Sungai di Jambi Penuh dengan Sampah



SP/Radesman Saragih

Gerobak motor untuk mengatasi penumpukan sampah sering dikerahkan hingga larut malam ketika sampah semakin menumpuk. Tampak petugas kebersihan Kota Jambi membongkar sampah dari gerobak motor sampah di tempat penampungan sampah Perumnas Kotabaru Jambi, Rabu (24/6).

Nada suara Wakil Wali Kota Jambi, Provinsi Jambi H Sum Indra bernada mengiba memohon maaf atas kegagalan Kota Jambi meraih penghargaan kebersihan kota, Adipura tahun ini. "Kami mohon maaf kepada seluruh warga Kota Jambi karena belum bisa mempersembahkan Adipura. Mudah-mudahan tahun depan penghargaan kebersihan tersebut bisa kita raih," kata Sum Indra pada acara sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No 36/2009 tentang Pengelolaan Sampah, baru-baru ini.

Indra memangku jabatan Wali Kota Jambi sejak November 2008 mendampingi Wali Kota Jambi HR Bambang Priyanto mengaku kecewa dan malu karena Kota Jambi tak mampu meraih kembali Piala Adipura. Padahal tahun 1990-an, Adipura tak pernah lepas dari kota berpenduduk 500.000 jiwa itu.

"Kota Jambi memang belum pantas mendapatkan penghargaan bidang kebersihan saat ini. Wajah kota ini masih terkesan jorok. Masalah sampah belum tertangani. Apalagi sampah di pasar tradisional Angso Duo," katanya.

Kegagalan penanggulangan masalah sampah di Kota Jambi tak terlepas dari swastanisasi pengelolaan kebersihan di kota itu. Penyerahan pengelolaan kebersihan Kota Jambi kepada PT Usaha Sehat Bersama (USB) Kota Jambi lima tahun terakhir membuat kebersihan kota itu merosot.

"Melihat benda-benda keras yang kami angkut dari sungai, saya berharap-harap cemas dapat batangan emas. Eh, ternyata yang tampak hanya 'emas terapung" alias kotoran," kata Indra berseloroh di hadapan para camat, lurah, dan ketua rukun tetangga yang mengikuti sosialisasi.

Kondisi sungai penuh sampah ini, terjadi pada sembilan sungai yang mengalir di kota ini. Kondisi terparah terjadi di Sungai Maram, anak Sungai Batanghari yang mengalir ke pusat kota. Pendangkalan karena sampah di sungai itu paling parah karena berada dekat Pasar Tradisional Angso Duo Kota Jambi dan membelah pusat perdagangan kota.

Akibatnya, sungai tak berfungsi. Setiap hujan, wilayah pusat pasar dan pertokoan kota ini pun diterjang banjir. Selain itu, sungai tersebut juga tidak mampu lagi mengalirkan luberan air sungai-sungai kecil di Kota Jambi, khususnya luberan air dari got di pusat kota.

Kepala Dinas Kebersihan dan Pemakaman Kota Jambi Arief Munandar mengatakan, pihaknya belum mampu mengatasi masalah sampah kendati pengelolaan sampah selama ini telah diserahkan kepada swasta.

Produksi sampah di kota itu saat ini rata-rata 10,5 ton per hari. Sampah yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talang Gulo, Jambi Selatan setiap hari hanya 4,8 ton atau 46 persen. Sedangkan sisa sampah yang menumpuk di berbagai sudut kota itu karena tak terangkut ke TPA mencapai 5,7 ton per hari.

Anggaran

Pihaknya tidak mampu mengangkut seluruh produksi sampah kota itu ke TPA karena keterbatasan dana armada, tenaga, dan sempitnya areal TPA. Anggaran penanganan sampah tak sampai satu miliar setahun. Padahal, seharusnya penanganan sampah di kota itu membutuhkan dana Rp 5 miliar setahun.

Pemkot hanya memiliki 26 unit armada mobil truk angkutan sampah dan hanya mampu mengangkut 4,8 ton sampah per hari. Idealnya, pengangkutan sampah di kota itu membutuhkan 40 truk. Sedangkan, jumlah pegawai tetap dan honor Dinas Kebersihan Kota Jambi hanya sekitar 560 orang.

Selain itu, areal TPA Talang Gulo, Jambi Selatan yang hanya seluas tiga hektare tidak mampu lagi menampung produksi sampah warga kota. Volume sampah di TPA yang digunakan selama 12 tahun tersebut kini mencapai 85 persen. Sedangkan, TPA yang baru dan mesin pengolah sampah belum ada.

Tingginya penumpukan sampah membuat sebagian besar warga membuang sampah ke sungai dan got. Kondisi demikian membuat sebagian besar wilayah pusat Kota Jambi sering dilanda banjir. Untuk mengatasi kekurangan armada pengangkutan sampah, pihaknya menambah 10 gerobak motor, yang sering dioperasikan hingga larut malam. Gerobak ini untuk mengatasi penumpukan sampah di permukiman warga yang hanya bisa dilalui kendaraan kecil.

Wali Kota Jambi HR Bambang Priyanto mengatakan, menyikapi kegagalan PT USB menangani masalah kebersihan di Kota Jambi, pihaknya telah memutus kontrak dengan perusahaan itu. Saat ini, pengelolaan kebersihan di kota itu kembali diambil alih pemkot.

Pengelolaan kebersihan kota yang langsung ditangani pemkot enam bulan terakhir mampu menghemat anggaran 40 persen. Pengelolaan secara swadaya tersebut juga mampu mengurangi penumpukan sampah sekitar 10 persen, termasuk penumpukan sampah di Pasar Tradisional Angso Duo.

Program lain yang dilaksanakan mengatasi masalah sampah di kota itu, menghidupkan kembali Jumat bersih yang selama ini dihapuskan. Fokus Jumat bersih, membersihkan saluran air di jalan-jala protokol dan pusat kota.

Untuk menyelamatkan sembilan sungai di kota itu, pemkot melakukan revitalisasi sungai. "Kita berusaha bekerja sama merevitalisasi sungai di kota ini dengan pemerintah pusat dan provinsi. Masing-masing bertanggung jawab mendanai revitalisasi tiga sungai," kata Indra.

Anggota DPRD Kota Jambi Efron Purba mengatakan, penanganan masalah sampah di Kota Jambi diharapkan tidak panas-panas tahi ayam. Gerakan kebersihan jangan dilakukan secara insidental dan hanya melalui Jumat bersih. Penanganan masalah sampah di Kota Jambi harus dilakukan secara berkesinambungan dengan peningkatan kinerja Dinas Kebersihan Kota Jambi dan dana yang memadai. [SP/Radesman Saragih](Nusantara, Suara Pembaruan, Kamis, 25/6/09)

Membangun Rasa Nasionalisme di Kampus



Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia mengikuti upacara bendera pada acara Perkemahan Wirakarya Nasional IX Racana PTAI se-Indonesia (PWN IX - PTAI) di Jambi.

Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia masih sering diidentikkan dengan basis pendidikan yang kurang memperhatikan aspek pembangunan jiwa nasionalisme. PTAI, bahkan sering dinilai sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan kaum berjiwa fanatis dan terkesan sektarian.

Penilaian seperti itu muncul di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, karena terfokusnya PTAI pada pendidikan dan pengembangan agama Islam. Sedangkan, kegiatan-kegiatan PTAI di bidang pembangunan sosial yang bersifat nasional dan menjangkau segenap elemen masyarakat, masih kurang menonjol.

Kesan seperti itu berpotensi menghambat misi yang diemban PTAI dalam pembangunan nasional, seperti pembebasan masyarakat Indonesia dari keterbelakangan dan kemiskinan. Selain itu, PTAI juga memiliki tugas besar membina generasi muda Indonesia agar tidak sampai terjerumus pada dampak negatif globalisasi, seperti degradasi moral, agama, dan memudarnya rasa nasionalisme.

Guna membangun rasa nasionalis di kalangan mahasiswanya, sekaligus memperkuat peran PTAI dalam pembangunan masyarakat Indonesia, kini PTAI terus berupaya mengintensifkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler bersifat nasional dan sosial. Salah satu di antaranya, kegiatan perkemahan pramuka PTAI Se-Indonesia.

Hingga tahun 2009 ini, tercatat sudah sembilan kali PTAI menggelar perkemahan pramuka secara nasional. Perkemahan pramuka yang dilaksanakan sekali dua tahun dan berpindah pindah dari satu daerah ke daerah lain tersebut, dikemas dengan pola bersosialisasi dan berkarya.

Untuk tahun ini, Perkemahan Wirakarya Nasional IX Racana PTAI Se-Indonesia (PWN IX - PTAI) dilaksanakan di Provinsi Jambi. Perkemahan dilaksanakan di Bumi Perkemahan Raudhah Al-Thalabah, Mendalo, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi, sekitar 40 km dari Kota Jambi, selama 10 hari (Senin, 8/6 - Rabu, 17 /6). PWN IX - PTAI diikuti sekitar 1.430 mahasiswa Islam dari 55 PTAI se-Indonesia.



Rasa Persaudaraan

Ketua Panitia PWN IX - PTAI yang juga Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sultan Thaha Syaifuddin (STS) Jambi, H Muchtar Latief pada penutupan PWN IX - PTAI, Rabu (17/6) mengatakan, selama pelaksanaan perkemahan tersebut, kegiatan difokuskan pada pembangunan rasa persaudaraan dan kepedulian sosial di tengah kemajemukan masyarakat serta pengabdian pada masyarakat.

Kegiatan tersebut, antara lain, pertunjukan kesenian dan kebudayaan Nusantara dan karnaval Indonesia. Kegiatan itu, mempertunjukkan kekhasan seni-budaya dari seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, para peserta perkemahan PTAI tersebut juga turun ke desa-desa di Kabupaten Muarojambi dan Batanghari, melakukan pengabdian masyarakat. Mereka membangun jalan desa, kebersihan desa, dan pembinaan mental - spritual masyarakat desa.

Kemudian, para peserta PWN IX - PTAI juga tak lupa mempromosikan potensi pariwisata Sungai Batanghari dengan menggelar pawai perahu tradisional (ketek) terpanjang se-Indonesia, yakni 100 buah ketek, Minggu (14/6).

Pawai perahu tradisional yang dicatat Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) tersebut diawali dari Taman Wisata "Ancol" Kota Jambi menuju Candi Muarojambi di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, yang jaraknya mencapai 75 km.

Muchtar Latief mengatakan, kegiatan bersifat nasionalis dan peduli sosial itu menjadi fokus PWN IX - PTAI untuk meningkatkan rasa persaudaraan, persatuan, cinta Tanah Air, peduli lingkungan dan membangun jiwa nasionalis civitas akademika PTAI. Kemudian, kegiatan tersebut juga diharapkan melahirkan semangat pengabdian masyarakat para mahasiswa PTAI.

"Di negara kita ini terdapat ratusan etnis, seni dan budaya. Mereka tinggal di berbagai daerah dan memiliki sekitar 500 bahasa daerah. Keragaman masyarakat Indonesia ini harus dirajut dengan jiwa persaudaraan dan nasionalisme agar bisa hidup rukun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu upaya PTAI untuk itu ialah melalui PWN IX - PTAI ini,"paparnya.

Jiwa Toleransi

Sementara itu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), H Aburizal Bakrie pada pembukaan PWN IX - PTAI itu mengatakan, perkemahan mahasiswa PTAI se- Indonesia tersebut diharapkan mampu meningkatkan jiwa toleransi.

Jiwa toleransi sangat dibutuhkan seluruh elemen bangsa, khususnya mahasiswa PTAI se-Indonesia agar bisa menerima perbedaan yang ada di tengah bangsa Indonesia. Baik perbedaan budaya, bahasa, daerah, agama, dan sebagainya.

Melalui jiwa toleran tersebut, kalangan civitas akademika mahasiswa Islam di Indonesia juga akan mampu menghargai kehadiran dan kontribusi saudara sebangsa dalam pembangunan, betapa kecil pun kontribusi tersebut.

Aburizal Bakri mengatakan, berbagai elemen masyarakat Indonesia yang memiliki banyak perbedaan hendaknya menerima sesama warga negara sebagai mitra. Karena itu, bila perbedaan yang ada suatu ketika melahirkan suatu konflik, masalahnya bisa diselesaiakan melalui dialog, bukan melalui tindakan kekerasan. "Kalau kita menganggap saudara sebangsa yang berbeda dengan kita sebagai mitra, jalan terbaik menyelesaikan konflik bila terjadi hanya dialog. Penyelesaian konflik itu bisa dengan mencari persamaan kepentingan. Jika memang ada perbedaan, hal itu harus bisa diterima bersama," ujarnya.

Dikatakan, melalui dialog tersebut, segenap lapisan masyarakat Indonesia akan bisa saling membantu untuk menyelesaikan persoalan bersama. Persoalan bersama bangsa yang perlu diatasi bersama oleh seluruh kelompok masyarakat, khususnya kalangan perguruan tinggi ialah ketertinggalan pendidikan di berbagai daerah. Ketertinggalan pendidikan dan ilmu pengetahuan tersebut membuat bangsa ini juga banyak tertinggal di bidang pembangunan.

"Kunci kemajuan ialah ilmu pengetahuan dan pendidikan. Jadi untuk mengejar keteringgalan pembangunan bangsa kita dari bangsa-bangsa maju, pembangunan pendidikan dan ilmu pengetahuan harus kita pacu. Pemeran utama dalam mewujudkan cita-cita itu tak lain kalangan perguruan tinggi, mahasiswa, khususnya PTAI se-Indonesia,"katanya. [SP/Radesman Saragih]
(Kampus, Suara Pembaruan, Selasa, 23/6/09)
Berdirinya Sekolah Kami

Berdirinya Sekolah Kami

Ahmad Arif

Hujan semalam menyisakan tanah becek dan gigil dingin. Namun, sepagi itu, Desa Sarimukti di lereng Gunung Papandayan sudah hiruk pikuk. Di tanah lapang pinggir desa, puluhan buruh menaikkan sayuran ke truk. Mereka berbagi lahan dengan anak-anak kecil yang bermain bola.

Beberapa langkah dari tanah lapang itu, sejumlah lelaki sibuk bekerja. ”Tok... tok... sreeek... duk,” bunyi palu memukul paku bersaing dengan gesekan gergaji membelah kayu.

Guru, aparat desa—termasuk kepala desa—dan petani, bahu- membahu membangun gedung Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian Sarimukti. ”Sedikit lagi selesai, tinggal pasang jendela dan mengecatnya,” kata Ridwan Saefudin (36), guru Matematika. Sekolah itu berdinding bambu berlantai papan.

SMK Pertanian Sarimukti dibuka tahun lalu. Selama itu pula pembangunan gedung dirintis. Sebanyak 42 siswanya menumpang di madrasah.

”Ayo semangat, anggap olahraga,” kata Yayan Supriyatna (47), Kepala Desa Sarimukti, sambil menghaluskan papan. Warga tersenyum. ”Tiap hari olahraga kami mencangkul, Pak,” seloroh seorang warga. Guyonan itu menambah guyub suasana.

Keguyuban pula yang menyangga sekolah itu. Warga menyumbang apa saja, dari kayu hingga bambu. Anak-anak tak ketinggalan, mengangkuti batu sungai untuk fondasi.

”Sekolah ini sumbangan warga dan Sahabat Sekolah (donatur). Kalau ditotal, habis Rp 45 juta. Ini demi perubahan nasib,” kata Ridwan.

Harapan perubahan

Langkah awal perubahan itu dimulai sejak 2003 saat warga mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sururon. Ide pendirian sekolah setingkat SMP ini muncul dari pembicaraan warga dengan pengasuh Pesantren Sururon, aktivis Serikat Petani Pasundan, dan Yapemas. Sebelumnya, di Sarimukti hanya ada SD.

SMP terdekat ada di Sari Wangi, ibu kota kecamatan, yang harus ditempuh dengan ojek. Biayanya Rp 15.000, setara dengan penghasilan warga sehari. ”Waktu itu hanya dua anak yang lanjut ke SMP,” ujar Yayan.

MTs Sururon kini telah meluluskan 136 siswa. ”Awalnya banyak yang meragukan sekolah kami. Maklum, bangunan dan fasilitasnya terbatas. Semuanya gratis. Gurunya tamatan SMA dan SMP, hanya satu yang sarjana,” kata Ayi Sumarni (25), guru di MTs Sururon yang juga mahasiswi Universitas Garut.

Ridwan, yang juga Wakil Kepala MTs Sururon, mengungkapkan, gaji guru di sekolahnya tak tentu besarannya. ”Biasanya Rp 90.000 sebulan,” katanya. Gaji guru dibayar dari hasil usaha yang dikelola sekolah, seperti ternak ikan. Kolamnya dibuat di bawah lantai kelas. Para guru pun kebanyakan banting tulang mencari pekerjaan tambahan.

Lulusan MTs Sururon nyatanya berprestasi. Tingkat kelulusan hampir 100 persen. ”Dari tiga angkatan, hanya satu siswa yang tak lulus ujian nasional. Itu pun karena sakit,” kata Ayi. Bahkan, pada Ujian Nasional 2006, seorang siswa Sururon mendapat nilai sempurna di bidang Matematika.

Di sekolah lanjutan, alumni MTs Sururon juga berprestasi. Misalnya Siti Aminah (18), lulusan angkatan pertama yang selalu juara umum di SMK Pertanian Garut. Siti kini mendapat tawaran beasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Tak hanya Siti, semua alumnus MTs Sururon yang melanjutkan sekolah juga berprestasi di sekolah masing-masing.

Namun, hanya sedikit lulusan MTs Sururon yang bisa melanjutkan sekolah ke luar desa. Alasan utama, tak punya biaya. ”Itulah yang mendorong kami mendirikan SMK Sarimukti. Sekolah ini, seperti MTs Sururon, juga gratis,” kata Ridwan.

Belajar kehidupan

Tak hanya memiliki prestasi akademik, siswa MTs Sururon juga berani berpendapat dan bersikap, hasil

pengajaran dialogis dan kritis. Ketika melanjutkan studi, banyak dari mereka yang menjadi ketua OSIS di sekolah masing-masing.

Lebih dari itu, anak-anak juga belajar kehidupan. Sarif (17), selama empat tahun sekolah di Sarimukti, tak sepeser pun mendapatkan kiriman uang.

”Orangtua saya miskin. Dari awal mereka tak setuju saya sekolah,” kata Sarif asal Garut selatan, sekitar 150 kilometer dari Sarimukti. Tiga tahun Sarif sekolah di MTs Sururon, setahun terakhir di SMK Sarimukti.

Dulu, ketika mendapat informasi dari teman sekampung tentang sekolah gratis di MTs Sururon, Sarif pun nekat pergi. Di Sarimukti ia tinggal di asrama guru dan bekerja untuk hidup. ”Saya jadi buruh tani,” ujarnya. Puluhan siswa lain seperti Sarif, kenyang pengalaman hidup.

Awal 2004, Sarif dan sembilan siswa lain yang tinggal di asrama pernah dua hari tak makan. ”Kami kehabisan beras. Dua hari makan dedaunan. Waktu itu warga juga lagi susah karena lahan mereka diambil Perhutani,” kisah Sarif.

Ridwan, yang juga tinggal di asrama, menambahkan, ”Waktu itu saya ada urusan di Garut. Karena tak ada uang, terpaksa saat pulang ke Sarimukti jalan kaki. Hampir lima jam di jalan. Perut lapar dan haus, berharap di asrama ada makanan.”

Ternyata siswa di asrama juga kelaparan. ”Saya meminta seorang anak ke warung. Tetapi, dia pulang hanya membawa beberapa lembar bon tagihan utang. Utang kami di warung rupanya menumpuk,” katanya.

Hari sudah malam ketika datang ayah seorang murid dari Garut selatan. Dia membawa bekal lima bungkus nasi timbel yang segera dibagikan. ”Itulah makanan terenak yang pernah saya makan. Saya yakin selalu saja ada jalan kalau ikhlas dan berani,” kata Ridwan.

Seperti Ridwan, seperti itu pula keyakinan warga Sarimukti yang bergotong royong membangun sekolah pagi itu. Ya, pada sekolah itu harapan perubahan disandarkan....(Sumber : Kompas, Selasa, 9 Juni 2009)

Mengobarkan Semangat Menanam Pohon di Jambi



SP/Radesman Saragih

Direktur Eksekutif PT Restorasi Eksosistem Indonesia (Reki) Sean Marron menanam pohon dalam rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Jambi, Jumat (29/5). PT Reki yang didukung pihak Kerajaan Inggris mendukung pelestarian Hutan Harapan di Bajubang, Batanghari, Jambi.

Panas terik terasa membakar kulit ketika mengikuti peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di halaman kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Jumat (29/5). Suasana itu tidak mengurangi antusiasme 20 orang pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengikuti seluruh rangkaian acara tersebut.

"Semangat menanam pohon dan pelestarian hutan harus terus kita kobarkan. Semangat itu tentunya harus kita mulai dari diri sendiri, dari jajaran instansi yang menangani pembangunan hutan ini. Kalau jajaran dinas kehutanan saja tak semangat melestarikan lingkungan, bagaimana bisa kita harapkan masyarakat peduli lingkungan," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya kepada SP, seusai menanam pohon di penghujung peringatan hari lingkungan hidup tersebut.

Penanaman pohon perlu dilakukan secara berkesinambungan di daerah yang kondisi hutannya sangat kritis. Penanaman pohon tersebut tidak hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga harus didukung segenap lapisan masyarakat.

Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat di Jambi menanam pohon merupakan salah satu senjata ampuh mengatasi kerusakan hutan. Sikap apatis segenap komponen masyarakat dalam pemulihan kerusakan hutan akan mengakibatkan semakin parahnya kerusakan hutan di Jambi. Hal inilah yang terjadi selama ini.

Hutan Jambi yang selama ini dikenal sebagai paru-paru dunia kini sudah porak-poranda karena pemulihan hutan hanya mengandalkan pemerintah. Sedangkan masyarakat, oknum-oknum aparat dinas terkait, dan pengusaha hanya tahu menebang hutan. Ancaman kepunahan hutan di Jambi tampak dari kondisi dan laju kerusakan hutan selama ini.

Direktur Komunitas Konservasi Indonesia-Warung Informasi Konservasi (KKI - Warsi) Jambi Rachmat Hidayat menjelaskan, luas hutan di Jambi yang kini rusak total mencapai 871.776 hektare (ha). Kerusakan hutan itu mencapai 40 persen dari sekitar 2,2 juta ha luas hutan di daerah itu.

Lahan kritis karena penggundulan hutan di Provinsi Jambi yang perlu diselamatkan saat ini mencapai 1,1 juta ha. Lahan kritis itu terdapat di kawasan hutan sekitar seluas 971.049 ha di luar kawasan hutan sekitar seluas 140.101 ha. Luas kawasan hutan yang perlu diselamatkan di daerah itu mencapai 2,1 juta ha.

Pemicu tingginya degradasi hutan di daerah itu selama ini antara lain pembalakan liar, eksploitasi hutan oleh perusahaan hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri (HPH/HTI), pemberian izin pemanfaatan kayu rakyat (IPKR), pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan transmigrasi.

Kerusakan hutan sekarang ini semakin parah karena areal hutan yang pernah dieksploitasi habis-habisan oleh perusahaan HPH/HTI banyak yang ditelantarkan. Hutan bekas areal HPH tersebut menjadi sasaran perambah hutan dan penggarap lahan. Hutan bekas perusahaan HPH tersebut dihabiskan kayunya, lalu dibangun menjadi kebun sawit.


Hutan Desa

Solusi paling tepat menyelamatkan hutan Jambi dari kehancuran saat ini, hanya ada dua, yakni pembangunan hutan desa dan hutan tanaman rakyat (HTR). Pembangunan hutan desa memberikan kesempatan kepada warga desa memanfaatkan hasil hutan nonkayu dari areal hutan di sekitar desa mereka tanpa merusak hutan.

Hutan yang bisa dijadikan hutan desa, yaitu hutan produksi yang belum dikuasai perusahaan, hutan lindung dan taman hutan raya (tahura). Melalui pembangunan hutan desa ini, warga desa dapat menjaga hutan agar tidak ditebang oleh siapa pun dan untuk kepentingan apa pun.

Penyelamatan hutan melalui pembangunan hutan desa ini sudah dibuktikan warga Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. Sekitar 2.356 ha areal hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur yang masuk wilayah adminsitratif desa mereka hingga kini masih perawan. Mereka melindungi hutan tersebut dengan memberlakukan hukum adat.

Mata air yang mengalir dari hutan itu menjadi andalan mereka mengairi sawah sekitar 100 hektare dan keperluan hidup sehari-hari. Kemudian air terjun yang ada di hutan itu juga menjadi sumber penggerak pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 10 kilowatt (KW).

Kehadiran pembangkit listrik itu tiga tahun ini mampu menghidupkan suasana malam bagi 85 keluarga warga desa itu. Warga desa tersebut sudah bisa menonton televisi pakai parabola, sehingga tak ketinggalan informasi.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Budidaya, melihat besarnya manfaat pembangunan HTR untuk memulihkan kerusakan hutan dan mengatasi kemiskinan penduduk sekitar hutan, pihaknya mencanangkan program pembangunan HTR.

Dijelaskan, pembangunan HTR di Jambi yang dimulai tahun 2008 mencapai 82.000 ha. Pembangunan HTR itu diharapkan tuntas tahun 2011. Dana yang disiapkan untuk pembangunan HTR itu sebesar Rp 15 miliar per tahun. Sekitar 41.000 ha areal HTR itu diambil alih dari areal hutan tanaman industri (HTI) perusahaan PT Wirakarya Sakti (WKS). Sedangkan, sekitar 41.000 ha lagi merupakan bekas areal hak pengusahaan hutan (HPH) yang sudah lama terlantar.

Budidaya mengatakan, pembangunan di Jambi diharapkan mampu memberikan sumber penghidupan kepada 20.000 keluarga sekitar hutan agar mereka tidak melakukan pembalakan liar.

Saat ini sudah dilakukan pembibitan sekitar 200.000 batang kayu jelutung di Jambi. Tambahan bibit kayu jelutung didatangkan dari Institut Pertanian Bogor.

Pembangunan HTR di Jambi itu diyakini tidak mengalami kegagalan seperti program penghijauan atau gerakan nasional menanam hutan. Warga masyarakat sekitar hutan di Jambi cukup antusias mengikuti program HTR itu karena mereka melihat manfaatnya besar menopang ekonomi keluarga. [SP/Radesman Saragih]*** Suara Pembaruan, Jumat, 5 Juni 2009