Kebanggaan menjadi wartawan, seperti yang selama ini kita ketahui, memang tak pelak membuat kita luput mempertanyakan bagaimana kesejahteraannya. Hingga saat ini, wartawan masih dianggap sebagai sebuah pekerjaan profesional. Coba tanya, siapa yang tidak akan bangga bisa bertatapan dan bicara langsung dengan gubernur atau para artis. Kebanggaan mendapatkan akses yang jauh lebih mudah dan eksklusif dibandingkan orang lain atau pekerja lain.
Makanya tak heran, banyak orang, bahkan wartawan sendiri yang tak mau beranggapan bahwa pekerjaan wartawan tak jauh beda seperti pekerjaan buruh atau pekerja biasa. Banyak yang tidak sepakat dan mendebat keras, ketika profesi wartawan diidentikkan dengan kaum buruh yang konotasi umumnya selalu tertindas, menerima upah rendah dan kesejahteraannya "payah."
Padahal kenyataannya memang sepeti itu. Sejak awal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sendiri menggolongkan wartawan tak ubahnya sebagai buruh, karena secara reguler bekerja untuk mendapatkan gaji dan pendapatan yang layak bagi penghidupannya. Bahkan, banyak wartawan yang malah menerima upah yang tak layak dan tidak cukup untuk kesejahteraannya.
Menurut Adi Prinantyo, wartawan Kompas yang juga Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, para jurnalis itu berbeda ciri dengan "pekerjaan" profesi seperti dokter praktik, tukang ojek, atau petani yang memiliki lahan dan menguasai alat produksi. Wartawan tak jauh beda dengan buruh pabrik dan petani penggarap yang tidak menguasai alat produksi, tapi bergantung pada pemilik alat produksi (pengusaha media).
Pada umumnya, wartawan bekerja pada perusahaan media tertentu dan mendapatkan upah dari pekerjaannya. Jika pengusaha medianya tak membutuhkannya lagi, maka ia tak akan mendapatkan upah lagi. Sehingga sangat jelas mencirikan sebagai pekerja atau buruh. Sedangkan kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah layak, terdiri dari gaji dan tunjangan serta memperoleh kondisi kerja yang memadai (waktu kerja, sarana kesehatan dan keselamatan kerja maupun aturan di tempat kerja).
Upah Tak Layak
Gaji wartawan menjadi permasalahan krusial yang harus diperhatikan setiap perusahaan media. Bayangkan saja, di zaman serba susah ini masih ada wartawan yang digaji di bawah upah minimum regional (UMR), yakni di bawah Rp 900 ribu per bulan, padahal tekanan pekerjaannya begitu berat. Bahkan, ada wartawan yang sama sekali tidak digaji, sehingga hanya mengharapkan "amplop" dari narasumbernya.
Menurut Dewan Pers, hanya 249 dari 829 perusahaan media cetak di Indonesia yang layak disebut sebagai usaha bisnis, alias sisanya tak sanggup menggaji wartawannya sesuai dengan standar upah di Indonesia. Ini hanya 30 persennya saja dari total perusahaan media cetak yang ada di Indonesia tersebut. Belum lagi media elektronik yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah media cetak.
Berdasarkan survei terakhir yang dilakukan AJI tentang keadaan media pers dan kesejahteraan para wartawannya, mengungkap bahwa penghasilan rata-rata wartawan antara hanya Rp 900 ribu hingga Rp 1,4 juta per bulan. Penelitian ini melibatkan responden 400 wartawan dari 80 media massa di 17 kota besar di Indonesia yang hampir seluruhnya ibukota provinsi.
Sebanyak 29,1 persen wartawan yang berpendidikan sarjana masih bergaji di bawah Rp 1 juta sebulan.
Sedangkan 11,5 persen wartawan masih digaji di bawah rata-rata upah minimum setempat. Bahkan yang sangat menyedihkan, ternyata masih ada media di Indonesia yang menggaji wartawannya hanya Rp 200 ribu per bulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvei.
Hasil survei AJI ini menunjukkan wartawan dan perusahaan pers pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung. Tak ada yang bisa menjamin kesejahteraan para wartawan ini jika media tempatnya bekerja sendiri kesulitan untuk bertahan hidup.
Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvei harus memiliki pekerjaan sampingan, yang di antaranya tentu saja dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan profesinya sebagai wartawan. Malah 61,3 persen dari para wartawan tersebut menganggap pemberian "amplop" oleh narasumber dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka.
Makanya tak heran jika banyak wartawan yang hanya mengandalkan kartu pers (ID Card) wartawan yang dimilikinya untuk mendapatkan penghasilan dari sumber berita. Bahkan, sering kali nilai nomimal uang yang diterima dari "amplop" tersebut justru lebih besar dibandingkan jumlah gaji dari medianya sendiri. Sehingga, "amplop" tak lagi "haram" bagi para wartawan, seperti yang disampaikan AJI. Para wartawan ini selalu bilang, "Haram menerima amplop, tapi terima isinya saja."
Jika melihat kenyataan ini, bagaimana akan muncul sosok wartawan yang profesional, beretika, independen dan kritis, kalau "tak bergaji" layak? Malah setiap mereka harus terus menggantungkan harapan pendapatan dari pihak lain yang bisa "mengatur" pemberitaan yang akan dibuat.
Jaminan Kesejahteraan
Kelayakan gaji bagi wartawan sudah pasti akan berpengaruh terhadap proses dan hasil pekerjaannya, yang dituntut oleh masyarakat harus selalu benar, objektif, faktual, berimbang dan bermanfaat bagi publik. Namun ketika kesejahteraan para wartawan tidak bisa dijamin sepenuhnya oleh media di mana mereka bekerja, maka pendapatan dari "amplop" yang diberikan oleh sumber berita menjadi lahan lain bagi para wartawan.
Oleh karena itu juga, banyak wartawan yang menganggap penerimaan "amplop" sebagai hal yang wajar.
Bahkan para redaktur yang membawahi mereka pun tak ada yang menegur wartawannya, karena dulu mereka juga pernah merasakan bagaimana "nikmat"-nya menerima "amplop". "Asal hanya ratusan ribu, tak apalah," bisanya seperti itu dalih para redaktur yang menangkap ulah wartawannya.
Memang, tidak semua "amplop" dapat dikategorikan sebagai suap atau sogok, kecuali jika nilainya sangat besar atau diberikan secara rutin hingga menjadi semacam ikatan antara wartawan dan sumber. Akan tetapi, "amplop" bernilai kecil pun bila dianggap sebagai kewajaran dalam pekerjaan pers, tetap akan mengganggu integritas wartawan dan dapat menghambat kemajuan profesionalisme jurnalistik mereka.
Sangat mungkin, pemberian narasumber yang akan menjadi embrio penyuapan atau penyogokan untuk jangka panjang tersebut akan menyebabkan kemandekan dalam pengembangan standar jurnalistik profesional. Terutama kemandekan di sini adalah soal ketidakberimbangan dalam sebuah berita. Karena wartawan telah "disogok" dengan "amplop" oleh suatu pihak, maka pihak tersebut selalu dibela dalam pemberitaan. Inilah yang telah merusak independensi jurnalisme.
Disebabkan oleh "budaya amplop" yang semakin mengakar dalam watak wartawan di Indonesia, akan memengaruhi kinerja mereka karena berakibat hingga retaknya independensi dan idealisme para wartawan dalam mengemas berita. Jika demikian, bagaimana mungkin wartawan dan media massa dapat menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang ke empat?
Di sinilah tanggung jawab perusahaan pers untuk memberikan upah layak bagi para wartawannya, sehingga mereka tidak mudah tergoda dengan berbagai bentuk "amplop" dari narasumber. Sudah sepantasnya wartawan mendapatkan jaminan kesejahteraan dari media tempatnya bekerja, sebagai imbalan atas kerja kerasnya, dan tentu saja untuk tetap mempertahankan independensi dan idealisme sebagai pemberi informasi yang benar kepada masyarakat.
Lalu berapa besar gaji yang bisa dikatakan layak untuk menjamin kesejahteraan para wartawan? AJI telah melakukan berbagai survei di lapangan melalui wawancara dengan para wartawan. Setelah dihitung, AJI menemukan angka sebesar Rp 2,7 juta lebih per bulan. Inilah standar gaji yang layak bagi wartawan menurut hasil survei AJI.
AJI merincikan kebutuhan wartawan selama satu bulan. Antara lain, makanan dan minuman sebesar Rp 750 ribu, perumahan dan fasilitas sebesar Rp 242.667, kebutuhan sandang Rp 149 ribu dan ditambah aneka kebutuhan lainnya Rp 1,3 juta lebih. Total kebutuhannya adalah Rp 2.480.439 atau lebih dari Rp 2,4 juta.
Kemudian gambaran upah tersebut harus ditambah 10 persen dari total upah sebesar Rp 248.439 untuk tabungan bagi para wartawan. Sehingga totalnya mencapai Rp 2,7 juta lebih. Mungkin nilai sebesar inilah yang harus dibayarkan oleh perusahaan pers untuk menjamin kesejahteraan para wartawannya. Setidaknya dengan ini, mereka sudah bisa membayar kredit sepedamotornya setiap bulan, tanpa harus berutang lagi.
Jika kesejahteraan wartawan bisa dijamin oleh perusahaan pers, maka fungsi pers tentu saja bukan lagi hanya sebagai sarana mendapatkan berita. Perannya sebagai penjaga hak-hak rakyat agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa, pasti bisa ikut diwujudkan. Posisi pers sebagai pilar keempat dalam demokrasi (the fourth estate) tentu akan berjalan pula. Dan kita bisa percaya bahwa tidak ada negara di dunia ini yang bisa mengaku sebagai negara demokrasi jika tidak memiliki pers yang bebas dan kuat.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU 2005, mantan anggota Pers Mahasiswa SUARA USU dan calon wartawan. {Harian Global Indonesia, Medan, Rabu, 12 Agustus 2009}
0 Response to "Upah yang Layak atau Terima Amplop (?)"
Posting Komentar