Dari Kota Pematangsiantar menuju Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun, Sabtu (24/5) pukul 15.30 WIB, METRO memilih naik kendaraan umum. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Satu jam dari Siantar hingga Simpang Haranggaol dengan ongkos Rp10 ribu per orang, dan 30 menit dari Simpang Haranggal hingga Haranggaol dengan ongkos Rp5.000 (tarif sebelum harga BBM naik).
Udara sejuk segar mirip sejuknya udara Kota Berastagi menyambut METRO, begitu angkutan memasuki Raya, ibukota Simalungun (de jure). Sepanjang perjalanan, ladang-ladang pertanian nan menghijau tampak elok dipandang. Deretan tanaman cabai, kopi, jagung, kol, tomat, kacang panjang, dan lainnya di sepanjang jalan dari Raya menuju Haranggaol, sungguh menyejukkan mata.
Sayang, kenyamanan sedikit terganggu oleh kondisi prasarana jalan yang menggerundul-gerundul di sejumlah titik. Kalau tak hati-hati, kepala bisa kejedut atap kendaraan yang kadang terbanting-banting di jalanan berlubang. ”Seandainya Pemkab memberi perhatian membenahi kondisi jalan, alangkah baiknya,” celetuk seorang teman yang ikut dalam perjalanan.
Saat tiba di Simpang Haranggaol, jam sudah menujukkan pukul 16.30 WIB. Di simpang itu, harus bertukar angkutan. Di sini, pengunjung bisa menunggu 30 menit lebih sebelum bus berangkat. Soalnya harus menunggu sampai bus penuh, sementara penumpang jarang-jarang.
Dari Simpang Haranggaol menuju Haranggaol Horisan, suhu udara semakin dingin. Maklum, posisi saat itu berada di puncak pebukitan Bukit Barisan menuju ke Danau Toba. Jalanan berkelok-kelok, terkadang mulus terkadang berlubang. Sekitar 15 menit setelah kendaraan melaju dari simpang Haranggaol, hamparan luas Danau Toba mulai terlihat dari puncak. Bukit-bukit mengepung dari kiri kanan. Deretan rumah-rumah di dataran pinggiran danau yang dihuni sekira 1.400-an KK itu, tampak indah.
Semakin menurun, ladang-ladang menghijau menyambut. Ada tanaman kol, sawi pahit, tomat, cabai, kopi, bawang, mangga yang sudah berbuah, dan tanaman lainnya.
Tiba di Haranggaol Horisan, METRO turun dari angkutan. St W Sinaga, seorang tokoh masyarakat, dalam bincang-bincang dengan METRO mengatakan, Haranggaol sebenarnya memiliki potensi besar menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Simalungun, bahkan Sumatera Utara.
”Yang pertama harus dibenahi adalah perbaikan prasarana jalan menuju ke Haranggaol. Selain itu, perlu dibuka jalan tembus Haranggaol-Tiga Ras dan Haranggaol-Tongging. Sebenarnya jalan ke sana sudah pernah dibuka, tetapi karena tak diaspal akhirnya tertutup lagi. Padahal dengan adanya jalan tembus ini, pariwisata di Haranggaol bisa terangkat, dengan semakin pendeknya jarak tempuh ke Parapat,” jelasnya, sembari menunjukkan jalan tembus yang fisiknya masih bisa terlihat di pebukitan.
Jika prasarana jalan sudah relatif mulus, wisatawan domestik menurutnya akan lebih tertarik datang.
Keramba Ikan
Mengenai Keramba Jala Apung (KJA) yang memenuhi permukaan Danau Toba di perairan Haranggaol, yang disebut-sebut mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Haranggaol, menurut St W Manik, jangan sampai dihilangkan. Karena keberadaan keramba menyangkut sumber penghasilan warga setempat. ”Hanya saja, untuk mendukung pariwisata di Haranggaol, sebaiknya pemerintah melakukan penataan keramba dengan membuatkan zona khusus,” cetusnya.
Zona khusus yang dimaksudkannya adalah dengan menetapkan lokasi khusus untuk keramba ikan. Di luar zona dimaksud, tak boleh ada keramba, khususnya di zona yang diperuntukkan untuk wisata.
Keramba ikan, jelasnya, sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai objek wisata tersendiri. Caranya, pemerintah membangun semacam jembatan apung di atas permukaan Danau Toba yang memisahkan zona keramba dengan zona wisata. Di atas jembatan itu, pengunjung bisa jalan-jalan, sambil melihat-lihat ikan yang dipelihara di atas keramba. Jembatan apung ini sekaligus memperlihatkan kepada pengunjung, bahwa perairan untuk wisata dan untuk keramba dipisahkan dengan baik. ”Untuk pembuatan jembatan itu, tentu harus ada inisiatif Pemkab. Asalkan Pemkab mau berbuat, pasti bisa,” tandasnya.
Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Haranggaol Horisan, SH Nababan, yang ditemui METRO di sana, menjelaskan mengenai sistem zonasi ini. Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah pernah menetapkan zonasi keramba ikan di Haranggaol, yakni di daerah Rappa dan Tuktuk Sipalu. Sementara zona wisata di Tangga Batu. ”Tetapi kondisi alam di lokasi itu kurang mendukung untuk keramba ikan, karena arus ombak yang cukup kuat dari Tao Silalahi, cukup mengganggu perikanan keramba. Selain itu, meski petani mengakui kalau ikan lebih sehat jika keramba jauh dari pantai, namun persoalan pencurian ikan menjadi masalah sendiri. Karena semakin jauh keramba ke tengah danau, pengamanan semakin sulit dilakukan. Akhirnya, petani kembali menarik keramba ke daerah pantai,” jelasnya.
Hal-hal inilah yang menyebabkan penataan keramba di Haranggaol agak sulit dilakukan. Apalagi, lanjutnya, Pemkab belum memberikan perhatian penuh untuk menata Haranggaol sebagai daerah tujuan wisata. ”Bupati sudah pernah menyatakan bersedia mengucurkan dana Rp1 miliar untuk membenahi Haranggaol. Tetapi syaratnya, masyarakat harus mau ditata,” cetusnya.
Penataan masyarakat inilah, yang menurutnya sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Meski telah dilakukan sosialisasi beberapa kali, masih ada beberapa kendala di lapangan.
Ditanya tentang fasilitas pendukung pariwisata di Haranggaol, Sekcam menjelaskan, saat ini ada 5 hotel/penginapan. Yakni Hotel Sigumba-gumba sekitar 40-an kamar, Tuhulan 5 kamar, Naga Murni 3 kamar, Amdito 6 kamar, dan Horisan 14 kamar. Tarif per kamar per malam rata-rata Rp75.000 ribu.
Adapun fasilitas wisata yang bisa dinikmati di Haranggaol, selain pemandangan Danau Toba, juga wisata air naik speedboat dan sampan kecil, serta ban-ban untuk mandi-mandi. ”Oleh-oleh khas dari Haranggaol ini ya ikanlah…. atau mangga kalau lagi musim seperti sekarang,” jelas Sinaga.
Pasanggarahan Telantar
Kurangnya perhatian pemerintah memoles Haranggaol, dibuktikan St W Sinaga dengan menunjukkan Mess/Pasanggarahan Haranggaol milik Pemprovsu, yang sudah bertahun-tahun telantar.
”Lihat saja, milik pemerintah sendiri pun dilupakan dan ditelantarkan, tak dirawat, tak dikunjungi. Konon pula berharap pemerintah membenahi Haranggaol secara keseluruhan,” kata Sinaga sembari membawa METRO ke lokasi mess.
Pantauan METRO, mess yang dicat putih itu tampak tertutup. Atapnya sudah mulai aus. Tangga batu di depan mess juga sudah pecah dan berlumut. Kesan tidak terawat sangat terlihat. Pantai di bawah mess diselimuti sejumlah sampah.
Menurut Sinaga, mess itu sebenarnya ada penjaganya. Tapi diduga karena Pemprovsu sendiri tidak peduli, mess pun tidak terawat sebagaimana diharapkan. ”Tahun 60-an, saya masih ingat mess ini sering dikunjungi orang bule. Mereka sering beri permen pada anak-anak. Tapi lihatlah sekarang, sudah bertahun-tahun seakan tak ada pemilik,” cetusnya.
Warga Haranggaol lainnya, Jawakim Purba (48), kepada METRO mengatakan, jika ingin menghidupkan pariwisata di Haranggaol, pengelolaan wisata harus profesional. ”Pariwisata domestik, Haranggaol ada potensi. Pariwisata internasional, Haranggaol bisa dipotensikan. Tergantung pengelolaannya,” kata dia.
Menurut dia, pariwisata di Haranggaol bisa dijual jika dipadukan dengan Parapat, Samosir (Tomok, Ambarita), dan klain-lain. Misalnya, kalau mau ke Parapat atau Samosir, turis bisa dikondisikan lewat Haranggaol dulu. Sehingga Haranggaol dapat imbas dari kunjungan turis yang lewat. ”Konsepnya pariwisata terpadu. Untuk itu, perbaiki infrastruktur. Jalan tembus Haranggaol-Paraopat harus dibenahi. Jalur Haranggaol-Tongging yang sempat dimulai, juga harus diteruskan sampai selesai, sehingga waktu dan jarak tempuh semakin pendek. Selain itu, harus ada penyedia fasilitas pendukung wisata di Haranggaol. Kalau hanya menjual keindahan panorama Danau Toba, itu tak cukup,” cetusnya.
Ia berharap, wisata di Haranggaol bisa kembali bergeliat, meski diakuinya tak semudah membalik telapak tangan. ”Asalkan ada penataan secara profesional, pasti bisa,” cetusnya.
Jalan
Kondisi ruas jalan menuju obyek Wisata Haranggaol sepanjang 4 km dari simpang Haranggaol ke Kecamatan Haranggaol Horisan mulai rusak pada bagian badan jalan. Kondisi ini jika dibiarkan terus tanpa adanya perbaikan dari Pemkab Simalungun dikuatirkan kerusakan akan semakin parah.
Demikian keprihatinan tokoh masyarakat St Belson Purba yang juga Ketua PAC Partai Demokrat Kecamatan Haranggaol Horisan melihat kondisi jalan sebagai sarana tranportasi mulai mengalami kerusakan. Ditambahkan dengan kondisi jalan yang berliku dengan hiasan dinding dan jurang terjal di kanan kiri jalan sewaktu-waktu membahayakan kendaraan yang melintas.Dikatakan sejak terjadi kerusakan dan belum juga mendapatkan perhatian pemerintah, masyarakat harus menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi dari tarif biasanya. Sebagai daerah sentra pertanian Hortikultura dan perikanan tentunya kondisi ini akan mempengaruhi biaya pengiriman hasil pertanian dan perikanan yang berdampak kepada turunnya pendapatan masyarakat.
Diharapkan pemerintah serius menanggapi keluhan masyarakat dengan segera memperbaiki kondisi jalan yang mulai rusak dan di beberapa titik juga rawan longsor. Kami masyarakat juga heran dengan kualitas pembangunan jalan yang baru beberapa bulan diperbaiki sudah hancur dan rusak. Seharusnya pelaksanaan pembangunan dilakukan pengawasan yang ketat sehingga anggaran pembangunan tidak terlalu banyak yang menguap untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, ujarnya yang juga sebagai petani itu.
Kembalikan Haranggaol sebagai Sentra Produksi Bawang
Haranggaol pernah menjadi sentra produksi bawang di Sumut, di samping Samosir dan Muara. Tapi sejak hama yang menyerang tanaman bawang 2002, petani beralih ke keramba ikan. Padahal, bawang dianggap paling cocok dengan alam dan kultur setempat.
“Bisa dikatakan, saya disekolahkan dari hasil bawang,” kata St W Sinaga. Hal senada juga disampaikan Belson Purba (52) dan Jawakim Purba (48), warga Haranggaol Horisan. ”Rata-rata warga Haranggaol disekolahkan dari hasil bawang,” kata mereka, kompak.
Di bawah tahun 2000-an, Haranggaol termasuk sentra produksi bawang di Sumatera, bersama Samosir, Muara, Bakkara, dan lainnya. Tahun 70-an, 80-an, 90-an, kapal-kapal dari Samosir rutin datang ke Haranggaol, membawa komoditi pertanian khususnya bawang untuk dijual di sana. Agen-agen dari Medan pun datang ke Haranggaol untuk membeli bawang. Masa-masa itu merupakan masa-masa keemasan Haranggaol. Ada dua pekan besar tiap minggu, yakni Senin dan Kamis. Pekan Senin merupakan yang terbesar, disusul Pekan Kamis di posisi dua.
”Tapi sekarang, keramaian pada Pekan Senin itu bahkan tak lagi sampai setengahnya dari Pekan Kamis yang dulu. Bayangkan saja, betapa anjloknya suasana keramaian sekarang dibanding dulu,” kata Jawakim Purba.
Belson Purba menambahkan, warga Haranggaol mayoritas berpenghasilan dari sektor agraris. Petani keramba ikan paling hanya 15 persen dan PNS 1 persen. Selebihnya petani. Dan pertanian yang paling menonjol, dulunya adalah bawang. Bawang merupakan komoditas utama dan unggulan dari daerah itu. ”Bawang merupakan tanaman yang paling cocok dengan kondisi alam di Haranggaol. Tanah-tanah pertanian di daerah ini cenderung berbukit-bukit dan berbatu-batu. Ladang paling luas dalam satu dataran paling jago 5-6 rante. Selebihnya bertangga-tangga. Melihat kondisi alam itu, bawang merupakan tanaman paling cocok,” jelas Jawakim.
Selain dari struktur tanah, dilihat dari umur, bawang juga paling enak ditanam. Hanya 65 hari sudah bisa dipanen. Bandingkan dengan jagung yang butuh waktu 90 hari. Belum lagi dilihat dari harga, jelas bawang lebih mahal dibanding jagung. Tambahan lainnya, modal menanam dan merawat tanaman bawang relatif lebih murah. Dan secara kultur, masyarakat Haranggaol sudah mengenal dan berpengalaman bertanam bawang. ”Asalkan pintar mengolah tanah, mengatur rotasi tanaman, hasil bawang cukup memadai sebagai sumber penghasilan,” tambah Belson.
Hilangnya julukan sebagai sentra produksi bawang dari ’tangan’ Haranggaol, terjadi pascaserangan hama yang menyerang tanaman bawang pada 2002. Sejak itu, warga setempat jadi malas bertanam bawang, dan beralih menjadi petani keramba ikan.
Hasil dari keramba ikan sempat pula mencapai masa keemasan. Sayang, serangan Koi Herves Virus (KHV) yang menyerang ikan mas di keramba-keramba milik warga pada tahun 2004, mengakibatkan kerugian puluhan miliar. Modal-modal petani pemula amblas. Hal ini sempat melemahkan semangat warga untuk bertani ikan. ”Sementara untuk kembali menanam bawang, warga juga tidak bersemangat karena harga bawang sempat jatuh menyusul masuknya bawang-bawang impor dari Thailand, Philippina, dan Bombay,” jelas Belson.
Untunglah, untuk saat ini dan tahun-tahun ke depan, ada angin segar yang berembus ke petani bawang. Ada kabar, pemerintah melarang impor limbah daun bawang ke Indonesia. Kebijakan ini ditengarai akan memperbaiki harga bawang dalam negeri, karena harga bawang lokal dan bawang impor tentu akan bersaing.
”Selama ini, bawang-bawang luar negeri ’kan diimpor bersama daun-daunnya langsung dari petani di sana. Selama di kapal dan di gudang para importir, bawang dikipas agar tak busuk. Bawang-bawang itu bisa dijual murah di Indonesia karena tak ada biaya untuk upah pekerja memotong daun bawang, menjemur, dan sebagainya. Tetapi dengan adanya larangan impor limbah daun bawang, tentu importir harus mengeluarkan upah untuk pekerja memotong daun bawang. Nah, di Indonesia harganya tentu akan lebih mahal. Imbasnya, bawang lokal bisa bersaing. Dengan adanya angin segar tadi, kita berharap Haranggaol bisa kembali bangkit sebagai sentra produksi bawang,” harap Belson.
Untuk mendukung hal itu, Belson berharap Pemkab Simalungun memberikan dukungan dengan mendatangkan bibit unggul, kalau boleh dari Philippina. Karena bibit unggul dari negara itu dipercaya bisa menghasilkan produksi bawang lebih banyak dibanding bibit lokal. ”Dari satu hektare, bibit bawang Philippina bisa menghasilkan 15 ton bawang. Kalau bibit lokal, hanya 1 ton saja. Kalau Pemkab mau dan perlu agunan untuk penyediaan bibit luar negeri ini, petani siap mendukung,” cetusnya.
Bersamaan dengan dukungan penyediaan bibit ini, Pemkab melalui Dinas Pertanian juga diharapkan proaktif memberikan penyuluhan kepada petani. Misalnya, menyosialisasikan harga-harga di pasar, kapan sebaiknya bertanam, pemakaian pupuk dan pestisida yang tepat, dan sebagainya. Pemkab juga diharapkan memfasilitasi pupuk bersubsidi ke Haranggaol.
Melihat potensi harga bawang saat ini, Belson mengharapkan agar Pemkab benar-benar memberikan dukungan. Dan masyarakat pun diharapkan kembali antusias bertanam bawang, sehingga julukan Haranggaol sebagai sentra produksi bawang bisa kembali diraih. Untung juga bisa dinikmati.
Pasok 15 Ton Ikan per Hari
Di samping pertanian, khususnya tanaman bawang, Haranggaol juga sejak 5 tahun terakhir terkenal sebagai pemasok ikan nila dan ikan mas ke pasaran di Sumatera Utara. Ditengarai, dari ratusan keramba yang saat ini menyelimuti perairan Danau Toba di Haranggaol, setiap hari sekitar 15 ton ikan, baik nila maupun mas, dipasok ke pasaran Sumut.
Harga ikan nila di tingkat petani saat ini Rp15 ribu per kg ukuran standar, dan mas Rp22-25 ribu per kg, tergantung besar ikannya. Ikan merupakan salah satu sumber penghasilan utama di Haranggaol saat ini.
Namun belakangan, petani agak resah dengan kenaikan harga pellet ikan, yang dalam dua bulan terakhir naik dari Rp205 ribu per zak ukuran 50 kg, menjadi Rp297 per zak. Harga itu sebelum harga BBM naik. ”Dan dengan naiknya harga BBM hingga 28 persen, kami menduga harga pellet akan naik lagi. Sementara harga ikan belum tentu naik di pasaran. Inilah yang meresahkan petani,” kata Jawakim, yang juga petani keramba ikan di Haranggaol.
Jawakim memperkirakan, setiap hari petani keramba ikan di Haranggaol membutuhkan 16 ton pellet untuk memberi makan ikannya. ”Untuk itu, kita berharap Pemkab dapat memberi dukungan, misalnya dengan membangun pabrik pellet berbahan baku lokal, yang harganya masih bisa dijangkau petani. Karena kalau begini terus, keuntungan dari petani ikan akan anjlok drastis,” harapnya. (habis)
INDAHNYA PANORAMA ALAM HARANGGAOL
Kota Haranggaol merupakan salah satu tujuan wisata di wilayah Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara. Pada awal sekitar tahun 60-an hingga akhir tahun 70, daerah ini sangat ramai dikunjungi para wisatawan dalam negeri maupun manca negara.
Pada kurun waktu itu Pemda Simalungun sempat menikmati pemasukan retribusi wisatawan yang cukup menggembirakan. Bukan itu saja, bahkan masyarakat kota Haranggaol dan sekitarnyapun turut serta menikmatinya, dimana restoran atau kedai yang ada di daerah itu banyak dikunjungi wisatawan. Ditambah lagi dari hasil kebun seperti jeruk, mangga dan pisangpun laku.keras. Tentunya kunjungan wisata ini berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di kota Haranggaol dan sekitarnya. Dan untuk memenuhi biaya hidup masyarakat sehari-hari dan untuk membiayai pendidikan anak-anaknyapun tidak jadi soal pada waktu itu. Namun, mulai awal tahun 80-an, arus wisatawan yang berkunjung ke kota Haranggaol mulai menurun. Dan sekarang daerah Haranggaol seolah sudah dilupakan oleh wisatawan.
Kondisi ekonomi rakyat di Kecamatan Haranggaol saat ini sangat mengerikan. Bahkan meliputi seluruh pesisir horinon ini. Hasil panen bawang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanaman padi pun hampir tidak keliatan lagi karena mahalnya harga pupuk dan biaya produksi terus meningkat. Hasil panen juga tidak begitu menjanjikan karena kondisi tanah sawah dan ladang sudah semakin terkikis menjadi gersang. Ini disebabkan tekanan ekonomi yang sangat berat, sehingga sawah ladang mereka olah terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil tanaman bawang dan padi.
Saat ini panorama teluk Haranggaol sudah dihiasi dengan karamba (pembudidayaan ikan Nila dan ikan Mas). Hampir sepertiga teluk itu telah dipenuhi oleh karamba dan penempatannya pun tidak teratur. Hal ini mengakibatkan panorama pantai Haranggaol sebagai tujuan wisata yang indah menjadi rusak dipandang mata para wisatawan.
Nampaknya sulit untuk melarangnya. Saat ini tumpuan harapan sebagian masyarakat Haranggaol adalah bertani ikan di danau itu. Lumayan, harga ikan nampaknya agak stabil. Terus, bagaimana mereka yang tidak mempunyai modal? Tidak ada pilihan lain kecuali bertani mengolah sawah dan ladangnya. Celakanya, kalaupun hasilnya bagus, harganya murah. Pada saat harganya mahal, hasil panennya tidak begitu baik.
Kota wisata Haranggaol tidak jauh berbeda dengan Kota Parapat. Keduanya merupakan ibukota kecamatan. Keindahan panoramanya juga tidak jauh berbeda, karena sama-sama terletak di pinggir Danau Toba. Yang membedakan adalah bahwa Kota Parapat banyak dilintasi oleh kendaraan umum, baik angkutan antar propinsi maupun antar kota, dan sarana penunjang kepariwisataan lainnya tersedia di kota Parapat. Jalan raya dan sarana kepariwisataan di kota ini cukup baik dan memadai. Beda dengan Kota wisata Haranggaol, tidak memiliki sarana pariwisata yang memadai juga prasarana jalan rayanya sangat memprihatikan, sehingga mengurungkan minat para wisatawan berkunjung ke kota ini.
Semenjak Bapak Brigjen Radjamin Purba, SH (Alm.) menjabat sebagai Bupati Simalungun, jalan raya dari arah kota Seribudolok ke kota Haranggaol sangat bagus-mulus. Bukan hanya itu, pembangunan jalan yang menghubungkan kota Haranggaol dengan kota Parapatpun sudah berjalan hampir sampai Desa Tigaras. Meskipun badan jalan itu masih dalam konstruksi batu dan selokan pinggir jalan juga belum dibeton. Dan hingga saat ini, jalan tersebut belum pernah diaspal. Apabila jalan ini dapat diteruskan pembangunannya, sesuai rencana semula, para investor pasti akan melirik daerah wisata sepanjang pinggir jalan Danau Toba ini. Karena panoramanya tak kalah indahnya dengan pemandangan Grand Canyon di Amerika. Mereka akan tertarik untuk membangun hotel, motel dan villa-villa sebagai tempat berlibur dan peristirahatan disepanjang jalan tersebut.
Selama kurun waktu 30 tahun terakhir, telah terjadi beberapa kali pergantian Bupati Simalungun. Namun hingga saat ini, jalan tersebut tidak kunjung tembus sampai ke kota Parapat. Malah saat ini sudah kondisi jalan tersebut sudah rusak berat, karena tidak ada perawatan. Di sisi lain, sudah banyak biaya yang dikeluarkan Pemerintah untuk membuka jalan ini. Sekiranya jalan itu sudah tembus ke Parapat, maka potret kepariwisataan dan perekonomian penduduk wilayah itu tidak seperti sekarang ini, bahkan sudah jauh lebih baik.
Saat ini masyarakat kota wisata Haranggaol dan sekitarnya sangat mendambakan pembangunan di daerah ini agar tidak ketinggalan dari daerah lain. Salah satu pendekatan untuk mengejar ketertinggalan itu antara lain adalah melalui pembangunan sarana dan prasarana wilayah itu harus diperbaiki. Sudah saatnya dilakukan peningkatan kualitas infrastruktur jalan raya yang menghubungkan kota Haranggaol ke daerah lain di sekitarnya. Terutama jalan raya masuk ke kota Haranggaol dan dari Haranggaol ke Tigaras melalui Desa Bangunpurba, Sirungkungan, Simanindo, Tambun Raya, arah Timur kota Haranggaol sampai tembus ke kota Parapat perlu mendapat perhatian khusus dari Pemda Simalungun.
Kita semua berkeyakinan apabila pembangunan infrastruktur, sarana lainnya dapat segera direalisasikan oleh Pemda Simalungun, diharapkan kondisi pariwisata dan perekonomian masyarakat Haranggaol dan sekitarnya secara perlahan akan lebih baik dari sekarang. Dengan dilanjutkannya pembangunan jalan tersebut penghubung kota Haranggaol dengan kota Parapat itu, akan memperlancar arus transportasi dari dan ke Haranggaol. Bukan seperti sekarang ini, tidak ada alternatif jalan lain untuk masuk dan keluar kota Haranggaol. Inilah salah satu penyebab kota Haranggaol tertinggal. Dengan lancarnya transportasi di daerah itu, diharapkan kota Haranggaol dan desa di sepanjang jalan raya itu akan mudah diakses, dan mengingat potensi keindahan panorama Danau Toba di sepanjang jalan raya itu diharapkan akan ramai dikunjungi wisatawan dimasa yang akan datang.
Cepat atau lambat, pembangunan infrastruktur dan sarana lainnya akan memberikan dampak positif untuk menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata yang potensial seperti sediakala. Pulihnya pariwisata di kawasan ini akan berdampak positif pula terhadap peningkatan perekonomian dan secara perlahan-lahan akan dapat mengentaskan kemiskinan daerah wisata kota Haranggaol sekitarnya. Semoga!!(BlogSpotTondangJabodetabek, Selasa, 21 April 2010)surat_tongosan@yahoo.co.id