Surat Kabar di Indonesia Mampu Bertahan 15 Tahun Lagi

Surat Kabar di Indonesia Mampu Bertahan 15 Tahun Lagi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan Surat Kabar di Indonesia diperkirakan mampu bertahan hingga 10-15 tahun ke depan karena beberapa keunggulannya dibanding media lain seperti televisi, radio, maupun online.

"Patut disyukuri tapi tidak boleh euforia karena ke depan tetap bisa rawan," ucap Hendrajit anggota lembaga riset LP3ES saat mempresentasikan hasil penelitian LP3ES terhadap masa depan surat kabar Indonesia dalam acara Jambore Pers Indonesia di Jakarta, Rabu ( 19/8 ).

Hendrajit menjelaskan, surat kabar memiliki keunggulan dibanding media lain yaitu kedalaman berita serta kearsipan yang membuat masyarakat tetap tertarik.

Namun, dari hasil penelitian atas survei terhadap 2.971 responden pembaca surat kabar di 15 kota besar serta dengan penelitian wawancara diperoleh bahwa mayoritas surat kabar khususnya di daerah kurang memberikan informasi yang mendalam terhadap suatu peristiwa.

Temuan lain, ungkapnya, surat kabar daerah kurang mengangkat isu-isu lokal melainkan lebih banyak mengangkat isu nasional untuk menyaingi koran nasional. "Secara substansi koran lokal tidak menganggap dirinya sebagai koran daerah melainkan mengganggap sebagai koran nasional yang berada di daerah," ujarnya.

Harga kertas yang terus melonjak dan persaingan antar media masa yang ketat, katanya, masih menjadi ancaman buat surat kabar ke depan.Untuk itu, surat kabar harus lebih mengedepankan aspek kedalaman berita, isu lokal, dan harus memiliki karakter yang kuat untuk mampu bertahan.

Senada juga dikatakan Subagio Dwijosumono Deputi Bidang Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang menilai industri pers ke depan akan terus diminati dengan melihat beberapa aspek, yaitu jumlah daya beli masyarakat relatif meningkat, jumlah masyarakat berpendidikan menengah ke atas terus meningkat yang mengakibatkan pembaca media cetak ikut naik.

Selain itu, lanjut dia, kompetisi antar penerbitan pers yang semakin kuat membuat perusahaan penerbitan meningkatkan kualitas medianya serta SDM yang bekerja di dunia pers semakin bermutu.

"Memang era digital dengan E-paper akan terus berkembang tetapi dalam dua dekade ke depan belum akan menggeser minat masyarakat untuk membaca media cetak. Perkembangan media elektronik terutama televisi juga tidak akan menggeser masyarakat untuk membaca," tuturnya.
(Sumber:Kompas.Com,Rabu, 19 Agustus 2009)
Upah yang Layak atau Terima Amplop (?)

Upah yang Layak atau Terima Amplop (?)

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Kebanggaan menjadi wartawan, seperti yang selama ini kita ketahui, memang tak pelak membuat kita luput mempertanyakan bagaimana kesejahteraannya. Hingga saat ini, wartawan masih dianggap sebagai sebuah pekerjaan profesional. Coba tanya, siapa yang tidak akan bangga bisa bertatapan dan bicara langsung dengan gubernur atau para artis. Kebanggaan mendapatkan akses yang jauh lebih mudah dan eksklusif dibandingkan orang lain atau pekerja lain.


Makanya tak heran, banyak orang, bahkan wartawan sendiri yang tak mau beranggapan bahwa pekerjaan wartawan tak jauh beda seperti pekerjaan buruh atau pekerja biasa. Banyak yang tidak sepakat dan mendebat keras, ketika profesi wartawan diidentikkan dengan kaum buruh yang konotasi umumnya selalu tertindas, menerima upah rendah dan kesejahteraannya "payah."


Padahal kenyataannya memang sepeti itu. Sejak awal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sendiri menggolongkan wartawan tak ubahnya sebagai buruh, karena secara reguler bekerja untuk mendapatkan gaji dan pendapatan yang layak bagi penghidupannya. Bahkan, banyak wartawan yang malah menerima upah yang tak layak dan tidak cukup untuk kesejahteraannya.


Menurut Adi Prinantyo, wartawan Kompas yang juga Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, para jurnalis itu berbeda ciri dengan "pekerjaan" profesi seperti dokter praktik, tukang ojek, atau petani yang memiliki lahan dan menguasai alat produksi. Wartawan tak jauh beda dengan buruh pabrik dan petani penggarap yang tidak menguasai alat produksi, tapi bergantung pada pemilik alat produksi (pengusaha media).


Pada umumnya, wartawan bekerja pada perusahaan media tertentu dan mendapatkan upah dari pekerjaannya. Jika pengusaha medianya tak membutuhkannya lagi, maka ia tak akan mendapatkan upah lagi. Sehingga sangat jelas mencirikan sebagai pekerja atau buruh. Sedangkan kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah layak, terdiri dari gaji dan tunjangan serta memperoleh kondisi kerja yang memadai (waktu kerja, sarana kesehatan dan keselamatan kerja maupun aturan di tempat kerja).


Upah Tak Layak


Gaji wartawan menjadi permasalahan krusial yang harus diperhatikan setiap perusahaan media. Bayangkan saja, di zaman serba susah ini masih ada wartawan yang digaji di bawah upah minimum regional (UMR), yakni di bawah Rp 900 ribu per bulan, padahal tekanan pekerjaannya begitu berat. Bahkan, ada wartawan yang sama sekali tidak digaji, sehingga hanya mengharapkan "amplop" dari narasumbernya.


Menurut Dewan Pers, hanya 249 dari 829 perusahaan media cetak di Indonesia yang layak disebut sebagai usaha bisnis, alias sisanya tak sanggup menggaji wartawannya sesuai dengan standar upah di Indonesia. Ini hanya 30 persennya saja dari total perusahaan media cetak yang ada di Indonesia tersebut. Belum lagi media elektronik yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah media cetak.


Berdasarkan survei terakhir yang dilakukan AJI tentang keadaan media pers dan kesejahteraan para wartawannya, mengungkap bahwa penghasilan rata-rata wartawan antara hanya Rp 900 ribu hingga Rp 1,4 juta per bulan. Penelitian ini melibatkan responden 400 wartawan dari 80 media massa di 17 kota besar di Indonesia yang hampir seluruhnya ibukota provinsi.


Sebanyak 29,1 persen wartawan yang berpendidikan sarjana masih bergaji di bawah Rp 1 juta sebulan.

Sedangkan 11,5 persen wartawan masih digaji di bawah rata-rata upah minimum setempat. Bahkan yang sangat menyedihkan, ternyata masih ada media di Indonesia yang menggaji wartawannya hanya Rp 200 ribu per bulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvei.


Hasil survei AJI ini menunjukkan wartawan dan perusahaan pers pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung. Tak ada yang bisa menjamin kesejahteraan para wartawan ini jika media tempatnya bekerja sendiri kesulitan untuk bertahan hidup.


Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvei harus memiliki pekerjaan sampingan, yang di antaranya tentu saja dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan profesinya sebagai wartawan. Malah 61,3 persen dari para wartawan tersebut menganggap pemberian "amplop" oleh narasumber dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka.


Makanya tak heran jika banyak wartawan yang hanya mengandalkan kartu pers (ID Card) wartawan yang dimilikinya untuk mendapatkan penghasilan dari sumber berita. Bahkan, sering kali nilai nomimal uang yang diterima dari "amplop" tersebut justru lebih besar dibandingkan jumlah gaji dari medianya sendiri. Sehingga, "amplop" tak lagi "haram" bagi para wartawan, seperti yang disampaikan AJI. Para wartawan ini selalu bilang, "Haram menerima amplop, tapi terima isinya saja."


Jika melihat kenyataan ini, bagaimana akan muncul sosok wartawan yang profesional, beretika, independen dan kritis, kalau "tak bergaji" layak? Malah setiap mereka harus terus menggantungkan harapan pendapatan dari pihak lain yang bisa "mengatur" pemberitaan yang akan dibuat.

Jaminan Kesejahteraan


Kelayakan gaji bagi wartawan sudah pasti akan berpengaruh terhadap proses dan hasil pekerjaannya, yang dituntut oleh masyarakat harus selalu benar, objektif, faktual, berimbang dan bermanfaat bagi publik. Namun ketika kesejahteraan para wartawan tidak bisa dijamin sepenuhnya oleh media di mana mereka bekerja, maka pendapatan dari "amplop" yang diberikan oleh sumber berita menjadi lahan lain bagi para wartawan.


Oleh karena itu juga, banyak wartawan yang menganggap penerimaan "amplop" sebagai hal yang wajar.

Bahkan para redaktur yang membawahi mereka pun tak ada yang menegur wartawannya, karena dulu mereka juga pernah merasakan bagaimana "nikmat"-nya menerima "amplop". "Asal hanya ratusan ribu, tak apalah," bisanya seperti itu dalih para redaktur yang menangkap ulah wartawannya.


Memang, tidak semua "amplop" dapat dikategorikan sebagai suap atau sogok, kecuali jika nilainya sangat besar atau diberikan secara rutin hingga menjadi semacam ikatan antara wartawan dan sumber. Akan tetapi, "amplop" bernilai kecil pun bila dianggap sebagai kewajaran dalam pekerjaan pers, tetap akan mengganggu integritas wartawan dan dapat menghambat kemajuan profesionalisme jurnalistik mereka.


Sangat mungkin, pemberian narasumber yang akan menjadi embrio penyuapan atau penyogokan untuk jangka panjang tersebut akan menyebabkan kemandekan dalam pengembangan standar jurnalistik profesional. Terutama kemandekan di sini adalah soal ketidakberimbangan dalam sebuah berita. Karena wartawan telah "disogok" dengan "amplop" oleh suatu pihak, maka pihak tersebut selalu dibela dalam pemberitaan. Inilah yang telah merusak independensi jurnalisme.


Disebabkan oleh "budaya amplop" yang semakin mengakar dalam watak wartawan di Indonesia, akan memengaruhi kinerja mereka karena berakibat hingga retaknya independensi dan idealisme para wartawan dalam mengemas berita. Jika demikian, bagaimana mungkin wartawan dan media massa dapat menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang ke empat?


Di sinilah tanggung jawab perusahaan pers untuk memberikan upah layak bagi para wartawannya, sehingga mereka tidak mudah tergoda dengan berbagai bentuk "amplop" dari narasumber. Sudah sepantasnya wartawan mendapatkan jaminan kesejahteraan dari media tempatnya bekerja, sebagai imbalan atas kerja kerasnya, dan tentu saja untuk tetap mempertahankan independensi dan idealisme sebagai pemberi informasi yang benar kepada masyarakat.


Lalu berapa besar gaji yang bisa dikatakan layak untuk menjamin kesejahteraan para wartawan? AJI telah melakukan berbagai survei di lapangan melalui wawancara dengan para wartawan. Setelah dihitung, AJI menemukan angka sebesar Rp 2,7 juta lebih per bulan. Inilah standar gaji yang layak bagi wartawan menurut hasil survei AJI.


AJI merincikan kebutuhan wartawan selama satu bulan. Antara lain, makanan dan minuman sebesar Rp 750 ribu, perumahan dan fasilitas sebesar Rp 242.667, kebutuhan sandang Rp 149 ribu dan ditambah aneka kebutuhan lainnya Rp 1,3 juta lebih. Total kebutuhannya adalah Rp 2.480.439 atau lebih dari Rp 2,4 juta.


Kemudian gambaran upah tersebut harus ditambah 10 persen dari total upah sebesar Rp 248.439 untuk tabungan bagi para wartawan. Sehingga totalnya mencapai Rp 2,7 juta lebih. Mungkin nilai sebesar inilah yang harus dibayarkan oleh perusahaan pers untuk menjamin kesejahteraan para wartawannya. Setidaknya dengan ini, mereka sudah bisa membayar kredit sepedamotornya setiap bulan, tanpa harus berutang lagi.


Jika kesejahteraan wartawan bisa dijamin oleh perusahaan pers, maka fungsi pers tentu saja bukan lagi hanya sebagai sarana mendapatkan berita. Perannya sebagai penjaga hak-hak rakyat agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa, pasti bisa ikut diwujudkan. Posisi pers sebagai pilar keempat dalam demokrasi (the fourth estate) tentu akan berjalan pula. Dan kita bisa percaya bahwa tidak ada negara di dunia ini yang bisa mengaku sebagai negara demokrasi jika tidak memiliki pers yang bebas dan kuat.


*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU 2005, mantan anggota Pers Mahasiswa SUARA USU dan calon wartawan. {Harian Global Indonesia, Medan, Rabu, 12 Agustus 2009}
Pers Harus Kembali ke Khitah

Pers Harus Kembali ke Khitah

[JAKARTA] Insan pers dan media massa diingatkan untuk kembali ke khitahnya. Media diminta tidak sekadar mengejar profit atau rating, tetapi juga harus mengedepankan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi pencerahan kepada masyarakat, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Hal tersebut ditegaskan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara kepada SP di Jakarta, Kamis (13/8). Dia menjelaskan, pada masa lalu, media massa menjadi alat perjuangan yang luar biasa, dalam mengantar Indonesia menuju kebangkitan nasional dan kemerdekaan.

Pada era sekarang ini, kata dia, tak dapat dimungkiri bahwa pers nasional sudah berubah, menjadi sebuah industri yang begitu besar, dengan peralatan yang modern dan sumber daya manusia (SDM) yang luar biasa. Namun, dia meminta insan pers dan media massa, harus tetap terpanggil menjadi lokomotif, dalam terus menggelorakan paham kebangsaan dan nasionalisme.

Diakuinya, media massa, khususnya televisi, lebih mementingkan rating. Sehingga sering hal yang disajikan ke masyarakat tidak mendidik, di antaranya, perselingkuhan, kawin cerai, dan hal-hal berbau mistis serta film asing lainnya.

Pers, kata dia, jangan pernah berhenti untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap kebijakan penguasa yang merugikan kepentingan umum.

Peran Berubah

Anggota Dewan Pers, Ikhlasul Amal menambahkan, peran media massa dalam menggelorakan semangat kemerdekaan sudah harus berubah. Dari sekadar menayangkan atau memberitakan mengenai sejarah-sejarah perjuangan masa lalu, menjadi motor penggerak meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Menurut dia, media harus menjadi jembatan informasi yang benar bagi masyarakat, dengan memberitakan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Sementara itu, Ketua Forum Kebudayaan Indonesia, Luluk Sumiarso, saat deklarasi pembentukan forum tersebut di Jakarta, Kamis malam, mengatakan, media berperan membangkitkan semangat dan membangun budaya bangsa yang sudah mulai luntur. "Banyak nilai-nilai budaya bangsa yang menghilang. Kami dengan berbagai elemen bangsa mencoba, melalui Forum Kebudayaan Indonesia, menggali nilai-nilai itu untuk menjadi khazanah budaya baru bangsa," kata Luluk yang adalah mantan Dirjen Migas itu.

Salah satu kegiatan yang akan dilakukan Forum Kebudayaan Indonesia adalah menghidupkan nilai-nilai kepahlawanan melalui video game tokoh-tokoh atau pahlawan Indonesia, seperti Gadjah Mada, dan sebagainya.

Di tempat terpisah, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan, peran media dalam menumbuhkan nilai-nilai budaya bangsa dan meningkatkan pendidikan informal sangat penting. "Ada pendidikan yang tidak diregulasi, dilakukan oleh keluarga dan masyarakat secara mandiri, tanpa ada dukungan dana dari APBN. Peran media massa justru sangat besar dalam memberikan pendidikan informal," katanya. [W-12/E-7/M-17]*** {Suara Pembaruan, Kesra ,Jumat, 14/8/09}
Hukum Adat Selamatkan Hutan di Bungo

Hukum Adat Selamatkan Hutan di Bungo

Pendampingan yang dilakukan para aktivis lingkungan hidup, ternyata memiliki manfaat besar membangun motivasi masyarakat di sekitar hutan melawan keganasan penjarah hutan. Kehadiran para aktivis lingkungan mampu memberikan semangat kebersamaan bagi warga desa menghalau siapa saja yang hendak menghancurkan hutan di sekitar desa mereka.

Peran aktivis lingkungan menggerakkan masyarakat desa dalam pelestarian hutan ini cukup berhasil di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. Jalinan kerja sama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) Jambi dengan warga desa mampu mengamankan sekitar 2.356 hektare (ha) Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur dari ancaman penjarahan hutan.

"Ribuan hektare hutan lindung yang menjadi sumber air dan sumber energi pembangkit listrik di Desa Lubuk Beringin kini aman. Hutan tersebut telah dikukuhkan Menteri Kehutanan MS Kaban menjadi hutan desa beberapa waktu lalu. Sesuai statusnya sebagai hutan desa, Hutan Lindung Bukit Rantau Panjang Rantau Bayur tidak bisa lagi disentuh pengusaha untuk dijadikan kebun sawit atau hutan tanaman industri (HTI)," kata Direktur Eksekutif Direktur KKI Warsi Jambi Rachmat Hidayat di Jambi, Jumat (31/7).

Menurut Rachmat, pengalihan status hutan lindung menjadi hutan desa itu diajukan pertama kali kepada Bupati Bungo H Zulfikar Achmad lima tahun lalu. Usulan tersebut mendapat tanggapan positif. Bupati Bungo melalui surat Nomor 522/B312/Hutbun/2008 mengajukan pengukuhan Hutan Lindung Desa Lubuk Beringin menjadi hutan desa kepada Menteri Kehutanan. Surat tersebut didasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.49/Menhut - II/2008 tentang Hutan Desa.

Hutan adat desa tersebut dinilai perlu memiliki kekuatan hukum berupa surat keputusan Menteri Kehutanan agar tidak dikonversi menjadi kebun sawit. Selanjutnya, Menteri Kehutanan menyetujui penetapan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur menjadi hutan desa. Pengukuhan hutan desa itu melalui Surat Keputusan (SK) Menhut Nomor 109/Menhut-II/2009 tentang penetapan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur menjadi Hutan Desa di Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

Gubernur Jambi juga mengeluarkan SK Nomor 124 Tahun 2009 tentang pengelolaan Hutan Desa Lubuk Beringin kepada kelompok Ndendang Hulu Sako Batang Buat (kelompok pengelola hutan desa). Dengan adanya persetujuan pemerintah itu, warga Desa Lubuk Beringin dapat memanfaatkan kekayaan hutan di desa mereka untuk keperluan hidup sehari-hari, tanpa merusak lingkungan dan hutan.

Menurut Rachmat, warga Desa Lubuk Beringin telah lama mendambakan hak pengelolaan hutan lindung tersebut menjadi hutan desa. Warga desa merasa perlu mengelola hutan lindung itu agar mereka bisa memetik manfaatnya sekaligus menjaga kelestarian hutan tersebut.

Manfaat

Ada tiga manfaat yang bisa dinikmati warga Desa Lubuk Beringin dari hutan lindung itu. Hutan lindung yang terancam ekspansi usaha HTI dan perkebunan sawit itu menjadi sumber air minum dan irigasi pertanian mereka. Hutan lindung tersebut juga menjadi sumber pembangkit listrik bagi mereka. Kemudian, warga desa juga dapat menikmati hasil hutan non kayu seperti rotan, buah-buahan, madu, hewan, dan ikan.

Mengetahui banyaknya manfaat hutan bagi warga Desa Lubuk Beringin tersebut, KKI Warsi Jambi berusaha mengajukan pengalihan hutan lindung tersebut menjadi hutan desa. Penetapan status hutan lindung menjadi hutan desa memberikan kewenangan menerapkan hukum adat desa bagi siapa saja yang merusak hutan. Hutan lindung tersebut tak bisa disentuh para pengusaha kayu, pengusaha sawit, dan makelar tanah.

Tokoh masyarakat Desa Lubuk Beringin, Hadirin Datuk Rio menyebutkan, masyarakat desa tersebut hingga kini masih melestarikan hukum adat. Berdasarkan hukum adat desa itu, siapa pun yang tertangkap menebang kayu tanpa izin di hutan desa itu dijatuhi sanksi adat.

Sanksi tersebut, antara lain membayar utang seekor kerbau, 100 kilogram (kg) beras dan lauk-pauk lainnya. Perusak hutan dan lingkungan di desa tersebut juga biasanya dijatuhi sanksi berupa pengucilan dari pergaulan sosial.

"Pemberian hak pengelolaan hutan desa ini menguatkan kami melaksanakan hukum adat bagi perusak hutan dan lingkungan. Kami akan lebih berani melarang siapa pun yang hendak merambah dan mencuri kayu dari hutan desa ini," katanya.

Rachmat mengatakan, hutan desa penting bagi masyarakat Desa Lubuk Beringin untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Hutan desa itu juga penting agar masyarakat desa bisa melindungi kawasan hutan lindung itu. Proteksi itu penting karena hutan tersebut menjadi sumber utama air Sungai Batang Buat.

Kawasan hutan sangat penting bagi masyarakat setempat untuk menjamin ketersediaan air Batang Buat untuk memutar kincir air pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga air yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat desa itu menghasilkan energi listrik 10 kilowatt. Listrik tersebut mampu menerangi 85 rumah warga Desa Lubuk Beringin ditambah lima rumah warga desa tetangga, Desa Laman Panjang.

Selain itu, penetapan hutan desa itu juga memberikan kesempatan bagi warga desa memanfaatkan hutan hasil hutan nonkayu. Misalnya wisata lingkungan, penelitian, pengairan sawah, pemijahan ikan serta kebutuhan air bersih.

"Jika hutan di wilayah hulu Sungai Batang Buat tidak terjaga dengan baik, maka sungai tersebut tidak akan mampu memutar kincir pembangkit listrik dan sumber air bersih warga desa pun hilang. Ini yang menjadi perekat hubungan masyarakat dengan pelestarian lingkungan di desa ini," katanya.

Menurut Rachmat, penyerahan hak pengelolaan hutan desa di Desa Lubuk Beringin tersebut merupakan yang pertama di Indonesia. Pengelolaan hutan desa itu diharapkan bisa menjadi model bagi pembangunan hutan-hutan desa di berbagai daerah.

Pelestarian hutan melalui pengelolaan hutan desa tersebut tidak hanya perlu bagi warga desa, tetapi juga bagi dunia. Pelestarian hutan desa memberikan manfaat bagi dunia mengurangi pemanasan global.

Yang menikmati kelestarian hutan lindung di Bungo ini bukan hanya warga desa setempat, tetapi juga warga negara Indonesia dan dunia. Karena itu, kita tetap mendampingi petani dalam pengelolaan hutan desa tersebut. [SP/Radesman Saragih]
***(Suara Pembaruan, Jumat, 5/8/09)

Mewujudkan Impian Keliling Indonesia dengan Naik Sepeda



SP/Radesman Saragih

Ismail (kanan), penjelajah Indonesia asal Indramayu, Jawa Barat, bersama anggota klub sepeda onthel Kota Jambi, Didin, di Jambi, baru-baru ini.

Penampilannya penuh percaya diri. Tak ada rasa sungkan berhadapan dengan orang-orang yang baru dikenal. Tebaran senyum dan gaya bicaranya pun bersahabat. Berbicara dengannya seperti bertemu kembali dengan sahabat karib yang sudah lama tak bersua.

Begitulah gaya Ismail (40), penjelajah Indonesia warga Indramayu, Jawa Barat ketika bertemu wartawan di pelataran parkir kantor Gubernur Jambi, Selasa (28/7). Kendati bertemu wartawan secara kebetulan dan dia tergesa-gesa untuk bertemu Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin, dia tetap melayani perbincangan dengan wartawan seperti kawan sendiri.

"Nggak apa-apa ngobrol sebentar. Biasa, berbagi pengalaman," katanya. Tanpa banyak ditanya wartawan, Ismail pun secara spontan mengisahkan ihwal penjelajahan Indonesia yang dilakoninya.

Kematangan pengalaman bertemu dengan banyak orang dan menghadapi tantangan alam dalam penjelajahan dari daerah ke daerah selama ini, menempa Ismail menjadi sosok yang fleksibel dalam segala hal. Dia tak pernah merasa asing terhadap orang-orang yang baru dijumpainya. Semua orang yang baru ditemuinya di berbagai daerah dianggapnya sebagai saudara sendiri. Rasa persaudaraan itulah yang bisa memuluskan perjalanan Ismail menjelajah Indonesia selama 11 tahun.

"Saya tidak pernah melihat perbedaan antara saya dan orang-orang yang saya temui di berbagai daerah. Semua saya anggap saudara dan sahabat. Persahabatan dan persaudaraan itu menjadi modal bagi saya menelusuri seluruh pelosok nusantara ini," paparnya.

Ismail mengatakan, salah satu pihak yang banyak membantu penjelajahannya ialah klub motor dan sepeda. Selama berada di Kota Jambi, dia dibantu kelompok sepeda onthel Kota Jambi. Bantuan yang dia peroleh tidak hanya penginapan, tetapi juga petunjuk jalan, dan mempertemukannya dengan para pejabat dan profesional untuk pengumpulan tanda tangan.

Ismail mengatakan, sejak memulai penjelajahan Indonesia 20 Juni 1998, sudah hampir 197 kota, kabupaten dan provinsi yang dijelajahinya. Sedangkan, Provinsi Jambi merupakan provinsi yang ke-26 yang disinggahinya. Daerah-daerah yang dijelajahi Ismail, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

"Saya akan mengakhiri penjelajahan Indonesia ini di Jakarta tahun 2012. Untuk tahun 2009 - 2011, target penjelajahan saya seluruh daerah kabupaten, kota dan provinsi di Sumatera. Hingga Juli ini, baru beberapa daerah Sumatera yang saya kunjungi, seperti Lubuk Linggau, Provinsi Lampung, Sarolangun dan Kota Jambi, Provinsi Jambi," kata anak ketiga dari lima bersaudara ini.

Menjadi penjelajah Indonesia bagi Ismail bukan sekadar ikut-ikutan. Dia bercita-cita menjadi penjelajah Indonesia sejak kelas IV SD untuk mengukir nama di Guinnes Book of Records. Dia juga ingin menjadi pengumpul tanda tangan pejabat dan profesional terbanyak di dunia.

"Sampai saat ini sudah 153 buku harian saya berisi tanda tangan serta pesan pejabat dan orang-orang profesional dari seluruh nusantara ini. Jumlah tanda tangan ini akan terus saya kumpulkan hingga menjadi yang terbanyak di dunia," katanya.

Misi

Salah satu misi mulia yang diemban Ismail dalam penjelajahan Indonesia, yakni menunjukkan bahwa Indonesia tetap satu walau berbeda-beda adat, suku, agama, dan daerah. Ismail merasakan perlu mengemban misi kesatuan dan persaudaraan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda itu karena melihat adanya kerapuhan dalam ikatan persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia akhir-akhir ini.

Dari pengalaman penjelajahan ke berbagai daerah selama ini, Ismail merasakan bahwa pada dasarnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia itu masih cukup kental asalkan sesama warga mau menunjukkan solidaritas sosial, saling berbagi, sa- ling memberi, dan saling menolong.

"Ini saya rasakan dari pertemuan dengan warga Indonesia di berbagai daerah. Kendati saya datang dari Jawa Barat, saya tetap dianggap saudara dan mendapat bantuan dari saudara-saudara saya di Papua, Sulawesi, Bali, Maluku, Kalimantan, Sumatera, Aceh, dan daerah lain. Sepeda yang saya pakai sekarang bantuan saudara dari Aceh," katanya.

Penjelajahan Ismail selama ini tidak selalu mulus. Banyak tantangan dan pertaruhan nyawa yang harus dilalui. Ketika singgah di Timor Timur (Timtim) pascakonflik atau kemerdekaan Timtim tahun 1999, dia sempat disandera. Ismail dituduh sebagai mata-mata Indonesia karena tidak memiliki izin masuk ke Timtim yang baru merdeka. Ketika itu, Ismail menganggap Timtim masih bagian dari Indonesia. Namun, setelah menjelaskan bahwa dia penjelajah Indonesia, pihak keamanan Timtim pun membebaskannya.

Kemudian Ismail juga pernah ditangkap dan dihukum adat oleh Suku Dani di Jayawijaya, Papua. Dia direndam di air beberapa jam hanya karena menabrak seekor babi. Pengalaman Ismail yang paling mengancam nyawa ketika terdampar di kepulauan Maluku. Dia terancam tidak makan dan tidak bisa kembali keluar dari pulau. Namun, warga setempat menyelamatkannya.

Pengalaman serupa dialaminya ketika menjelajah wilayah Kalimantan. Dia kesasar masuk wilayah hutan Malaysia. "Ketika itu, satu bulan saya tidak ketemu manusia. Makan dari buah dan akar pohon. Untung saya diselamatkan polisi hutan Malaysia," katanya.

Ancaman maut tidak hanya dihadapi Ismail di daerah-daerah rawan, seperti Timtim, Papua, Maluku, dan Kalimantan. Ismail juga menghadapi ancaman maut di Sumatera. Selama menjelajah daerah-daerah di Sumatera, khususnya Lubuk Linggau, Provinsi Lampung hingga Sarolangun, Provinsi Jambi, Ismail sudah lima kali bertemu harimau. Namun, hanya sekali dia diserang harimau.

"Saya sekali dicakar harimau di batas Lubuk Linggau-Sarolangun, Mei lalu. Cakaran harimau melukai paha kanan saya sekitar 15 sentimeter. Tidak tahu kenapa, setelah mencakar, harimau tersebut pergi. Mungkin harimau itu tahu saya tidak berniat jahat, sehingga dia tidak berniat memangsa saya," katanya.

Betapa berat tantangan yang masih akan dihadapinya, penjelajahan Indonesia yang kini dilakoninya akan tetap dilanjutkan. [SP/Radesman Saragih]{Suara Pembaruan, Selasa, 4 Agustus 2009, Nusantara)