpres dengan alasan tidak terealisasinya pembangunan jaringan listrik ke desa mereka seperti dijanjikan Bupati Tebo, Madjid Muaz ketika kampanye pemilihan bupati tiga tahun lalu dan kampanye pilpres 8 Mei 2009. .
Sementara itu Bupati Tebo, Madjid Muaz mengatakan, aksi boikot pilpres di Desa Betung Berdarah Barat tersebut diduga merusak citranya sebagai bupati menjelang suksesi Gubernur Jambi 2010. Aksi boikot pilpres tersebut diduga didalangi lawan-lawan politik yang juga berambisi merebut jabatan Gubernur Jambi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Gubernur Jambi tahun depan.
Dikatakan, boikot pilpres hanya gara-gara masalah listrik tersebut merupakan alasan yang dicari-cari untuk menjatuhkan pamor Kemerintah Kabupaten (Pemkab) Tebo. Apalagi pembangunan listrik itu dikait-kaitkan dengan janji Bupati Madjid Muaz pada pilkada tiga tahun lalu.
"Saya tidak pernah berjanji membangun jaringan PLN ke DEsa Betung Berdarah Barat waktu kampanye pilkada 2006 lalu. Saya hanya berjanji membangun jaringan listrik untuk Desa Teluk Rendah dan pasar Desa Sungai Bengkal. Jadi aksi boikot pilpres itu sarat muatan politis untuk menjegal saya maju pada pemilihan gubernur Jambi 2010,"katanya. [141]
BahanKOperasi

BahanKOperasi

Kota Jambi Ditopang 12.000 UMKM

Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Kota Jambi, mencatat sejak tahun 2006 hingga 2008, jumlah UMKM yang beroperasi di Kota Jambi mencapai 9 ribu bentuk usaha. Dan diperkirakan 3 ribu lebih UMKM lagi, yang belum terdata.

Rencananya pada tahun 2009 ini, Dinas Koperasi dan UMKM akan mendata seluruh usaha tersebut. Karena, sesuai dengan program pemerintah pusat, UMKM tersebut mendapat peranan penting dalam menopang perekonomian suatu daerah, sehingga akan memfasilitasi dalam pemberian modal dengan ketentuan yang berlaku.

Kadis Koperasi dan UMKM Kota Jambi, Drs Syaiful Huda, mengatakan, banyaknya UMKM yang bediri di Kota Jambi tersebut, tentu pihaknya akan memfasilitasi, dalam hal permodalan karena telah sesuai dengan instruksi dari Pemerintah Pusat."Tentu akan kita fasilitasi, tetapi sesuai prosedur yang berlaku," sebut Syaiful, baru – baru ini.

Dikatakan, hal yang sama juga berlaku bagi Koperasi yang tersebar di seluruh wilayah Kota Jambi, dimana rata-rata koperasi yang ada saat ini, telah memiliki badan hukum yang jelas, namun beberapa diantaranya masih ada yang belum."Koperasi, yang belum mempunyai akta badan hukum koperasi juga akan kita fasilitasi, sehingga koperasi tersebut bisa dikatakan legal," tambahnya.

Dari data yang ada, saat ini jumlah koperasi di Kota Jambi berkembang dengan pesat, tercatat jumlah koperasi mencapai lebih dari 488 koperasi, terbagi dalam 139 Koperasi Pegawai Negeri (KPN), 75 Koperasi karyawan (Kopkar) dan 274 koperasi umum dan beberapa koperasi lagi di setiap RSU, yakni Koperasi Serba Usaha (KSU).

"Koperasi yang terbesar adalah bentuk koperasi umum, karena penyebarannya sangat luas, yang tujuan utamanya sendiri adalah mensejahterakan anggotanya," pungkas Syaiful. ***
Wartawan TV Perancis Ditahan Perusahaan Bubur Kertas Jambi

Wartawan TV Perancis Ditahan Perusahaan Bubur Kertas Jambi

[JAMBI, Jumat, 10 Juli 2009] Tiga orang wartawan televisi (TV) asal Perancis yang ditangkap dan ditahan petugas keamanan perusahaan industri pengolahan bubur kertas PT Lontar Papyrus Pulp and Paper (LPPP) Jambi akhirnya dibebaskan. Ketiga wartawan TV asal Perancis itu, Cyril Payen yang menjabat kepala biro Asia Tenggara, Dewi Arilaha (produser lapangan) dan Gillaume Martin (camerakeman).

Dewi Arilaha dalam jumpa pers di Hotel Novotel, Jumat (10/7) malam menjelaskan, mereka ditangkap petugas keamanan PT LPPP ketika melakukan pengambilan gambar film dokumenter di areal hutan perusahaan itu, Desa Tebing Tinggi, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjungjabung Barat, Jumat (10/7) pukul 11.30 WIB.

Film dokumenter tersebut mengenai kehidupan harimau Sumatera (Pantheratigris sumatrae) yang memangsa puluhan orang penebang hutan di daerah itu beberapa waktu lalu.

“Kami mengambil gambar kawasan hutan untuk pembuatan film dokumenter ini untuk melihat keberadaan hutan Jambi yang merupakan habitat harimau Sumatera,”katanya.

Menurut Dewi Arilaha, kegiatan mereka melakukan pembuatan film dokumenter mengenai lingkungan hidup tersebut telah mendapat izin dari Pemerintah Indonesia (Departemen Luar Negeri) Karena kegiatan mereka di Jambi melakukan tugas jurnalistik, mereka mengantongi visa pers yang diberikan Departemen Luar Negeri.

Sementara itu Kepala Bagian Humas PT LPPI Jambi, Hermawan mengatakan, petugas keamanan perusahaan menangkap dan menahan ketuga wartawan asing itu Jumat (10/7) siang karena melakukan kegiatan pengambilan gambar di dalam kawasan hutan perusahaan. Kegiatan mereka tidak mendapatkan izin dari manajemen perusahaan.

Menurut pengakuan wartawan TV asal Perancis itu, mereka mengambil gambar kawasan hutan perusahaan untuk pembuatan film dokumenter mengenai satwa langka harimau Sumatera.

“Kami hanyamenahan mereka sekitar tiga jam untuk meminta keterangan seputar kegiatan mereka di kawasan hutan perusahaan. Setelah kami mendapatkan penjelasan dan ketiga wartawan TV asal Perancis tersebut bisa menunjukkan tanda pengenal, mereka langsung kita bebaskan Jumat (19/7) sore,”paparnya.

Sementara itu pengamat lingkungan hidup dari Universitas Batanghari (Unbari) Jambi, Guntar Saragih kepada SP di Jambi, Jumat (10/7) malam mengatakan, pihaknya menyesalkan sikap PT LPPP yang menghambat tugas jurnalis asal Perancis tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan kurang peduli terhadap pelestarian lingkungan, khususnya penyelamatan harimau Sumatera.

Seharusnya pihak perusahaan tak perlu menangkap dan menahan ketiga jurnalis asal Perancis tersebut karena pihak perusahaan sudah mengetahui kegiatan mereka.

“Justru pihak perusahaan seharusnya membantu dan mengarahkan ketiga jurnalis tersebut. Hal itu penting agar dunia lebih tahu kiprah Jambi, termasuk PT LPPI dalam pelestarian lingkungan,”katanya. [141]
Antisipasi Flu Babi, Penumpang Kapal Asal Singapura Diperiksa Ketat

Antisipasi Flu Babi, Penumpang Kapal Asal Singapura Diperiksa Ketat

[JAMBI, Senin, 13 Juli 2009] Petugas kesehatan pelabuhan laut Kota Kualatungkal, Kabupaten Tanjungjabung Barat (Tanjabbar), Provinsi Jambi memperketat pemeriksaan penumpang kapal feri asal Singapura dan Malaysia. Pemeriksaan itu dilakukan mengantisipasi penyebaran flu babi atau virus H1N1 di daerah itu.

Kepala Kesehatan Pelabuhan Kualatungkal, M Fuadi di pelabuhan Kualatungkal, Senin (13/7) menjelaskan, untuk mencegah masuknya penderita flu babi dari luar negeri, khususnya dari Korea Selatan ke Indonesia yang masuk melalui pelabuhan Kualatungkal, Jambi, pihaknya melakukan jemput bola memeriksa para penumpang kapal feri.

"Petugas kita memeriksa kesehatan para penumpang langsung di beberapa dermaga tempat bersandar kapal sebelum mereka memasuki Kota Kualatungkal. Bila ada penupang yang demam tinggi dengan suhu tubuh 38 derajat celsius, kita akan langsung amankan ke rumah sakit. Cara jemput bola ini kita lakukan agar kita jangan sampai kecolongan flu babi,"katanya.

Dijelaskan, penumpang kapal asal Singapura dan Malaysia yang masuk ke Jambi melalui Batam dan pelabuhan Kualatungkal sanga rawan flu babi karena jalur Singapura - Malaysia - Batam merupakan jalur perdagangan dan transportasi internasional.

"Selama ini cukup banyak para pengusaha asal Singapura dan Malaysia yang keluar masuk Jambi melalui Batam dan pelabuhan Kualatungkal. Kemudian pelabuhan Kualatungkal juga merupakan salah satu jalur perdagangan daging babi ke Batam dan Singapura. Bila tak ada pengawasan ketat, penderita flu babi bisa lolos masuk Jambi,"katanya.

M Fuadi mengatakan, pihaknya belum menemukan penumpang kapal yang terkena virus flu babi selama melakukan pemeriksaan dua bulan terakhir. Namun demikian pengawasan terhadap penularan virus tersebut terus dilakukan. Khusus mengantisipasi terjangkitnya virus flu babi di kalangan warga negara Indonesia di Korea Selatan, pengawasan dan pemeriksaan penumpang asal luar negeri dan Batam di pelabuhan Kualatungkal dilakukan 24 jam. [141]

Sungai di Jambi Penuh dengan Sampah



SP/Radesman Saragih

Gerobak motor untuk mengatasi penumpukan sampah sering dikerahkan hingga larut malam ketika sampah semakin menumpuk. Tampak petugas kebersihan Kota Jambi membongkar sampah dari gerobak motor sampah di tempat penampungan sampah Perumnas Kotabaru Jambi, Rabu (24/6).

Nada suara Wakil Wali Kota Jambi, Provinsi Jambi H Sum Indra bernada mengiba memohon maaf atas kegagalan Kota Jambi meraih penghargaan kebersihan kota, Adipura tahun ini. "Kami mohon maaf kepada seluruh warga Kota Jambi karena belum bisa mempersembahkan Adipura. Mudah-mudahan tahun depan penghargaan kebersihan tersebut bisa kita raih," kata Sum Indra pada acara sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No 36/2009 tentang Pengelolaan Sampah, baru-baru ini.

Indra memangku jabatan Wali Kota Jambi sejak November 2008 mendampingi Wali Kota Jambi HR Bambang Priyanto mengaku kecewa dan malu karena Kota Jambi tak mampu meraih kembali Piala Adipura. Padahal tahun 1990-an, Adipura tak pernah lepas dari kota berpenduduk 500.000 jiwa itu.

"Kota Jambi memang belum pantas mendapatkan penghargaan bidang kebersihan saat ini. Wajah kota ini masih terkesan jorok. Masalah sampah belum tertangani. Apalagi sampah di pasar tradisional Angso Duo," katanya.

Kegagalan penanggulangan masalah sampah di Kota Jambi tak terlepas dari swastanisasi pengelolaan kebersihan di kota itu. Penyerahan pengelolaan kebersihan Kota Jambi kepada PT Usaha Sehat Bersama (USB) Kota Jambi lima tahun terakhir membuat kebersihan kota itu merosot.

"Melihat benda-benda keras yang kami angkut dari sungai, saya berharap-harap cemas dapat batangan emas. Eh, ternyata yang tampak hanya 'emas terapung" alias kotoran," kata Indra berseloroh di hadapan para camat, lurah, dan ketua rukun tetangga yang mengikuti sosialisasi.

Kondisi sungai penuh sampah ini, terjadi pada sembilan sungai yang mengalir di kota ini. Kondisi terparah terjadi di Sungai Maram, anak Sungai Batanghari yang mengalir ke pusat kota. Pendangkalan karena sampah di sungai itu paling parah karena berada dekat Pasar Tradisional Angso Duo Kota Jambi dan membelah pusat perdagangan kota.

Akibatnya, sungai tak berfungsi. Setiap hujan, wilayah pusat pasar dan pertokoan kota ini pun diterjang banjir. Selain itu, sungai tersebut juga tidak mampu lagi mengalirkan luberan air sungai-sungai kecil di Kota Jambi, khususnya luberan air dari got di pusat kota.

Kepala Dinas Kebersihan dan Pemakaman Kota Jambi Arief Munandar mengatakan, pihaknya belum mampu mengatasi masalah sampah kendati pengelolaan sampah selama ini telah diserahkan kepada swasta.

Produksi sampah di kota itu saat ini rata-rata 10,5 ton per hari. Sampah yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talang Gulo, Jambi Selatan setiap hari hanya 4,8 ton atau 46 persen. Sedangkan sisa sampah yang menumpuk di berbagai sudut kota itu karena tak terangkut ke TPA mencapai 5,7 ton per hari.

Anggaran

Pihaknya tidak mampu mengangkut seluruh produksi sampah kota itu ke TPA karena keterbatasan dana armada, tenaga, dan sempitnya areal TPA. Anggaran penanganan sampah tak sampai satu miliar setahun. Padahal, seharusnya penanganan sampah di kota itu membutuhkan dana Rp 5 miliar setahun.

Pemkot hanya memiliki 26 unit armada mobil truk angkutan sampah dan hanya mampu mengangkut 4,8 ton sampah per hari. Idealnya, pengangkutan sampah di kota itu membutuhkan 40 truk. Sedangkan, jumlah pegawai tetap dan honor Dinas Kebersihan Kota Jambi hanya sekitar 560 orang.

Selain itu, areal TPA Talang Gulo, Jambi Selatan yang hanya seluas tiga hektare tidak mampu lagi menampung produksi sampah warga kota. Volume sampah di TPA yang digunakan selama 12 tahun tersebut kini mencapai 85 persen. Sedangkan, TPA yang baru dan mesin pengolah sampah belum ada.

Tingginya penumpukan sampah membuat sebagian besar warga membuang sampah ke sungai dan got. Kondisi demikian membuat sebagian besar wilayah pusat Kota Jambi sering dilanda banjir. Untuk mengatasi kekurangan armada pengangkutan sampah, pihaknya menambah 10 gerobak motor, yang sering dioperasikan hingga larut malam. Gerobak ini untuk mengatasi penumpukan sampah di permukiman warga yang hanya bisa dilalui kendaraan kecil.

Wali Kota Jambi HR Bambang Priyanto mengatakan, menyikapi kegagalan PT USB menangani masalah kebersihan di Kota Jambi, pihaknya telah memutus kontrak dengan perusahaan itu. Saat ini, pengelolaan kebersihan di kota itu kembali diambil alih pemkot.

Pengelolaan kebersihan kota yang langsung ditangani pemkot enam bulan terakhir mampu menghemat anggaran 40 persen. Pengelolaan secara swadaya tersebut juga mampu mengurangi penumpukan sampah sekitar 10 persen, termasuk penumpukan sampah di Pasar Tradisional Angso Duo.

Program lain yang dilaksanakan mengatasi masalah sampah di kota itu, menghidupkan kembali Jumat bersih yang selama ini dihapuskan. Fokus Jumat bersih, membersihkan saluran air di jalan-jala protokol dan pusat kota.

Untuk menyelamatkan sembilan sungai di kota itu, pemkot melakukan revitalisasi sungai. "Kita berusaha bekerja sama merevitalisasi sungai di kota ini dengan pemerintah pusat dan provinsi. Masing-masing bertanggung jawab mendanai revitalisasi tiga sungai," kata Indra.

Anggota DPRD Kota Jambi Efron Purba mengatakan, penanganan masalah sampah di Kota Jambi diharapkan tidak panas-panas tahi ayam. Gerakan kebersihan jangan dilakukan secara insidental dan hanya melalui Jumat bersih. Penanganan masalah sampah di Kota Jambi harus dilakukan secara berkesinambungan dengan peningkatan kinerja Dinas Kebersihan Kota Jambi dan dana yang memadai. [SP/Radesman Saragih](Nusantara, Suara Pembaruan, Kamis, 25/6/09)

Membangun Rasa Nasionalisme di Kampus



Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia mengikuti upacara bendera pada acara Perkemahan Wirakarya Nasional IX Racana PTAI se-Indonesia (PWN IX - PTAI) di Jambi.

Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia masih sering diidentikkan dengan basis pendidikan yang kurang memperhatikan aspek pembangunan jiwa nasionalisme. PTAI, bahkan sering dinilai sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan kaum berjiwa fanatis dan terkesan sektarian.

Penilaian seperti itu muncul di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, karena terfokusnya PTAI pada pendidikan dan pengembangan agama Islam. Sedangkan, kegiatan-kegiatan PTAI di bidang pembangunan sosial yang bersifat nasional dan menjangkau segenap elemen masyarakat, masih kurang menonjol.

Kesan seperti itu berpotensi menghambat misi yang diemban PTAI dalam pembangunan nasional, seperti pembebasan masyarakat Indonesia dari keterbelakangan dan kemiskinan. Selain itu, PTAI juga memiliki tugas besar membina generasi muda Indonesia agar tidak sampai terjerumus pada dampak negatif globalisasi, seperti degradasi moral, agama, dan memudarnya rasa nasionalisme.

Guna membangun rasa nasionalis di kalangan mahasiswanya, sekaligus memperkuat peran PTAI dalam pembangunan masyarakat Indonesia, kini PTAI terus berupaya mengintensifkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler bersifat nasional dan sosial. Salah satu di antaranya, kegiatan perkemahan pramuka PTAI Se-Indonesia.

Hingga tahun 2009 ini, tercatat sudah sembilan kali PTAI menggelar perkemahan pramuka secara nasional. Perkemahan pramuka yang dilaksanakan sekali dua tahun dan berpindah pindah dari satu daerah ke daerah lain tersebut, dikemas dengan pola bersosialisasi dan berkarya.

Untuk tahun ini, Perkemahan Wirakarya Nasional IX Racana PTAI Se-Indonesia (PWN IX - PTAI) dilaksanakan di Provinsi Jambi. Perkemahan dilaksanakan di Bumi Perkemahan Raudhah Al-Thalabah, Mendalo, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi, sekitar 40 km dari Kota Jambi, selama 10 hari (Senin, 8/6 - Rabu, 17 /6). PWN IX - PTAI diikuti sekitar 1.430 mahasiswa Islam dari 55 PTAI se-Indonesia.



Rasa Persaudaraan

Ketua Panitia PWN IX - PTAI yang juga Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sultan Thaha Syaifuddin (STS) Jambi, H Muchtar Latief pada penutupan PWN IX - PTAI, Rabu (17/6) mengatakan, selama pelaksanaan perkemahan tersebut, kegiatan difokuskan pada pembangunan rasa persaudaraan dan kepedulian sosial di tengah kemajemukan masyarakat serta pengabdian pada masyarakat.

Kegiatan tersebut, antara lain, pertunjukan kesenian dan kebudayaan Nusantara dan karnaval Indonesia. Kegiatan itu, mempertunjukkan kekhasan seni-budaya dari seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, para peserta perkemahan PTAI tersebut juga turun ke desa-desa di Kabupaten Muarojambi dan Batanghari, melakukan pengabdian masyarakat. Mereka membangun jalan desa, kebersihan desa, dan pembinaan mental - spritual masyarakat desa.

Kemudian, para peserta PWN IX - PTAI juga tak lupa mempromosikan potensi pariwisata Sungai Batanghari dengan menggelar pawai perahu tradisional (ketek) terpanjang se-Indonesia, yakni 100 buah ketek, Minggu (14/6).

Pawai perahu tradisional yang dicatat Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) tersebut diawali dari Taman Wisata "Ancol" Kota Jambi menuju Candi Muarojambi di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, yang jaraknya mencapai 75 km.

Muchtar Latief mengatakan, kegiatan bersifat nasionalis dan peduli sosial itu menjadi fokus PWN IX - PTAI untuk meningkatkan rasa persaudaraan, persatuan, cinta Tanah Air, peduli lingkungan dan membangun jiwa nasionalis civitas akademika PTAI. Kemudian, kegiatan tersebut juga diharapkan melahirkan semangat pengabdian masyarakat para mahasiswa PTAI.

"Di negara kita ini terdapat ratusan etnis, seni dan budaya. Mereka tinggal di berbagai daerah dan memiliki sekitar 500 bahasa daerah. Keragaman masyarakat Indonesia ini harus dirajut dengan jiwa persaudaraan dan nasionalisme agar bisa hidup rukun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu upaya PTAI untuk itu ialah melalui PWN IX - PTAI ini,"paparnya.

Jiwa Toleransi

Sementara itu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), H Aburizal Bakrie pada pembukaan PWN IX - PTAI itu mengatakan, perkemahan mahasiswa PTAI se- Indonesia tersebut diharapkan mampu meningkatkan jiwa toleransi.

Jiwa toleransi sangat dibutuhkan seluruh elemen bangsa, khususnya mahasiswa PTAI se-Indonesia agar bisa menerima perbedaan yang ada di tengah bangsa Indonesia. Baik perbedaan budaya, bahasa, daerah, agama, dan sebagainya.

Melalui jiwa toleran tersebut, kalangan civitas akademika mahasiswa Islam di Indonesia juga akan mampu menghargai kehadiran dan kontribusi saudara sebangsa dalam pembangunan, betapa kecil pun kontribusi tersebut.

Aburizal Bakri mengatakan, berbagai elemen masyarakat Indonesia yang memiliki banyak perbedaan hendaknya menerima sesama warga negara sebagai mitra. Karena itu, bila perbedaan yang ada suatu ketika melahirkan suatu konflik, masalahnya bisa diselesaiakan melalui dialog, bukan melalui tindakan kekerasan. "Kalau kita menganggap saudara sebangsa yang berbeda dengan kita sebagai mitra, jalan terbaik menyelesaikan konflik bila terjadi hanya dialog. Penyelesaian konflik itu bisa dengan mencari persamaan kepentingan. Jika memang ada perbedaan, hal itu harus bisa diterima bersama," ujarnya.

Dikatakan, melalui dialog tersebut, segenap lapisan masyarakat Indonesia akan bisa saling membantu untuk menyelesaikan persoalan bersama. Persoalan bersama bangsa yang perlu diatasi bersama oleh seluruh kelompok masyarakat, khususnya kalangan perguruan tinggi ialah ketertinggalan pendidikan di berbagai daerah. Ketertinggalan pendidikan dan ilmu pengetahuan tersebut membuat bangsa ini juga banyak tertinggal di bidang pembangunan.

"Kunci kemajuan ialah ilmu pengetahuan dan pendidikan. Jadi untuk mengejar keteringgalan pembangunan bangsa kita dari bangsa-bangsa maju, pembangunan pendidikan dan ilmu pengetahuan harus kita pacu. Pemeran utama dalam mewujudkan cita-cita itu tak lain kalangan perguruan tinggi, mahasiswa, khususnya PTAI se-Indonesia,"katanya. [SP/Radesman Saragih]
(Kampus, Suara Pembaruan, Selasa, 23/6/09)
Berdirinya Sekolah Kami

Berdirinya Sekolah Kami

Ahmad Arif

Hujan semalam menyisakan tanah becek dan gigil dingin. Namun, sepagi itu, Desa Sarimukti di lereng Gunung Papandayan sudah hiruk pikuk. Di tanah lapang pinggir desa, puluhan buruh menaikkan sayuran ke truk. Mereka berbagi lahan dengan anak-anak kecil yang bermain bola.

Beberapa langkah dari tanah lapang itu, sejumlah lelaki sibuk bekerja. ”Tok... tok... sreeek... duk,” bunyi palu memukul paku bersaing dengan gesekan gergaji membelah kayu.

Guru, aparat desa—termasuk kepala desa—dan petani, bahu- membahu membangun gedung Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian Sarimukti. ”Sedikit lagi selesai, tinggal pasang jendela dan mengecatnya,” kata Ridwan Saefudin (36), guru Matematika. Sekolah itu berdinding bambu berlantai papan.

SMK Pertanian Sarimukti dibuka tahun lalu. Selama itu pula pembangunan gedung dirintis. Sebanyak 42 siswanya menumpang di madrasah.

”Ayo semangat, anggap olahraga,” kata Yayan Supriyatna (47), Kepala Desa Sarimukti, sambil menghaluskan papan. Warga tersenyum. ”Tiap hari olahraga kami mencangkul, Pak,” seloroh seorang warga. Guyonan itu menambah guyub suasana.

Keguyuban pula yang menyangga sekolah itu. Warga menyumbang apa saja, dari kayu hingga bambu. Anak-anak tak ketinggalan, mengangkuti batu sungai untuk fondasi.

”Sekolah ini sumbangan warga dan Sahabat Sekolah (donatur). Kalau ditotal, habis Rp 45 juta. Ini demi perubahan nasib,” kata Ridwan.

Harapan perubahan

Langkah awal perubahan itu dimulai sejak 2003 saat warga mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sururon. Ide pendirian sekolah setingkat SMP ini muncul dari pembicaraan warga dengan pengasuh Pesantren Sururon, aktivis Serikat Petani Pasundan, dan Yapemas. Sebelumnya, di Sarimukti hanya ada SD.

SMP terdekat ada di Sari Wangi, ibu kota kecamatan, yang harus ditempuh dengan ojek. Biayanya Rp 15.000, setara dengan penghasilan warga sehari. ”Waktu itu hanya dua anak yang lanjut ke SMP,” ujar Yayan.

MTs Sururon kini telah meluluskan 136 siswa. ”Awalnya banyak yang meragukan sekolah kami. Maklum, bangunan dan fasilitasnya terbatas. Semuanya gratis. Gurunya tamatan SMA dan SMP, hanya satu yang sarjana,” kata Ayi Sumarni (25), guru di MTs Sururon yang juga mahasiswi Universitas Garut.

Ridwan, yang juga Wakil Kepala MTs Sururon, mengungkapkan, gaji guru di sekolahnya tak tentu besarannya. ”Biasanya Rp 90.000 sebulan,” katanya. Gaji guru dibayar dari hasil usaha yang dikelola sekolah, seperti ternak ikan. Kolamnya dibuat di bawah lantai kelas. Para guru pun kebanyakan banting tulang mencari pekerjaan tambahan.

Lulusan MTs Sururon nyatanya berprestasi. Tingkat kelulusan hampir 100 persen. ”Dari tiga angkatan, hanya satu siswa yang tak lulus ujian nasional. Itu pun karena sakit,” kata Ayi. Bahkan, pada Ujian Nasional 2006, seorang siswa Sururon mendapat nilai sempurna di bidang Matematika.

Di sekolah lanjutan, alumni MTs Sururon juga berprestasi. Misalnya Siti Aminah (18), lulusan angkatan pertama yang selalu juara umum di SMK Pertanian Garut. Siti kini mendapat tawaran beasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Tak hanya Siti, semua alumnus MTs Sururon yang melanjutkan sekolah juga berprestasi di sekolah masing-masing.

Namun, hanya sedikit lulusan MTs Sururon yang bisa melanjutkan sekolah ke luar desa. Alasan utama, tak punya biaya. ”Itulah yang mendorong kami mendirikan SMK Sarimukti. Sekolah ini, seperti MTs Sururon, juga gratis,” kata Ridwan.

Belajar kehidupan

Tak hanya memiliki prestasi akademik, siswa MTs Sururon juga berani berpendapat dan bersikap, hasil

pengajaran dialogis dan kritis. Ketika melanjutkan studi, banyak dari mereka yang menjadi ketua OSIS di sekolah masing-masing.

Lebih dari itu, anak-anak juga belajar kehidupan. Sarif (17), selama empat tahun sekolah di Sarimukti, tak sepeser pun mendapatkan kiriman uang.

”Orangtua saya miskin. Dari awal mereka tak setuju saya sekolah,” kata Sarif asal Garut selatan, sekitar 150 kilometer dari Sarimukti. Tiga tahun Sarif sekolah di MTs Sururon, setahun terakhir di SMK Sarimukti.

Dulu, ketika mendapat informasi dari teman sekampung tentang sekolah gratis di MTs Sururon, Sarif pun nekat pergi. Di Sarimukti ia tinggal di asrama guru dan bekerja untuk hidup. ”Saya jadi buruh tani,” ujarnya. Puluhan siswa lain seperti Sarif, kenyang pengalaman hidup.

Awal 2004, Sarif dan sembilan siswa lain yang tinggal di asrama pernah dua hari tak makan. ”Kami kehabisan beras. Dua hari makan dedaunan. Waktu itu warga juga lagi susah karena lahan mereka diambil Perhutani,” kisah Sarif.

Ridwan, yang juga tinggal di asrama, menambahkan, ”Waktu itu saya ada urusan di Garut. Karena tak ada uang, terpaksa saat pulang ke Sarimukti jalan kaki. Hampir lima jam di jalan. Perut lapar dan haus, berharap di asrama ada makanan.”

Ternyata siswa di asrama juga kelaparan. ”Saya meminta seorang anak ke warung. Tetapi, dia pulang hanya membawa beberapa lembar bon tagihan utang. Utang kami di warung rupanya menumpuk,” katanya.

Hari sudah malam ketika datang ayah seorang murid dari Garut selatan. Dia membawa bekal lima bungkus nasi timbel yang segera dibagikan. ”Itulah makanan terenak yang pernah saya makan. Saya yakin selalu saja ada jalan kalau ikhlas dan berani,” kata Ridwan.

Seperti Ridwan, seperti itu pula keyakinan warga Sarimukti yang bergotong royong membangun sekolah pagi itu. Ya, pada sekolah itu harapan perubahan disandarkan....(Sumber : Kompas, Selasa, 9 Juni 2009)

Mengobarkan Semangat Menanam Pohon di Jambi



SP/Radesman Saragih

Direktur Eksekutif PT Restorasi Eksosistem Indonesia (Reki) Sean Marron menanam pohon dalam rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Jambi, Jumat (29/5). PT Reki yang didukung pihak Kerajaan Inggris mendukung pelestarian Hutan Harapan di Bajubang, Batanghari, Jambi.

Panas terik terasa membakar kulit ketika mengikuti peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di halaman kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Jumat (29/5). Suasana itu tidak mengurangi antusiasme 20 orang pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengikuti seluruh rangkaian acara tersebut.

"Semangat menanam pohon dan pelestarian hutan harus terus kita kobarkan. Semangat itu tentunya harus kita mulai dari diri sendiri, dari jajaran instansi yang menangani pembangunan hutan ini. Kalau jajaran dinas kehutanan saja tak semangat melestarikan lingkungan, bagaimana bisa kita harapkan masyarakat peduli lingkungan," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya kepada SP, seusai menanam pohon di penghujung peringatan hari lingkungan hidup tersebut.

Penanaman pohon perlu dilakukan secara berkesinambungan di daerah yang kondisi hutannya sangat kritis. Penanaman pohon tersebut tidak hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga harus didukung segenap lapisan masyarakat.

Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat di Jambi menanam pohon merupakan salah satu senjata ampuh mengatasi kerusakan hutan. Sikap apatis segenap komponen masyarakat dalam pemulihan kerusakan hutan akan mengakibatkan semakin parahnya kerusakan hutan di Jambi. Hal inilah yang terjadi selama ini.

Hutan Jambi yang selama ini dikenal sebagai paru-paru dunia kini sudah porak-poranda karena pemulihan hutan hanya mengandalkan pemerintah. Sedangkan masyarakat, oknum-oknum aparat dinas terkait, dan pengusaha hanya tahu menebang hutan. Ancaman kepunahan hutan di Jambi tampak dari kondisi dan laju kerusakan hutan selama ini.

Direktur Komunitas Konservasi Indonesia-Warung Informasi Konservasi (KKI - Warsi) Jambi Rachmat Hidayat menjelaskan, luas hutan di Jambi yang kini rusak total mencapai 871.776 hektare (ha). Kerusakan hutan itu mencapai 40 persen dari sekitar 2,2 juta ha luas hutan di daerah itu.

Lahan kritis karena penggundulan hutan di Provinsi Jambi yang perlu diselamatkan saat ini mencapai 1,1 juta ha. Lahan kritis itu terdapat di kawasan hutan sekitar seluas 971.049 ha di luar kawasan hutan sekitar seluas 140.101 ha. Luas kawasan hutan yang perlu diselamatkan di daerah itu mencapai 2,1 juta ha.

Pemicu tingginya degradasi hutan di daerah itu selama ini antara lain pembalakan liar, eksploitasi hutan oleh perusahaan hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri (HPH/HTI), pemberian izin pemanfaatan kayu rakyat (IPKR), pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan transmigrasi.

Kerusakan hutan sekarang ini semakin parah karena areal hutan yang pernah dieksploitasi habis-habisan oleh perusahaan HPH/HTI banyak yang ditelantarkan. Hutan bekas areal HPH tersebut menjadi sasaran perambah hutan dan penggarap lahan. Hutan bekas perusahaan HPH tersebut dihabiskan kayunya, lalu dibangun menjadi kebun sawit.


Hutan Desa

Solusi paling tepat menyelamatkan hutan Jambi dari kehancuran saat ini, hanya ada dua, yakni pembangunan hutan desa dan hutan tanaman rakyat (HTR). Pembangunan hutan desa memberikan kesempatan kepada warga desa memanfaatkan hasil hutan nonkayu dari areal hutan di sekitar desa mereka tanpa merusak hutan.

Hutan yang bisa dijadikan hutan desa, yaitu hutan produksi yang belum dikuasai perusahaan, hutan lindung dan taman hutan raya (tahura). Melalui pembangunan hutan desa ini, warga desa dapat menjaga hutan agar tidak ditebang oleh siapa pun dan untuk kepentingan apa pun.

Penyelamatan hutan melalui pembangunan hutan desa ini sudah dibuktikan warga Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. Sekitar 2.356 ha areal hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur yang masuk wilayah adminsitratif desa mereka hingga kini masih perawan. Mereka melindungi hutan tersebut dengan memberlakukan hukum adat.

Mata air yang mengalir dari hutan itu menjadi andalan mereka mengairi sawah sekitar 100 hektare dan keperluan hidup sehari-hari. Kemudian air terjun yang ada di hutan itu juga menjadi sumber penggerak pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 10 kilowatt (KW).

Kehadiran pembangkit listrik itu tiga tahun ini mampu menghidupkan suasana malam bagi 85 keluarga warga desa itu. Warga desa tersebut sudah bisa menonton televisi pakai parabola, sehingga tak ketinggalan informasi.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Budidaya, melihat besarnya manfaat pembangunan HTR untuk memulihkan kerusakan hutan dan mengatasi kemiskinan penduduk sekitar hutan, pihaknya mencanangkan program pembangunan HTR.

Dijelaskan, pembangunan HTR di Jambi yang dimulai tahun 2008 mencapai 82.000 ha. Pembangunan HTR itu diharapkan tuntas tahun 2011. Dana yang disiapkan untuk pembangunan HTR itu sebesar Rp 15 miliar per tahun. Sekitar 41.000 ha areal HTR itu diambil alih dari areal hutan tanaman industri (HTI) perusahaan PT Wirakarya Sakti (WKS). Sedangkan, sekitar 41.000 ha lagi merupakan bekas areal hak pengusahaan hutan (HPH) yang sudah lama terlantar.

Budidaya mengatakan, pembangunan di Jambi diharapkan mampu memberikan sumber penghidupan kepada 20.000 keluarga sekitar hutan agar mereka tidak melakukan pembalakan liar.

Saat ini sudah dilakukan pembibitan sekitar 200.000 batang kayu jelutung di Jambi. Tambahan bibit kayu jelutung didatangkan dari Institut Pertanian Bogor.

Pembangunan HTR di Jambi itu diyakini tidak mengalami kegagalan seperti program penghijauan atau gerakan nasional menanam hutan. Warga masyarakat sekitar hutan di Jambi cukup antusias mengikuti program HTR itu karena mereka melihat manfaatnya besar menopang ekonomi keluarga. [SP/Radesman Saragih]*** Suara Pembaruan, Jumat, 5 Juni 2009