Tumenggung Tarib

Pendekar Lingkungan dari Jambi

[JAMBI] Pola hidup nomaden atau berpindah-pindah di dalam hutan yang masih melekat dalam gaya hidup Suku Kubu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) ternyata tidak selamanya bernilai negatif. “Kesetiaan” Orang Rimba menjadikan hutan sebagai “rumah” bagi komunitasnya ternyata menjadi salah satu benteng kelestarian hutan di Provinsi Jambi. Kegigihan Orang Rimba mempertahankan hutan sebagai pelabuhan terakhir hidup komunitas mereka membuat tak ada pembalak liar yang berani menyentuh hutan yang mereka tempati. 

Hal tersebut sudah dibuktikan Orang Rimba yang hingga kini bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Sedikitnya 100 hektare (ha) hutan di kawasan TNBD, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi berhasil dipertahankan kelestariannya oleh Orang Rimba di kawasan itu.

 Kepala Suku Orang Rimba (Suku Kubu), Tumenggung Tarib bersama piala Kalpataru 2006. [SP/Radesman Saragih]


Kelestarian hutan itu tak terlepas dari kegigihan Kepala Suku Orang Rimba atau SAD dari TNBN, Tumenggung Tarib (60) membendung keganasan pembalak liar alias penjarah hutan. Tumenggung Tarib mengerahkan sekitar 75 kepala keluarga (KK) Orang Rimba menanam karet di sekeliling atau daerah penyangga hutan Desa Pematang Kabau. Penenaman karet itu mereka kelola dengan baik dan mereka jaga, sehingga akses pembalak liar ke dalam hutan tertutup.  

Pembangunan kebun karet pelindung hutan yang disebut dengan hompongan (kebun bersama bersama) tersebut telah dilakukan kelompok Orang Rimba pimpinan Tumenggung Tarib sejak tahun 2004 silam. Hompongan tersebut dibangun sabagai salah satu upaya agar Orang Rimba yang dipimpinna bisa memiliki sumber pendapatan menetap dan mau meninggalkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah di hutan. Namun ternyata penanaman kebun karet di kawasan penyangga hutan TNBD tersebut menjadi salah satu benteng kelestarian hutan dari aksi-aksi pembalakan liar. 


Keberhasilan membangun benteng pertahanan hutan tersebut pun akhirnya mengantarkan Tumenggung Tarib dan kelompoknya meraih penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup, yakni piala Kalpataru. Penghargaan itu diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Tumenggung Tarib di Istana Negara, Jakarta pada peringatan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2006. Model Baru Kebarhasilan Tumenggung Tarib meraih Kalpataru tersebut membuat pola pelestarian hutan yang dilakukan kelompoknya menjadi salah satu model baru pelestarian hutan di Provinsi Jambi. 


Kepala Suku Orang Rimba (Suku Kubu), Jambi ,Tumenggung Tarib (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan di Jambi, 6 Juni 2006 seusai menerima penghargaan lingkungan hidup, Kalpataru tingat nasional di Istana Negara, Jakarta, 5 Juni 2006. [SP/Radesman Saragih]


Selain itu, Tumenggung Tarib pun menjadi salah satu pendekar lingkungan hidup dari kalangan Orang Rimba yang belakangan ini semakin sering tampil dalam forum-forum pertemuan mengenai pelestarian hutan di Jambi. Pada pertemuan mengenai pelestarian hutan di Kabupaten Batanghari, Jambi, baru-baru ini, Tumenggung Tarib mengatakan, Dia dan kelompoknya mempertahankan kelestarian hutan karena komunitasnya sulit untuk pindah ke permukiman yang dibangun pemerintah. Karena hutan menjadi pilihan utama untuk mempertahankan hidup mereka, maka kelompok Orang Rimba yang dipimpin Tumenggung Tarib pun berjuang keras menyelamatkan hutan yang selama ini menjadi daerah penjelajahan mereka untuk mencari makan.
   Menurut Tumenggung Tarib, pemerintah telah pernah membangun permukiman dan rumah bagi 75 KK Orang Rimba yang dipimpinna di luar kawasan hutan Desa Pematang Kabau. Namun karena mereka tidak terbiasa hidup di rumah beratap seng dan berdinding papan, kini hanya lima keluarga Orang Rimba yang bertahan di permukiman tersebut. Mereka pun terkadang meninggalkan rumah karena sudah terbiasa mencari penghidupan di hutan.  




Kelompok Orang Rimba yang masih didup secara nomaden di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Kabupaten Sarolangun, Jambi. [SP/Radesman Saragih]
 
 “Kondisi ini membuat kami harus mempertahankan hutan sebagai rumah kami. Kalau hutan yang saat ini masih lestari di dalam kawasan TNBD rusak, kami pasti kehilangan tempat tinggal karena sebagian besar hutan di Jambi kini sudah hancur dan berubah menjadi kebun sawit,”katanya.

Tumenggung Tarib menyadari, Orang Rimba tidak selamanya bisa bertahan hidup di hutan karena hutan di Jambi terus berkurang. Untuk itu, Orang Rimba yang dipimpinnya terus mencoba bercocok tanam dengan mengelola kebun karet. Selain itu kelompoknya juga meningkatkan usaha sampingan, yakni mencari tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan obat di kawasan TNBD. Saat ini pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Unibersitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah melakukan penelitian terhadap tanaman hutan bahan obat dan kosmetik hasil temuan kelompok Tumenggung Tarib. 

 “Sulit memang bagi kami untuk tinggal menetap di permukiman di luar hutan karena kami sudah hidup di hutan secara turun – temurun. Namun melalui usaha kebun karet dan usaha obat-obat tradisional, kami semakin bisa menjalin hubungan sosial dengan masyarakat umum. Selain itu belakangan ini juga sudah banyak anak-anak kami yang sekolah di lembaga pendidikan formal. Mudah-mudahan melalui pendidikan dan usaha ekonomi ini hasil hutan non kayu ini, Orang Rimba bisa meninggalkan pola hidup nomaden, namun tetap bisa melestarikan hutan,”katanya. 

Sementara itu, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitan Konservasi Indonesia - Warung Informasi Konservasi (KKI-Warsi) Jambi, Rachmat Hidayat kepada SP di Jambi baru-baru ini mengatakan, Orang Rimba di Jambi, termasuk kelompok Tumenggung Tarib kini leluasa mempertahankan hutan sebagai habitat mereka setelah adanya penetapan Cagar Biosfir Bukit Duabelas menjadi TNBD melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 258/Kpts-II/2000 Agustus 2000. Berdasarkan SK tersebut, luas hutan TNBD yang didalamnya terdapat sekitar 6.500 jiwa Orang Rimba ditetapkan sekitar 60.500 ha. Kawasan TNBD tersebut terdapat di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Batanghari dan Tebo. 

“Keberhasilan Tumenggung Tarib membangun kebun karet di kawasan penyangga hutan agar hutan tidak dijarah pembalak liar hingga kini menjadi salah satu contoh kearifan lokal dalam pelestarian hutan. Untuk itu hingga kini kita terus mendampingi Orang Rimba melestarikan hutan sembari memberdayakan mereka agar bisa hidup menetap dan memiliki penghasilan tetap,”katanya. [SP/Radesman Saragih](Harian Umum Suara Pembaruan, Minggu, 9 Juni 2013)
Permohonan Maaf Puji Tuhan karena bisa kembali membuka Blog Surat Tongosan ini setelah sekian lama tak terperhatikan dan tak terisi dengan berita-berita maupun foto-foto terbaru. Semuanya itu bukan karena kelalauan atau kesengajaan, tetapi karena keadaan yang memaksa. Kondisi sakit yang saya alami sejak Oktober 2010 - 2013 membuat saya tidak bisa menyajikan berita-bertia aktual dan menarik melalui media sosial (blog) Surat Tongosan yang kita cintai ini. Mudah-mudahan adanya pemulihan kesehatan yang saya alami tahun 2013 ini memampukan saya mengelola kembali media ini. Walau belum bisa menyajikan berita-berita dengan maksimal, mudah-mudahan sajian-sajian baru dalam Surat Tongosan ini bisa memenuhi secuil kehausan informasi para pembaca para peminat media ini. Saya juga mencoba menyajikan berita-berita cetak Surat Kabar Surat Tongosan Jambi yang pernah saya terbitkan beberapa tahun lalu sebanyak dua edisi. Selamat memmbaca. (Rds/ST)