Oleh : Radesman
Saragih, SSos*
Bunda Theresa yang berjuang dan menghabiskan hidupnya untuk menolong anak-anak miskin/ terlantar dan orang miskin di Kota Calcutta, India. (Foto Warna/JelajahImanBlogSpot/Net)
Seluruh umat Kristen di dunia
memperingati wafatnya Tuhan Yesus Kristus atau Jumat Agung, Jumat (18/4/2014) dan
dilanjutkan dengan peringatan bangkitnya Tuhan Yesus dari kematian atau Paskah,
Minggu (20/04/2014). Seluruh ritual ibadah Jumat Agung dan Paskah yang
dilaksanakan umat Kristen di berbagai belahan dunia mendapat antusiasme tinggi.
Baik itu ritual drama atau fragmen penyaliban Yesus Kristus maupun ritual
lainnya. Antusiasme tersebut nampak dari membludaknya jumlah umat Kristen yang
mengikuti ibadah-ibadah atau misa Tri Suci Paskah, yakni Kamis Putih, Jumat
Agung dan Paskah, terutama di Gereja-gereja yang berada di perkotaan.
Secara hakiki, umat Kristen
menyambut antusias kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus karena dua
peristiwa tersebut merupakan puncak iman umat Kristen. Kalau Tuhan Yesus tidak menjalani
sengsara di Kayu Salib dan bangkit dari kematian, niscaya tak ada maknanya iman
Kristen. Berkat kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, manusia yang
percaya pada Yesus Kristus pun mendapatkan keselamatan, yakni kehidupan kekal.
Kebangkitan Yesus dari kematian mengalahkan kuasa maut, sehingga orang-orang
yang percaya kepada-Nya pun mendapat anugerah keselamatan hidup kekal.
Pemahaman secara rohani kematian
dan kebangkitan Tuhan Yesus tersebut sudah cukup mendalam bagi umat Kristen,
sehingga peringatan Jumat Agung dan Paskah pun menjadi suatu peristiwa sakral yang
dirayakan melalui ibadah yang senantiasa khusyuk dan khidmat. Berbeda dengan
perayaan Natal atau kelahiran Yesus yang dirayakan dengan rasa suca cita.
Namun dari sisi pemahaman rasa
kemanusiaan atau sosial, umat Kristen masih sering melupakan makna kematian dan
kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Dikatakan demikian karena sering kali umat Kristen
hanya merayakan kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus secara ritual semata tanpa
diikuti aksi nyata dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, gereja dan
keluarga.
Salah satu makna kematian dan kebangkitan
Tuhan Yesus yang terlupakan dalam ritual Jumat Agung dan Paskah ialah aksi
sosial dengan memperhatikan dan menolong orang-orang yang membutuhkan
pertolongan, baik di lingkungan masyarakat, gereja dan keluarga. Umat Kristen
masih kerap melupakan orang-orang yang terpinggirkan dalam kehidupan, termasuk
di masa Jumat Agung dan Paskah karena kurangnya pemahaman mengenai makna
kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Pengorbanan Yesus
Kematian
Tuhan Yesus di Kayu Salib dan kebangkitan-Nya dari kematian merupakan salah
satu wujud dari jiwa pengorbanan yang tulus ikhlas Tuhan Yesus untuk
menyelamatkan manusia dari belenggu dosa dan maut. Pengorbanan Tuhan Yesus
tersebut juga disertai dengan kesetiakawanan dan rasa solider terhadap manusia
yang terjerat dosa dan terancam maut yang kekal.
Menyikapi makna sosial kematian
dan kebangkitan Tuhan Yesus tersebut, tentunya umat Kristen pun perlu
mengembangkan dan mewujudkan pengorbanan dan kesetiakawanan sosial dalam
kehidupan sehari-hari, baik di tengah masyarakat, gereja dan keluarga.
Pengorbanan yang tulus ikhlas dan kesetiakawanan sosial tersebut penting
dihidupkan di tengah umat Kristen karena belakangan ini jiwa pengorbanan dan
kesetiakawanan sosial di tengah kehidupan masyarakat, termasuk gereja cenderung
semakin menipis. Kehidupan sosial belakangan ini semakin sarat dengan gaya atau
pola hidup individualis, egois dan ekslusif. Sikap kontra sosial tersebut juga
turut menerpa kehidupan umat Kristen.
Gaya hidup individualis, egois
dan eksklusif yang juga sering disertai sikap materialis dan hedonis
menyebabkan rasa solidaritas social atau kesetiakawanan sosial di tengah
masyarakat semakin menipis. Orang tak lagi peduli terhadap kesusahan hati,
kesulitan hidup sesama. Ironisnya, menipisnya rasa kesetiakawanan social ini
juga menjalar di tengah kehidupan umat Kristen.
Pengaruh Materialisme Hidup
Kealpaan umat Kisten untuk
membangkitkan rasa kesetiakawanan soaial dipengaruhi terjebaknya pada gaya
hidup yang lebih mengutamakan peningkatan kebutuhan materi dalam hidup ini. Perjuangan
hidup (struggle for life) manusia di era modern ini terkadang menyebabkan
manusia lebih mengutamakan gaya hidup homo homini lupus (manusia adalah
serigala bagi sesamanya). Fenomena ini Nampak dari sifat manusia yang cenderung
individualis, egosentris dan ekslusif.
Manusia lebih mementingkan diri
sendiri, kelompok sendiri tanpa peduli orang lain. Bahkan untuk memenuhi
kebutuhan atau kepentingan sendiri manusia tega mengorbankan dan mencelakai
sesama. Mencelakai bukan hanya dalam bentuk tindakan semata, tetapi juga dalam
bentuk perkataan – perkataan yang menyakitkan hati sesama.
Padahal sebagai makhluk sosial
yang beragama, bermartabat dan berhati nurani, setiap orang dituntut memiliki
prinsip hidup homo homini socius, yakni menganggap manusia adalah teman atau
sahabat bagi sesame. Prinsip hidup seperti ini mampu menjadi landasan bagi
setiap orang untuk mengasihi, memperdulikan dan menolong sesama.
Membangun
Kesetiakawanan
Dalam kondisi kehidupan
masyarakat seperti ini, tentunya umat Kristen/Gereja perlu terus membangun rasa
kesetiakawanan sosial dan jiwa pengorbanan seperti yang telah ditunjukkan Tuhan
Yesus melalui pengorbanan-Nya di Kayu Salib. Pertanyaannya, mampukah umat
Kristen/Gereja menjadikan membangkitkan kesetiakawanan sosial dan jiwa
pengorbanan di tengah kehidupan sosial yang semakin egosentris? Sebagai orang
percaya dan senantiasa mampu meneladani Tuhan Yesus Kristus, tentunya tidak ada
kata mustahil bagi umat Kristen/Gereja untuk mengembangkan atau membangun
kembali kesetiakawnan sosial di tengah masyarakat kita.
Pemerintah Indonesia sendiri pun
turut merasa penting pengembangan kesetiakawnan sosial tersebut. Hal itu
tercermin
dari kebijakan Pemerintah Republik Indonesia (RI) menetapkan Hari Kesetiakawanaan
Sosial Nasional setiap tanggal 20 Desember sejak Pemerintahan Orde Baru.
Sebelum dicanangkannya Hari Kesetiakawanan Sosial itu, Pemerintah RI telah mencanangkan Hari
Bakti Ssosial tahun 1948.
Adanya perhatian pemerintah itu juga menunjukkan bahwa kesetiakawanan sosial merupakan
hal yang sangat penting disemaikan kembali di tengah kehidupan manusia,
termasuk di lingkungan Gereja. Gereja dan umat Kristen mampu menjadi pelopor
kesetiakawanan sosial karena telah terlebih dahulu mendapatkan kelepasan dari belenggu
roh-roh ketakutan, kebodohan, kemalasan dan berbagai kesulitan hidup berkat
iman dan kepercayaan kepada Tuhan Yesus Kristus.
Selain itu, umat Kristen harus
lebih mampu menunjukkan kesetiakwanan sosial sebagai teladan bagi masyaakat
umumnya, sebab, kesetiakawanan merupakan salah satu ciri kehidupan umat
Kristen. Betapa berkembang pun pembangunan fisik Gereja, betapa banyak pun
kekayaan materi yang dimiliki umat Kristen, hal itu tak akan berarti untuk
menunjukkan kesaksian terhadap Kasih Kristus jika tak disertai rasa
kesetiakwanan sosial.
Landasan
Iman
Firman Allah menjadi landasan iman
bagi umat Kristen untuk mengutamakan kesetiakawanan sosial dalam hidup
ketimbang mengejar materi dalam menjalani hidup ini. Sebagai makhluk sosial
yang beragama, bermartabat dan berhati nurani, setiap orang dituntut memiliki
prinsip hidup homo homini socius,
yakni menganggap manusia adalah teman atau sahabat bagi sesama. Prinsip hidup
seperti ini mampu menjadi landasan bagi setiap orang untuk mengasihi,
memperdulikan dan menolong sesama.
Prinsip hidup seperti ini penting
dikembangkan dalam gaya hidup masyarakat sekarang dan di masa depan, termasuk
di lingkungan Gereja (umat Kristen) untuk menunjukkan/menyaksikan bahwa Allah
yang dipercaya orang Kristen memang penuh belas kasihan.
Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat
dan Teladan Hidup umat Kristen dalam Mateus 5 : 42 mengatakan : “Berilah kepada
orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam
padamu”. Firman tersebut mengharapkan orang percaya (umat Kristen) selalu hidup
berbelas-kasihan. Kemudian dalam Yohannes 15 : 13disebutkan, “Tidak ada kasih
yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabt-sahabatnya. Ayat ini mengingatkan orang percaya agar senantiasa bersikap
setia kawan dalam hidup ini. Sedangkan Galatia 6 : 2 menyebutkan :“Bertolong-olonganlah
menanggung bebanmu!” dan ayat 9 : “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik…”.
Belas kasihan yang diharapkan
Yesus Kristus tersebut hendaknya dapat diwujudkan orang-orang percaya terhadap sesame
tanpa memandang muka, kelas sosial, suku, ras, agama dan antar kelompok (SARA).
Belas kasihan itu dapat dilakukan melalui kepedulian/kesetiakawanaan sosial.
Kesetiakawanan sosial ini tidakhanya dilaksanakan dengan memberikan sedekah
kepada orang tidak mampu seperti sering dilakukan di tengah masyarakat dan
Gereja selama ini.
Kesetiakawanan sosial tersebut
dapat dilakukan melalui pemberian pertolongan kepada orang kurang mampu secara
terencana dan berkelanjutan hingga orang tersebut mampu menolong diri sendiri (to help people to help them selves).
Pertolongan tersebut bukan hanya dari segi materi atau uang, tetapi juga
pertolongan berupa pemberian keterampilan, pendidikan, perhatian/motivasi agar
orang yang membutuhkan pertolongan tetap semangat mengarungi hidup yang penuh
tantangan ini. Semoga melalui peringatan Jumat Agung dan Paskah kali ini, umat
Kristen/Gereja di mana pun berada semakin meningkatkan kesetiakawanan sosial.
Selamat Paskah.***
Radesman Saragih, SSos
*Penulis adalah pemerhati sosial dan alumni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, Jawa Barat, kini bekerja sebagai wartawan Harian Umum Suara Pembaruan Jakarta di Jambi.
0 Response to "Paskah dan Kesetiakawanan Sosial "
Posting Komentar