Merajut Masa Depan di Atas Keranjang Sayur



Perajin Keranjang Sayur

Ibu-ibu rumah tangga dan anak sekolah remaja putri di Desa Sirpang Sigodang dan Raya Bayu¸ Kecamatan Paneitongah, Kabupaten Simalungun banyak yang mencari tambahan pendapatan keluarga sebagai perajin keranjang sayur dan buah. Seorang ibu rumah tangga bisa membuat 20 buah keranjang sehari dengan upah Rp 100.000 atau Rp 5.000 per keranjang. Gambar diambil baru-baru ini. [SP/Radesman Saragih]



[JAMBI] Naluri bisnis orang-orang desa di Kecamatan Paneitongah, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara benar-benar tajam mencium peluang usaha di tengah melesatnya kegiatan pertanian sayur-mayur dan buah-buahan di Kabupaten Simalungun dan Karo.

Tingginya kebutuhan keranjang untuk pengiriman sayur-mayur dan buah-buahan di kedua kabupaten itu membuat warga desa di Kecamatan Paneitongah banyak yang berhasil menjadi pengusaha keranjang.

Demson Damanik (36), termasuk seorang perajin keranjang yang berhasil dari Desa Sirpang Sigodang, Paneitongah, sekitar 35 Km dari Kota Pematangsiantar. Ayah tiga orang anak tersebut banting setir dari pengemudi angkutan kota menjadi perajin keranjang sayur sejak lima tahun lalu. Dia melihat prospek usaha keranjang cukup cerah karena permintaan keranjang sayur dan buah dari Simalungun dan Karo cukup tinggi.

Demson yang ditemui SP di rumahnya baru-baru ini menjelaskan, kebutuhan keranjang sayur dan buah untuk Simalungun dan Karo selama ini mencapai puluhan ribu buah sebulan. Produksi keranjang sayur dan buah Desa Sirpang Sigodang hanya mampu memenuhi permintaan itu maksimal 2.000 buah per bulan.

“Saya sendiri kini hanya mampu memproduksi 500 buah keranjang per bulan. Jadi peluang usaha kerajinan keranjang ini masih sangat terbuka lebar. Karena itu saya tetap tertarik menekuni usaha keranjang ini,”katanya.

Keuntungan usaha keranjang sayur dan buah, kata Demson Damanik, cukup menjanjikan. Para perajin menjual keranjang kepada pedagang pengumpul rata-rata Rp 15.000 per buah. Sedangkan modal membuat keranjang, termasuk pengadaan bahan baku dan upah pekerja Rp 10.000 per buah.

Keranjang yang mereka produksi rata-rata mampu memuat sayur dan buah 60 kg. Untung yang diperoleh Demson dari produksi 500 buah keranjang sayur dan buah sebulan mencapai Rp 2,5 juta, jauh lebih besar dibanding gaji sebagai pengemudi angkutan umum di desanya yang tak mencapai Rp 1 juta per bulan.

Pekerja Wanita

Menurut Demson, usaha kerajinan keranjang sayur dan buah tersebut juga membuka peluang kerja bagi ibu-ibu rumah tangga dan remaja putri yang masih sekolah. Demson misalnya mempekerjakan minimal lima orang wanita setiap hari, baik ibu rumah tangga maupun remaja putri (anak sekolah).



Upah membuat sebuah keranjang Rp 5.000. Seorang pekerja mampu membuat keranjang 20 buah sehari. Sedangkan anak-anak sekolah yang bekerja setengah hari mampu membuat 10 buah.

Cerahnya prospek usaha kerajinan keranjang sayur dan buah ini juga diakui pengusaha kerajinan keranjang Desa Sirpang Sigodang lainnya, Edi Simarmata (40). Edi yang sudah 11 tahun menggeluti usaha kerajinan keranjang ini kini mampu memproduksi minimal 2.000 buah keranjang sebulan.

Dia mempekerjakan 15 orang wanita sehari dengan produksi rata-rata 130 buah keranjang per hari. Produksi keranjang mereka dipasarkan khusus ke Kabupaten Karo untuk keperluan pengiriman buah jeruk. Penghasilan bersih keluarga Edi dari usaha keranjang sayur dan buah tersebut minimal Rp 10 juta per bulan.

Bahan Baku

Kendati prospek usaha cerah, para perajin keranjang sayur dan buah dari Desa Sirpang Sigodang dan Raya Bayu, Kecamatan Paneitongah, Simalungun belum mampu memaksimalkan usaha mereka. Persoalannya bahan baku bambu untuk pembuatan keranjang di daerah itu semakin sulit.

Belakangan ini sebagian besar petani Desa Sirpang Sigodang dan Raya Bayu, Kecamatan Paneitongah telah mengganti areal tanaman bambu menjadi kebun kopi dan coklat. Petani banyak beralih ke tanaman kopi dan coklat karena lebih cepat menghasilkan. Sementara pengembangan tanaman bambu sulit karena pertumbuhannya relatif lambat.

Kemudian bantuan pemerintah terhadap pengembangan tanaman bambu dan permodalan perajin keranjang di daerah itu juga tidak ada. Hal itu disebabkan belum adanya kelompok usaha berbadan hukum para perajin keranjang di Kecamatan Paneitongah. Usaha kerajinan keranjang di Paneitongah masih bersifat usaha pribadi skala kecil.

Memupuk Bambu

Menurut Demson Damanik, menyiasati kesulitan bahan baku bambu tersebut, para perajin yang rata-rata memiliki areal tanaman bambu mempercepat pertumbuhan bambu dengan melakukan pemupukan. Penggunaan pupuk urea pada pohon bambu membuat pertumbuhan tunas bambu makin cepat. Pemupukan juga membuat mambu bisa cepat dipanen.

“Tanpa pemupukan, bambu khusus untuk bahan baku keranjang baru bisa dipanen paling cepat lima tahun. Kemudian pertumbuhan tunasnya juga sedikit. Melalui pemupukan, bambu sudah bisa dipanen pada umur dua tahun dan pertumbuhan tunasnya lebih cepat dan banyak,”katanya.

Demson mengatakan, kesulitan lain yang mereka hadapi saat ini, yakni sulitnya mendapatkan pupuk urea bersubsidi. Para petani bambu dan perajin keranjang di daerah itu tidak mendapatkan alokasi pupuk urea bersubsidi.

“Pemerintah hanya menyediakan pupuk urea bersubsidi untuk tanaman pangan. Kalau masalah pengadaan pupuk ini taka ada solusinya, bahan baku bambu untuk keranjang di desa ini akan punah dan usaha kerajinan bambu ini pun akan tutup,”katanya.

Perlu Dilestarikan

Sementara itu, Edi Simarmata mengatakan, persoalan kesulitan bahan baku bambu untuk kerajinan keranjang sayur dan buaah di daerah itu perlu disikapi pemerintah lebih serius. Sebab, kebutuhan keranjang sayur dan buah semakin tinggi.

Selain itu, usaha kerajinan keranjang tersebut membuka lapangan usaha dan sumber pendapatan bagi masyarakat setempat. Saat ini lebih 200 orang warga Desa Sirpang Sigodang merajut masa depan keluarga di atas usaha keranjang sayur dan buah. Sebagian besar mereka menjadi perajin di tempat-tempat usaha pengusha kerajinan keranjang.

“Tradisi Desa Sirpang Sigodang sebagai sentra kerajinan keranjang sejak tahun 1970-an perlu dilestarikan. Karena itu pengembangan tanaman bambu khusus bahan baku keranjang yang hanya ditemukan di desa ini perlu mendapat perhatian pemerintah,”katanya. [SP/Radesman Saragih]

Haranggaol, Sentra Produksi Perikanan Danau Toba




Keramba Ikan Haranggaol

Kelurahan Haranggaol, Simalungun, Sumatera Utara kini terkenal sebagai sentra produksi ikan air tawar terbesar. Pesatnya usaha perikanan dengan pola keramba (kolam jaring terapung) di daerah pantai itu mampu mendongkrak perekonomian rakyat dan daerah itu. Ribuan unit keramba ikan yang kini memadati pantai Haranggaol. Gambar diambil baru-baru ini. [SP/Radesman Saragih]

Bau menyengat dan tak sedap terasa tajam menusuk hidung ketika memasuki sebuah rumah di deretan permukiman warga Kelurahan Haranggaol, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pagi itu. Bau itu bersumber dari ratusan karung pelet (pakan ikan) yang ditumpuk di ruang tamu rumah itu. Namun penghuni rumah, Kolonel (Purn) TNI AU, Drs Warman Manihuruk MM (65), seolah tak risih atau terganggu dengan bau pelet tersebut.

Ketika ditemui SP di rumahnya, Parluasan, Haranggaol baru-baru ini, mantan anggota DPRD Provinsi Lampung era Pemerintahan Presiden Soeharto itu tampak duduk santai di tikar yang terhampar di lantai. Tampaknya putra kelahiran Haranggaol yang “turun gunung” menekuni usaha keramba ikan (kolam jaring terapung) di kampung halaman sudah terbiasa istirahat dan tidur bersama pakan ikan. Maklum sudah hampir satu tahun ayah tiga orang anak tersebut membuka usaha keramba ikan di Haranggaol.

“Kita tak bisa main-main membuka usaha keramba ini. Modal cukup besar. Jadi usaha ini harus benar-benar ditekuni dan diawasi ketat. Karena itu saya tidak segan-segan turun ke lapangan dan tidur bersama pelet yang bau. Kalau dibiarkan orang lain mengelola usaha ini, usaha ini bisa gagal,”katanya.

Investasi atau modal yang ditanam Warman untuk usaha perikanan air tawar tersebut juga tak tanggung-tanggung. Dia sampai menjual rumahnya di Lampung untuk mendanai usaha perikanan di Haranggaol saat ini. Sejak membuka usaha keramba ikan di Haranggaol setahun terakhir, Dia sudah menanamkan modal hampir Rp 250 juta. Modal tersebut mulai dari membuat 36 unit keramba ikan. Biaya membuat satu unit keramba ikan rata-rata Rp 3 juta.

Kemudian membeli bibit ikan nila 8.000 ekor untuk satu unit keramaba. Harga bibit ikan nila Rp 380 per ekor. Selain itu membeli pakan ikan sebanyak 50 sak dengan harga Rp 288.000 per sak. Modal itu masih ditambah gaji pegawai satu orang Rp 1,5 juta sebulan.

Panen Perdana

Warman cukup tergiur menggeluti usaha keramba ikan di kampung halaman setelah melihat suksesnya para perantau membuka usaha keramba ikan di Haranggaol, sekitar 250 Km dari Kota Medan, Sumatera Utara. Ternyata pilihan tersebut tidak salah. Enam bulan terakhir, Warman sudah mulai memetik hasil usahanya.

Pada November - Desember 2010 lalu, Warman yang lama bertugas di Mabes TNI AU Halim Perdanakusumah Jakarta berhasil memanen ikan nila 1,2 ton dari satu unit keramba ikan. Pada panen perdana itu, Dia berhasil memanen ikan nila dari enam keramba. Harga ikan nila saat itu Rp 17.000 per kilogram (Kg). Jadi hasil panen ikan dari satu keramba mencapai Rp 20 juta. Keramba yang sudah panen enam unit.

“Uang yang sudah kita peroleh dari hasil panen perdana tahun lalu mencapai Rp 120 juta. Sebagian modal sudah kembali. Hasil panen kita bersih karena para pedagang yang langsung menjemput hasil panen ke keramba kita,”katanya.

Cerahnya prospek usaha keramba ikan tersebut membuat memutuskan hijrah ke Haranggaol mulai Maret 2011. Dia pun memutuskan meninggalkan profesi dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta yang digeluti setelah memasuki masa pensiun.

“Mulai Maret saya akan lebih lama menetap di Haranggaol. Saya memutuskan tidak memperpanjang lagi tugas saya sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Usaha keramba lebih menjanjikan dibandingkan jedi dosen,”katanya.

Cerita Sukses

Sukses para perantau menggeluti usaha keramba ikan di Haranggaol telah banyak direguk puluhan perantau asal Haranggaol dari Jakarta. Mereka ramai-ramai berusaha keramba ikan di kampung halaman sejak tahun 2000-an setelah komoditas andalan pertanian Haranggaol dan pesisir Danau Toba, bawang merah, baang putih dan pisang punah.

Seorang perantau asal Haranggaol yang pernah bekerja di perusahaan swasta di Karawang, Jawa Barat, yakni Ir Sumardin Sihotang (48). Sumardin sudah hampir 10 tahun menekuni usaha keramba ikan di kampung halamannya, Haranggaol. Saat ini, Sumardin sudah memiliki hampir 100 unit keramba ikan.

Penghasilan Sumardin pun kini mencapai ratusan juta sebulan dari hasil penjualan ikan. Dari hasil usaha keramba ikan tersebut, Sumardin telah mampu membangun rumah permanen, memiliki kendaraan roda empat dan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan anak-anaknya juga sampai dimasukkan ke asuransi jiwa berkat melimpahnya hasil usaha keramba ikan.

Menurut Sumardin, dari sekitar 100 unit usaha keramba ikan yang dimilikinya, Dia bisa meraup uang minimal Rp 50 juta sebulan. Kalau panen ikan lebih lima keramba dengan jenis ikan nila dan ikan mas, uang yang diperoleh bisa mencapai Rp 100 juta sebulan.

Ekonomi Rakyat

Pesatnya perkembangan usaha ikan di Haranggaol ternyata semakin mampu membangkitkan ekonomi rakyat di daerah itu. Terpuruknya ekonomi rakyat Haranggaol pasca punahnya bawang dan pisang sejak tahun 2002 kini terbantu dengan kehadiran usaha keramba ikan.

Sebagian besar warga Haranggaol golongan ekonomi lemah yang dulu bertani bawang kini telah mampu memulihkan ekonomi keluarga mereka dari usaha keramba ikan. Kendati mereka membuka usaha keramba ikan dalam jumlah terbatas antara 4 – 10 enam unit, penghasilam reka cukup lumayan.

“Dari usaha 10 unit keramba, saya bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp 2 juta sebulan. Penghasilan itu cukup lumayan karena saya mengurus sendiri keramba ikan saya, tidak sampai mengupahkannya pada orang lain,”kata Jarisman Purba.

Lurah Haranggaol, Makdin Saragih (50) mengakui, usaha kermaba ikan mampu menggeliatkan ekonomi Kecamatan Haranggaol – Horisan yang kini berpenduduk 5.000 jiwa. Perekonomian rakyat dareah yang memiliki luas wilayah 30,50 Km tersebut semakin bangkit karena usaha keramba ikan membuka cukup banyak lapangan kerja atau usaha. Misalnya usaha pembuatan keramba, perdagangan bibit dan pakan ikan, oksigen untuk pengiriman ikan dan pengangkutan ikan ke kota.

Usaha perikanan di Haranggaol membutuhkan pasokan pakan ikan atau pelet rata-rata 20 ton per hari. Selain itu itu keramba ikan yang kini mencapai 1.000 unit mampu menampung sekitar 150 orang pekerja. Gaji para pekerja usaha keramba ikan rata-rata Rp 1,5 juta sebulan bersih.

“Usaha lain juga berkembang di Haranggaol di tengah kemajuan usaha keramba ikan. Misalnya usaha wisata bakar ikan, usaha rumah makan dan kedai kopi,”kata Warman.

Kendala

Ketua Petani Ikan Haranggaol, Bresman Purba mengatakan, jumlah warga Haranggaol dan perantau yang menggeluti usaha keramba ikan semakin banyak. Saat ini ada sekitar 300 keluarga yang menekuni keramba ikan di Haranggaol dengan jumlah keramba hampir 1.000 unit. Kemudian kontribusi usaha perikanan terhadap perekonomian rakyat dan daerah juga cukup besar.

Produksi ikan nila dan ikan mas hasil keramba di Haranggaol mencapai 10 – 15 ton per hari dengan nilai transaksi penjualan ikan sekitar Rp 22,5 juta per hari. Berarti hasil penjualan ikan di daerah tersebut mencapai Rp 765 juta per bulan. Kendati kontribusi usaha perikanan pada perekonomian rakyat dan daerah di Haranggaol cukup besar, namun perhatian pemerintah terhadap usaha perikanan tersebut masih kecil.

“Hal itu nampak dari belum ada ketetapan pemerintah mengenai zona perikanan di pantai Haranggaol. Karena itu usaha perikanan dengan pola keramba di Haranggaol hingga kini masih tetap dianggap kurang legal,”katanya.

Para petani dan pengusaha ikan Haranggaol sudah beberapa kali meminta Gubernur Sumatera Utara, Bupati Simalungun dan para wakil rakyat agar serius menetapkan zona perikanan di Haranggaol. Terakhir permintaan disampaikan kepada Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daeah (DPD), GR K Hemas dan anggota asal Sumatera Utara, Parlindungan Purba tahun 2010. Namun hingga kini belum ada tanggapan.

“Usaha perikanan air tawar dengan pola keramba di Haranggaol tak bisa lagi dibendung. Persoalannya usaha keramba ikan telah mampu membangkitkan ekonomi rakyat. Saat ini yang kami butuhkan hanya penetapan zona perikanan di pesisir pantai Haranggaol. Hal ini penting agar masyarakat dan perantau tidak ragu mengembangkan usaha perikanan ini,”katanya. [SP/Radesman Saragih]