Menelusuri Jejak Buddha di Candi Muarojambi



Ni Hao Ma

SP/Radesman Saragih
Situs Purbakala Candi Muarojambi yang hingga kini masih merana. Sebagian besar candi yang ditemukan rusak di kawasan situs itu hingga kini tidak diperbaiki karena tidak adanya dana. Gambar diambil baru-baru ini.

Situs Purbakala
Candi Muarojambi
pernah menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha pada masa keemasan Kerajaan Sriwijaya

Situs Purbakala Candi Muarojambi di Desa Muarojambi, Kecamatan Mauarosebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi tak pernah lagi lepas dari perhatian umat Buddha. Setiap kali Hari Raya Waisak tiba, kompleks situs purbakala itu dijadikan pusat ritual umat Buddha.
Pada perayaan Hari Raya Waisak 2554 Buddhist Earth (BE) 2010, umat Buddha se-Provinsi Jambi melakukan prosesi di kompleks candi itu. Pendeta Buddha Majelis Budhayana Indonesia (MBI) Provinsi Jambi, Romo Gunawan kepada SP di sela-sela puncak perayaan Hari Raya Waisak 2554 BE di Vihara Sakyakirti Kota Jambi, Jumat (28/5) menjelaskan, Candi Muarojambi tak terpisahkan dari perkembangan agama Buddha di Sumatera, khususnya di Jambi.
Karena itu setiap kali perayaan Waisak, kegiatan ritual umat Buddha selalu digelar di kompleks percandian itu. “Prosesi ritual Waisak kita gelar di Candi Muarojambi, Minggu (23/5) untuk mengawali perayaan Waisak 2554 BE 2010 di Jambi,” katanya.
Menurut Gunawan, Candi Muarojambi menorehkan sejarah panjang perkembangan agama Buddha di Jambi. Situs purbakala tersebut, merupakan salah satu monumen kebesaran Buddha di Indonesia.
Penyebaran agama Buddha di daerah itu diawali dari situs purbakala tersebut sekitar abad XI. Situs Purbakala Candi Muarojambi pertama kali ditemukan seorang militer Inggris, SC Crooke tahun 1823. Pemugaran situs purbakala itu dimulai oleh Pemerintah Indonesia tahun 1975.
Situs Purbakala Candi Muarojambi yang memiliki luas sekitar 2.062 hektare (ha) pernah menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha pada masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Umat Buddha yang mengecap pendidikan di daerah itu datang dari berbagai negara yang menjadi pusat penyebaran dan perkembangan Buddha. Di antaranya Thailand, Tiongkok, dan India.
“Karena itulah kompleks percandian itu dijadikan pusat perayaan Waisak setiap tahun. Puncak perayaan Waisak se-Sumatera tahun 2007 dipusatkan di kompleks Candi Muarojambi. Ketika itu, tokoh-tokoh dan rohaniawan agama Buddha se-Sumatera hadir pada perayaan Waisak tersebut,” katanya.

Aset Budaya
Bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muarojambi dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, Situs Purbakala Candi Muarojambi merupakan aset budaya dan pariwisata bernilai tinggi. Candi Muarojambi sangat layak dijual kepada wisatawan mancanegara, terutama wisatawan dari Thailand, Tiongkok, Taiwan, dan India.
Gubernur Jambi H Zulkifli Nurdin di Jambi baru-baru ini mengatakan, pihaknya sudah pernah mempromosikan Candi Muarojambi ke tingkat nasional dan internasional. Promosi itu dilakukan melalui pameran Candi Muarojambi di Bentara Budaya Jakarta dua tahun lalu. Kemudian situs purbakala itu juga masih tetap dipromosikan ke tingkat nasional dan internasional melalui pelaksanaan Festival Candi Muarojambi setiap tahun. [SP/Radesman Saragih] [Suara Pembaruan, Sabtu, 29 Mei 2010, Ni Hao Ma - Kesra)

Gema MTQ dari Kualatungkal




SP/Radesman Saragih
Gubernur Jambi H Zulkifli Nurdin memukul beduk raksasa tanda dimulainya MTQ ke-40 tingkat Provinsi Jambi di Kota Kualatungkal, Jambi, Senin (3/5) malam.

Nuansa religius sangat terasa di tengah kehidupan warga masyarakat Kota Kualatungkal, Kabupaten Tanjungjabung Barat (Tanjabbar), Provinsi Jambi selama sepekan ini. Ayat-ayat suci Alquran setiap malam menggema mengisi keheningan malam kota itu.
Gema ayat-ayat suci Alquran itu berasal dari lantunan suara qori dan qoriah di pentas Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-40 tingkat Provinsi Jambi yang berlangsung di kota pelabuhan pantai timur Jambi itu sejak Senin (3/5) hingga Senin (10/5).
Perhatian dan kegiatan masyarakat setempat juga terfokus pada seluruh pesta tahunan umat Muslim di daerah itu. Keseharian warga masyarakat kota perdagangan itu juga disibukkan dengan pelayanan terhadap sekitar 624 orang peserta MTQ. Maklum, sebagian besar peserta MTQ menginap di rumah 127 warga Kota Kualatungkal.
MTQ juga menjadi suatu momentum melakukan refleksi atau perenungan tentang pentingnya peran agama dan moralitas dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan bangsa.

Memberi Hikmah
Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin pada pembukaan MTQ ke-40 tingkat Provinsi Jambi tersebut mengungkapkan, kegiatan ini memberikan cukup banyak hikmah atau manfaat untuk membangun kehidupan masyarakat yang bermoral dan agamais. Melalui moralitas dan kehidupan agamais yang baik, masyarakat akan dapat membendung nilai-nilai asing dan modern yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Salah satu tantangan kehidupan keagamaan yang harus dihadapi umat Muslim belakangan ini, yakni munculnya kelompok-kelompok tertentu yang berupaya melencengkan kebenaran Alquran. Ciri-ciri mereka ini, antara lain melakukan berbagai kegiatan yang tidak sesuai dengan ajaran Alquran.
Karena itu, lanjutnya, umat Muslim yang mengikuti MTQ jangan sekadar pendengar ayat-ayat suci Alquran. Melalui MTQ tersebut, umat Muslim diharapkan mampu menunjukkan nilai-nilai moralitas dan keagamaan dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama Provinsi Jambi, Abdul Kadir Husein mengatakan, pembinaan nilai-nilai moralitas dan keagamaan di tengah masyarakat sangat penting di tengah beratnya tantangan kehidupan beragama di Indonesia.
Umat beragama, termasuk Islam sering terusik akibat seringnya muncul tafsiran yang sempit dan keliru mengenai ayat-ayat Alquran dan kehidupan keagamaan umat Islam. “Menghadapi kecenderungan itu sangat dibutuhkan pijakan yang kokoh, yaitu pemahaman terhadap Alquran sesuai dengan konteks ilmu pengetahuan,” katanya.
Secara terpisah, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Thaha Syaifuddin (STS) Jambi, Prof Dr H Mukhtar Latif, mengatakan, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Jambi merupakan karsa Ilahi.
“Alquran memberikan isyarat yang jelas bahwa segala yang Allah ciptakan di alam adalah untuk kemakmuran umat manusia,” katanya. [SP/Radesman Saragih](Suara Pembaruan, Sabtu, 8 Mei 2010, Faith and Life)

Kesadaran Lingkungan Dimulai dari Keluarga




SP/Radesman Saragih
Pendeta Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Resort Jambi, Pdt John Ricky R Purba STh (jongkok, kiri) didampingi para anggota Majelis Jemaat GKPS Jambi menanam pohon untuk penghijauan di halaman GKPS Kota Jambi, baru-baru ini. Penanaman pohon tersebut untuk mendukung program penghijauan pemerintah.


Peningkatan kesadaran lingkungan di tengah masyarakat harus dimulai dari tengah keluarga. Jika keluarga tak memiliki kesadaran lingkungan, berbagai program pelestarian lingkungan yang dicanangkan pemerintah dan gereja tidak akan bisa terlaksana dengan baik.
“Hal ini sudah terbukti dari berbagai kegagalan program pelestarian lingkungan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, kata staf Pengajar Sekolah Tinggi Theologia (STT) Abdi Sabda Medan, Sumatera Utara, Pdt Jaharianson Saragih MSc PhD pada Sinode Resort GKPS Jambi di GKPS Jambi, Sabtu (27/3).
Menurut Jaharianson, salah satu program pelestarian lingkungan yang dilaksanakan gereja di Simalungun yang gagal total ialah penghijauan di wilayah hutan Girsang Simpangan Bolon, Kabupaten Simalungun. Program penghijauan tersebut dilaksanakan berkaitan dengan Jubileum (ulang tahun ke-50) Dewan Gereja Asia (The Christian Conference of Asia/ACC) yang dilaksanakan di Sumatera Utara, 4 – 10 Maret 2007. Penghijauan di Simalungun tersebut direncanakan menjadi Taman Gereja Asia. “Namun, kini program penghijauan itu tak berlanjut. Pohon-pohon penghijauan yang ditanam sebagian besar mati dan tinggal papan nama. Hal itu terjadi karena kurangnya kepedulian keluarga Simalungun terhadap pelestarian hutan di sekitar perkampungan mereka itu,” katanya.

Tahun Lingkungan Hidup
Dikatakan, program pelestarian lingkungan yang dilakukan GKPS berkenaan dengan Tahun Lingkungan Hidup GKPS 2010 tidak mustahil gagal total jika rasa dan aksi peduli lingkungan warga GKPS tidak benar-benar dibangkitkan. Dengan demikian, segenap warga GKPS di mana pun berada akan tetap mengawal program pelestarian lingkungan yang dicanangkan GKPS ataupun pemerintah. Menurut Jaharianson, perhatian dan kepedulian GKPS selama ini pada pelestarian lingkungan hidup cukup banyak. Namun, program-program pelestarian lingkungan hidup tersebut kurang berhasil secara maksimal.
Hal tersebut disebabkan kurangnya pengawasan dan evaluasi terhadap program-program pelestarian lingkungan yang dilaksanakan GKPS. Untuk itu, tambah Jaharianson, segenap kepengurusan GKPS di Indonesia harus memfokuskan kegiatan untuk pelestarian lingkungan.
“Kesempatan GKPS mendapatkan bantuan pemerintah dalam pelestarian lingkungan ini sangat terbuka. Alasannya, Program Tahun Lingkungan GKPS 2010 terkait erat dengan program pelestarian lingkungan yang dicanangkan pemerintah melalui moto satu orang satu pohon,” katanya. [141](Suara Pembaruan, Sabtu, 17 April 2010, Faith and Life)
The Beauty Land Haranggaol

The Beauty Land Haranggaol

Haranggaol, begitulah namanya sering disingkat. Nama lengkapnya Haranggaol Horisan. Dulu, sempat menjadi daerah tujuan wisata turis domestik. Tapi belakangan, nama itu semakin tenggelam, kalah bersaing dengan Parapat.

Dari Kota Pematangsiantar menuju Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun, Sabtu (24/5) pukul 15.30 WIB, METRO memilih naik kendaraan umum. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Satu jam dari Siantar hingga Simpang Haranggaol dengan ongkos Rp10 ribu per orang, dan 30 menit dari Simpang Haranggal hingga Haranggaol dengan ongkos Rp5.000 (tarif sebelum harga BBM naik).

Udara sejuk segar mirip sejuknya udara Kota Berastagi menyambut METRO, begitu angkutan memasuki Raya, ibukota Simalungun (de jure). Sepanjang perjalanan, ladang-ladang pertanian nan menghijau tampak elok dipandang. Deretan tanaman cabai, kopi, jagung, kol, tomat, kacang panjang, dan lainnya di sepanjang jalan dari Raya menuju Haranggaol, sungguh menyejukkan mata.

Sayang, kenyamanan sedikit terganggu oleh kondisi prasarana jalan yang menggerundul-gerundul di sejumlah titik. Kalau tak hati-hati, kepala bisa kejedut atap kendaraan yang kadang terbanting-banting di jalanan berlubang. ”Seandainya Pemkab memberi perhatian membenahi kondisi jalan, alangkah baiknya,” celetuk seorang teman yang ikut dalam perjalanan.

Saat tiba di Simpang Haranggaol, jam sudah menujukkan pukul 16.30 WIB. Di simpang itu, harus bertukar angkutan. Di sini, pengunjung bisa menunggu 30 menit lebih sebelum bus berangkat. Soalnya harus menunggu sampai bus penuh, sementara penumpang jarang-jarang.

Dari Simpang Haranggaol menuju Haranggaol Horisan, suhu udara semakin dingin. Maklum, posisi saat itu berada di puncak pebukitan Bukit Barisan menuju ke Danau Toba. Jalanan berkelok-kelok, terkadang mulus terkadang berlubang. Sekitar 15 menit setelah kendaraan melaju dari simpang Haranggaol, hamparan luas Danau Toba mulai terlihat dari puncak. Bukit-bukit mengepung dari kiri kanan. Deretan rumah-rumah di dataran pinggiran danau yang dihuni sekira 1.400-an KK itu, tampak indah.

Semakin menurun, ladang-ladang menghijau menyambut. Ada tanaman kol, sawi pahit, tomat, cabai, kopi, bawang, mangga yang sudah berbuah, dan tanaman lainnya.

Tiba di Haranggaol Horisan, METRO turun dari angkutan. St W Sinaga, seorang tokoh masyarakat, dalam bincang-bincang dengan METRO mengatakan, Haranggaol sebenarnya memiliki potensi besar menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Simalungun, bahkan Sumatera Utara.

”Yang pertama harus dibenahi adalah perbaikan prasarana jalan menuju ke Haranggaol. Selain itu, perlu dibuka jalan tembus Haranggaol-Tiga Ras dan Haranggaol-Tongging. Sebenarnya jalan ke sana sudah pernah dibuka, tetapi karena tak diaspal akhirnya tertutup lagi. Padahal dengan adanya jalan tembus ini, pariwisata di Haranggaol bisa terangkat, dengan semakin pendeknya jarak tempuh ke Parapat,” jelasnya, sembari menunjukkan jalan tembus yang fisiknya masih bisa terlihat di pebukitan.

Jika prasarana jalan sudah relatif mulus, wisatawan domestik menurutnya akan lebih tertarik datang.

Keramba Ikan

Mengenai Keramba Jala Apung (KJA) yang memenuhi permukaan Danau Toba di perairan Haranggaol, yang disebut-sebut mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Haranggaol, menurut St W Manik, jangan sampai dihilangkan. Karena keberadaan keramba menyangkut sumber penghasilan warga setempat. ”Hanya saja, untuk mendukung pariwisata di Haranggaol, sebaiknya pemerintah melakukan penataan keramba dengan membuatkan zona khusus,” cetusnya.

Zona khusus yang dimaksudkannya adalah dengan menetapkan lokasi khusus untuk keramba ikan. Di luar zona dimaksud, tak boleh ada keramba, khususnya di zona yang diperuntukkan untuk wisata.

Keramba ikan, jelasnya, sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai objek wisata tersendiri. Caranya, pemerintah membangun semacam jembatan apung di atas permukaan Danau Toba yang memisahkan zona keramba dengan zona wisata. Di atas jembatan itu, pengunjung bisa jalan-jalan, sambil melihat-lihat ikan yang dipelihara di atas keramba. Jembatan apung ini sekaligus memperlihatkan kepada pengunjung, bahwa perairan untuk wisata dan untuk keramba dipisahkan dengan baik. ”Untuk pembuatan jembatan itu, tentu harus ada inisiatif Pemkab. Asalkan Pemkab mau berbuat, pasti bisa,” tandasnya.

Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Haranggaol Horisan, SH Nababan, yang ditemui METRO di sana, menjelaskan mengenai sistem zonasi ini. Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah pernah menetapkan zonasi keramba ikan di Haranggaol, yakni di daerah Rappa dan Tuktuk Sipalu. Sementara zona wisata di Tangga Batu. ”Tetapi kondisi alam di lokasi itu kurang mendukung untuk keramba ikan, karena arus ombak yang cukup kuat dari Tao Silalahi, cukup mengganggu perikanan keramba. Selain itu, meski petani mengakui kalau ikan lebih sehat jika keramba jauh dari pantai, namun persoalan pencurian ikan menjadi masalah sendiri. Karena semakin jauh keramba ke tengah danau, pengamanan semakin sulit dilakukan. Akhirnya, petani kembali menarik keramba ke daerah pantai,” jelasnya.

Hal-hal inilah yang menyebabkan penataan keramba di Haranggaol agak sulit dilakukan. Apalagi, lanjutnya, Pemkab belum memberikan perhatian penuh untuk menata Haranggaol sebagai daerah tujuan wisata. ”Bupati sudah pernah menyatakan bersedia mengucurkan dana Rp1 miliar untuk membenahi Haranggaol. Tetapi syaratnya, masyarakat harus mau ditata,” cetusnya.

Penataan masyarakat inilah, yang menurutnya sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Meski telah dilakukan sosialisasi beberapa kali, masih ada beberapa kendala di lapangan.

Ditanya tentang fasilitas pendukung pariwisata di Haranggaol, Sekcam menjelaskan, saat ini ada 5 hotel/penginapan. Yakni Hotel Sigumba-gumba sekitar 40-an kamar, Tuhulan 5 kamar, Naga Murni 3 kamar, Amdito 6 kamar, dan Horisan 14 kamar. Tarif per kamar per malam rata-rata Rp75.000 ribu.

Adapun fasilitas wisata yang bisa dinikmati di Haranggaol, selain pemandangan Danau Toba, juga wisata air naik speedboat dan sampan kecil, serta ban-ban untuk mandi-mandi. ”Oleh-oleh khas dari Haranggaol ini ya ikanlah…. atau mangga kalau lagi musim seperti sekarang,” jelas Sinaga.

Pasanggarahan Telantar

Kurangnya perhatian pemerintah memoles Haranggaol, dibuktikan St W Sinaga dengan menunjukkan Mess/Pasanggarahan Haranggaol milik Pemprovsu, yang sudah bertahun-tahun telantar.

”Lihat saja, milik pemerintah sendiri pun dilupakan dan ditelantarkan, tak dirawat, tak dikunjungi. Konon pula berharap pemerintah membenahi Haranggaol secara keseluruhan,” kata Sinaga sembari membawa METRO ke lokasi mess.

Pantauan METRO, mess yang dicat putih itu tampak tertutup. Atapnya sudah mulai aus. Tangga batu di depan mess juga sudah pecah dan berlumut. Kesan tidak terawat sangat terlihat. Pantai di bawah mess diselimuti sejumlah sampah.

Menurut Sinaga, mess itu sebenarnya ada penjaganya. Tapi diduga karena Pemprovsu sendiri tidak peduli, mess pun tidak terawat sebagaimana diharapkan. ”Tahun 60-an, saya masih ingat mess ini sering dikunjungi orang bule. Mereka sering beri permen pada anak-anak. Tapi lihatlah sekarang, sudah bertahun-tahun seakan tak ada pemilik,” cetusnya.

Warga Haranggaol lainnya, Jawakim Purba (48), kepada METRO mengatakan, jika ingin menghidupkan pariwisata di Haranggaol, pengelolaan wisata harus profesional. ”Pariwisata domestik, Haranggaol ada potensi. Pariwisata internasional, Haranggaol bisa dipotensikan. Tergantung pengelolaannya,” kata dia.

Menurut dia, pariwisata di Haranggaol bisa dijual jika dipadukan dengan Parapat, Samosir (Tomok, Ambarita), dan klain-lain. Misalnya, kalau mau ke Parapat atau Samosir, turis bisa dikondisikan lewat Haranggaol dulu. Sehingga Haranggaol dapat imbas dari kunjungan turis yang lewat. ”Konsepnya pariwisata terpadu. Untuk itu, perbaiki infrastruktur. Jalan tembus Haranggaol-Paraopat harus dibenahi. Jalur Haranggaol-Tongging yang sempat dimulai, juga harus diteruskan sampai selesai, sehingga waktu dan jarak tempuh semakin pendek. Selain itu, harus ada penyedia fasilitas pendukung wisata di Haranggaol. Kalau hanya menjual keindahan panorama Danau Toba, itu tak cukup,” cetusnya.

Ia berharap, wisata di Haranggaol bisa kembali bergeliat, meski diakuinya tak semudah membalik telapak tangan. ”Asalkan ada penataan secara profesional, pasti bisa,” cetusnya.

Jalan

Kondisi ruas jalan menuju obyek Wisata Haranggaol sepanjang 4 km dari simpang Haranggaol ke Kecamatan Haranggaol Horisan mulai rusak pada bagian badan jalan. Kondisi ini jika dibiarkan terus tanpa adanya perbaikan dari Pemkab Simalungun dikuatirkan kerusakan akan semakin parah.

Demikian keprihatinan tokoh masyarakat St Belson Purba yang juga Ketua PAC Partai Demokrat Kecamatan Haranggaol Horisan melihat kondisi jalan sebagai sarana tranportasi mulai mengalami kerusakan. Ditambahkan dengan kondisi jalan yang berliku dengan hiasan dinding dan jurang terjal di kanan kiri jalan sewaktu-waktu membahayakan kendaraan yang melintas.Dikatakan sejak terjadi kerusakan dan belum juga mendapatkan perhatian pemerintah, masyarakat harus menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi dari tarif biasanya. Sebagai daerah sentra pertanian Hortikultura dan perikanan tentunya kondisi ini akan mempengaruhi biaya pengiriman hasil pertanian dan perikanan yang berdampak kepada turunnya pendapatan masyarakat.

Diharapkan pemerintah serius menanggapi keluhan masyarakat dengan segera memperbaiki kondisi jalan yang mulai rusak dan di beberapa titik juga rawan longsor. Kami masyarakat juga heran dengan kualitas pembangunan jalan yang baru beberapa bulan diperbaiki sudah hancur dan rusak. Seharusnya pelaksanaan pembangunan dilakukan pengawasan yang ketat sehingga anggaran pembangunan tidak terlalu banyak yang menguap untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, ujarnya yang juga sebagai petani itu.

Kembalikan Haranggaol sebagai Sentra Produksi Bawang

Haranggaol pernah menjadi sentra produksi bawang di Sumut, di samping Samosir dan Muara. Tapi sejak hama yang menyerang tanaman bawang 2002, petani beralih ke keramba ikan. Padahal, bawang dianggap paling cocok dengan alam dan kultur setempat.

“Bisa dikatakan, saya disekolahkan dari hasil bawang,” kata St W Sinaga. Hal senada juga disampaikan Belson Purba (52) dan Jawakim Purba (48), warga Haranggaol Horisan. ”Rata-rata warga Haranggaol disekolahkan dari hasil bawang,” kata mereka, kompak.

Di bawah tahun 2000-an, Haranggaol termasuk sentra produksi bawang di Sumatera, bersama Samosir, Muara, Bakkara, dan lainnya. Tahun 70-an, 80-an, 90-an, kapal-kapal dari Samosir rutin datang ke Haranggaol, membawa komoditi pertanian khususnya bawang untuk dijual di sana. Agen-agen dari Medan pun datang ke Haranggaol untuk membeli bawang. Masa-masa itu merupakan masa-masa keemasan Haranggaol. Ada dua pekan besar tiap minggu, yakni Senin dan Kamis. Pekan Senin merupakan yang terbesar, disusul Pekan Kamis di posisi dua.

”Tapi sekarang, keramaian pada Pekan Senin itu bahkan tak lagi sampai setengahnya dari Pekan Kamis yang dulu. Bayangkan saja, betapa anjloknya suasana keramaian sekarang dibanding dulu,” kata Jawakim Purba.

Belson Purba menambahkan, warga Haranggaol mayoritas berpenghasilan dari sektor agraris. Petani keramba ikan paling hanya 15 persen dan PNS 1 persen. Selebihnya petani. Dan pertanian yang paling menonjol, dulunya adalah bawang. Bawang merupakan komoditas utama dan unggulan dari daerah itu. ”Bawang merupakan tanaman yang paling cocok dengan kondisi alam di Haranggaol. Tanah-tanah pertanian di daerah ini cenderung berbukit-bukit dan berbatu-batu. Ladang paling luas dalam satu dataran paling jago 5-6 rante. Selebihnya bertangga-tangga. Melihat kondisi alam itu, bawang merupakan tanaman paling cocok,” jelas Jawakim.

Selain dari struktur tanah, dilihat dari umur, bawang juga paling enak ditanam. Hanya 65 hari sudah bisa dipanen. Bandingkan dengan jagung yang butuh waktu 90 hari. Belum lagi dilihat dari harga, jelas bawang lebih mahal dibanding jagung. Tambahan lainnya, modal menanam dan merawat tanaman bawang relatif lebih murah. Dan secara kultur, masyarakat Haranggaol sudah mengenal dan berpengalaman bertanam bawang. ”Asalkan pintar mengolah tanah, mengatur rotasi tanaman, hasil bawang cukup memadai sebagai sumber penghasilan,” tambah Belson.

Hilangnya julukan sebagai sentra produksi bawang dari ’tangan’ Haranggaol, terjadi pascaserangan hama yang menyerang tanaman bawang pada 2002. Sejak itu, warga setempat jadi malas bertanam bawang, dan beralih menjadi petani keramba ikan.

Hasil dari keramba ikan sempat pula mencapai masa keemasan. Sayang, serangan Koi Herves Virus (KHV) yang menyerang ikan mas di keramba-keramba milik warga pada tahun 2004, mengakibatkan kerugian puluhan miliar. Modal-modal petani pemula amblas. Hal ini sempat melemahkan semangat warga untuk bertani ikan. ”Sementara untuk kembali menanam bawang, warga juga tidak bersemangat karena harga bawang sempat jatuh menyusul masuknya bawang-bawang impor dari Thailand, Philippina, dan Bombay,” jelas Belson.

Untunglah, untuk saat ini dan tahun-tahun ke depan, ada angin segar yang berembus ke petani bawang. Ada kabar, pemerintah melarang impor limbah daun bawang ke Indonesia. Kebijakan ini ditengarai akan memperbaiki harga bawang dalam negeri, karena harga bawang lokal dan bawang impor tentu akan bersaing.

”Selama ini, bawang-bawang luar negeri ’kan diimpor bersama daun-daunnya langsung dari petani di sana. Selama di kapal dan di gudang para importir, bawang dikipas agar tak busuk. Bawang-bawang itu bisa dijual murah di Indonesia karena tak ada biaya untuk upah pekerja memotong daun bawang, menjemur, dan sebagainya. Tetapi dengan adanya larangan impor limbah daun bawang, tentu importir harus mengeluarkan upah untuk pekerja memotong daun bawang. Nah, di Indonesia harganya tentu akan lebih mahal. Imbasnya, bawang lokal bisa bersaing. Dengan adanya angin segar tadi, kita berharap Haranggaol bisa kembali bangkit sebagai sentra produksi bawang,” harap Belson.

Untuk mendukung hal itu, Belson berharap Pemkab Simalungun memberikan dukungan dengan mendatangkan bibit unggul, kalau boleh dari Philippina. Karena bibit unggul dari negara itu dipercaya bisa menghasilkan produksi bawang lebih banyak dibanding bibit lokal. ”Dari satu hektare, bibit bawang Philippina bisa menghasilkan 15 ton bawang. Kalau bibit lokal, hanya 1 ton saja. Kalau Pemkab mau dan perlu agunan untuk penyediaan bibit luar negeri ini, petani siap mendukung,” cetusnya.

Bersamaan dengan dukungan penyediaan bibit ini, Pemkab melalui Dinas Pertanian juga diharapkan proaktif memberikan penyuluhan kepada petani. Misalnya, menyosialisasikan harga-harga di pasar, kapan sebaiknya bertanam, pemakaian pupuk dan pestisida yang tepat, dan sebagainya. Pemkab juga diharapkan memfasilitasi pupuk bersubsidi ke Haranggaol.

Melihat potensi harga bawang saat ini, Belson mengharapkan agar Pemkab benar-benar memberikan dukungan. Dan masyarakat pun diharapkan kembali antusias bertanam bawang, sehingga julukan Haranggaol sebagai sentra produksi bawang bisa kembali diraih. Untung juga bisa dinikmati.

Pasok 15 Ton Ikan per Hari

Di samping pertanian, khususnya tanaman bawang, Haranggaol juga sejak 5 tahun terakhir terkenal sebagai pemasok ikan nila dan ikan mas ke pasaran di Sumatera Utara. Ditengarai, dari ratusan keramba yang saat ini menyelimuti perairan Danau Toba di Haranggaol, setiap hari sekitar 15 ton ikan, baik nila maupun mas, dipasok ke pasaran Sumut.

Harga ikan nila di tingkat petani saat ini Rp15 ribu per kg ukuran standar, dan mas Rp22-25 ribu per kg, tergantung besar ikannya. Ikan merupakan salah satu sumber penghasilan utama di Haranggaol saat ini.

Namun belakangan, petani agak resah dengan kenaikan harga pellet ikan, yang dalam dua bulan terakhir naik dari Rp205 ribu per zak ukuran 50 kg, menjadi Rp297 per zak. Harga itu sebelum harga BBM naik. ”Dan dengan naiknya harga BBM hingga 28 persen, kami menduga harga pellet akan naik lagi. Sementara harga ikan belum tentu naik di pasaran. Inilah yang meresahkan petani,” kata Jawakim, yang juga petani keramba ikan di Haranggaol.

Jawakim memperkirakan, setiap hari petani keramba ikan di Haranggaol membutuhkan 16 ton pellet untuk memberi makan ikannya. ”Untuk itu, kita berharap Pemkab dapat memberi dukungan, misalnya dengan membangun pabrik pellet berbahan baku lokal, yang harganya masih bisa dijangkau petani. Karena kalau begini terus, keuntungan dari petani ikan akan anjlok drastis,” harapnya. (habis)

INDAHNYA PANORAMA ALAM HARANGGAOL

Kota Haranggaol merupakan salah satu tujuan wisata di wilayah Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara. Pada awal sekitar tahun 60-an hingga akhir tahun 70, daerah ini sangat ramai dikunjungi para wisatawan dalam negeri maupun manca negara.

Pada kurun waktu itu Pemda Simalungun sempat menikmati pemasukan retribusi wisatawan yang cukup menggembirakan. Bukan itu saja, bahkan masyarakat kota Haranggaol dan sekitarnyapun turut serta menikmatinya, dimana restoran atau kedai yang ada di daerah itu banyak dikunjungi wisatawan. Ditambah lagi dari hasil kebun seperti jeruk, mangga dan pisangpun laku.keras. Tentunya kunjungan wisata ini berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di kota Haranggaol dan sekitarnya. Dan untuk memenuhi biaya hidup masyarakat sehari-hari dan untuk membiayai pendidikan anak-anaknyapun tidak jadi soal pada waktu itu. Namun, mulai awal tahun 80-an, arus wisatawan yang berkunjung ke kota Haranggaol mulai menurun. Dan sekarang daerah Haranggaol seolah sudah dilupakan oleh wisatawan.

Kondisi ekonomi rakyat di Kecamatan Haranggaol saat ini sangat mengerikan. Bahkan meliputi seluruh pesisir horinon ini. Hasil panen bawang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanaman padi pun hampir tidak keliatan lagi karena mahalnya harga pupuk dan biaya produksi terus meningkat. Hasil panen juga tidak begitu menjanjikan karena kondisi tanah sawah dan ladang sudah semakin terkikis menjadi gersang. Ini disebabkan tekanan ekonomi yang sangat berat, sehingga sawah ladang mereka olah terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil tanaman bawang dan padi.

Saat ini panorama teluk Haranggaol sudah dihiasi dengan karamba (pembudidayaan ikan Nila dan ikan Mas). Hampir sepertiga teluk itu telah dipenuhi oleh karamba dan penempatannya pun tidak teratur. Hal ini mengakibatkan panorama pantai Haranggaol sebagai tujuan wisata yang indah menjadi rusak dipandang mata para wisatawan.

Nampaknya sulit untuk melarangnya. Saat ini tumpuan harapan sebagian masyarakat Haranggaol adalah bertani ikan di danau itu. Lumayan, harga ikan nampaknya agak stabil. Terus, bagaimana mereka yang tidak mempunyai modal? Tidak ada pilihan lain kecuali bertani mengolah sawah dan ladangnya. Celakanya, kalaupun hasilnya bagus, harganya murah. Pada saat harganya mahal, hasil panennya tidak begitu baik.

Kota wisata Haranggaol tidak jauh berbeda dengan Kota Parapat. Keduanya merupakan ibukota kecamatan. Keindahan panoramanya juga tidak jauh berbeda, karena sama-sama terletak di pinggir Danau Toba. Yang membedakan adalah bahwa Kota Parapat banyak dilintasi oleh kendaraan umum, baik angkutan antar propinsi maupun antar kota, dan sarana penunjang kepariwisataan lainnya tersedia di kota Parapat. Jalan raya dan sarana kepariwisataan di kota ini cukup baik dan memadai. Beda dengan Kota wisata Haranggaol, tidak memiliki sarana pariwisata yang memadai juga prasarana jalan rayanya sangat memprihatikan, sehingga mengurungkan minat para wisatawan berkunjung ke kota ini.

Semenjak Bapak Brigjen Radjamin Purba, SH (Alm.) menjabat sebagai Bupati Simalungun, jalan raya dari arah kota Seribudolok ke kota Haranggaol sangat bagus-mulus. Bukan hanya itu, pembangunan jalan yang menghubungkan kota Haranggaol dengan kota Parapatpun sudah berjalan hampir sampai Desa Tigaras. Meskipun badan jalan itu masih dalam konstruksi batu dan selokan pinggir jalan juga belum dibeton. Dan hingga saat ini, jalan tersebut belum pernah diaspal. Apabila jalan ini dapat diteruskan pembangunannya, sesuai rencana semula, para investor pasti akan melirik daerah wisata sepanjang pinggir jalan Danau Toba ini. Karena panoramanya tak kalah indahnya dengan pemandangan Grand Canyon di Amerika. Mereka akan tertarik untuk membangun hotel, motel dan villa-villa sebagai tempat berlibur dan peristirahatan disepanjang jalan tersebut.

Selama kurun waktu 30 tahun terakhir, telah terjadi beberapa kali pergantian Bupati Simalungun. Namun hingga saat ini, jalan tersebut tidak kunjung tembus sampai ke kota Parapat. Malah saat ini sudah kondisi jalan tersebut sudah rusak berat, karena tidak ada perawatan. Di sisi lain, sudah banyak biaya yang dikeluarkan Pemerintah untuk membuka jalan ini. Sekiranya jalan itu sudah tembus ke Parapat, maka potret kepariwisataan dan perekonomian penduduk wilayah itu tidak seperti sekarang ini, bahkan sudah jauh lebih baik.
Saat ini masyarakat kota wisata Haranggaol dan sekitarnya sangat mendambakan pembangunan di daerah ini agar tidak ketinggalan dari daerah lain. Salah satu pendekatan untuk mengejar ketertinggalan itu antara lain adalah melalui pembangunan sarana dan prasarana wilayah itu harus diperbaiki. Sudah saatnya dilakukan peningkatan kualitas infrastruktur jalan raya yang menghubungkan kota Haranggaol ke daerah lain di sekitarnya. Terutama jalan raya masuk ke kota Haranggaol dan dari Haranggaol ke Tigaras melalui Desa Bangunpurba, Sirungkungan, Simanindo, Tambun Raya, arah Timur kota Haranggaol sampai tembus ke kota Parapat perlu mendapat perhatian khusus dari Pemda Simalungun.

Kita semua berkeyakinan apabila pembangunan infrastruktur, sarana lainnya dapat segera direalisasikan oleh Pemda Simalungun, diharapkan kondisi pariwisata dan perekonomian masyarakat Haranggaol dan sekitarnya secara perlahan akan lebih baik dari sekarang. Dengan dilanjutkannya pembangunan jalan tersebut penghubung kota Haranggaol dengan kota Parapat itu, akan memperlancar arus transportasi dari dan ke Haranggaol. Bukan seperti sekarang ini, tidak ada alternatif jalan lain untuk masuk dan keluar kota Haranggaol. Inilah salah satu penyebab kota Haranggaol tertinggal. Dengan lancarnya transportasi di daerah itu, diharapkan kota Haranggaol dan desa di sepanjang jalan raya itu akan mudah diakses, dan mengingat potensi keindahan panorama Danau Toba di sepanjang jalan raya itu diharapkan akan ramai dikunjungi wisatawan dimasa yang akan datang.

Cepat atau lambat, pembangunan infrastruktur dan sarana lainnya akan memberikan dampak positif untuk menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata yang potensial seperti sediakala. Pulihnya pariwisata di kawasan ini akan berdampak positif pula terhadap peningkatan perekonomian dan secara perlahan-lahan akan dapat mengentaskan kemiskinan daerah wisata kota Haranggaol sekitarnya. Semoga!!(BlogSpotTondangJabodetabek, Selasa, 21 April 2010)surat_tongosan@yahoo.co.id
Media Cetak Tetap Unggul

Media Cetak Tetap Unggul

Goenawan Mohamad

SP/Alex Suban

Dunia pers saat ini berbeda dengan dunia pers di tahun-tahun yang lalu. Unsur-unsur baru mulai ikut ambil bagian di dalamnya dan perlahan mengubahnya. Demikian diungkapkan oleh wartawan senior Goenawan Mohamad kepada SP, Senin (25/1).

Perkembangan zaman dan teknologi memang tidak dapat dihindari. Semua harus dihadapi dengan bijaksana, begitu pula dengan media. Tetapi, yang terlihat selama ini sepertinya, media belum memanfaatkannya dengan tepat.

Goenawan mengklasifikasikan, unsur baru yang masuk dan mulai mengubahnya tersebut menjadi dua, yaitu televisi dan internet. Kalau dahulu, menurutnya, media yang paling merajai adalah media cetak, tetapi semakin majunya teknologi, membuat media-media baru juga berkibar, seperti televisi dan internet.

"Unsur baru, seperti televisi dan Internet, sangat berpengaruh karena mereka memiliki daya atau kekuatan melebihi media cetak," ungkap pria kelahiran Batang, Pekalongan Jawa Tengah 29 Juli 1941 ini.

Tetapi, lanjutnya, kedua unsur tersebut tetap memiliki kelemahan mendasar, sehingga membuatnya tidak secara penuh menguasai dunia informasi dan mengalahkan media cetak dalam hal pemberitaan. Media cetak tetap unggul.

Selanjutnya, pria yang dikenal sebagai sastrawan, esais, budayawan, dan wartawan ini, membagi kelebihan sifat televisi menjadi dua, yang membuatnya saat ini lebih diminati daripada media cetak dalam hal pemberitaan. Pertama, televisi langsung terlibat dalam suatu peristiwa. Dalam artian, televisi dapat membawa penonton seperti langsung melihat, bahkan mengalami suatu peristiwa.

"Berbeda dengan media cetak yang membutuhkan jeda bagi pembacanya untuk mengetahui suatu peristiwa dan juga memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir," jelas mantan Pemimpin Redaksi majalah Tempo ini.

Kedua, dengan semakin majunya teknologi, membuat berita yang disajikan di televisi lebih cepat atau ditayangkan langsung, sehingga penonton dapat dengan cepat mendapat informasi.

Hanya saja, pria yang terkenal dengan Catatan Pinggir (Caping) ini mengkritik apa yang dilakukan oleh media elektronik tersebut. Menurutnya, berita yang ditayangkan langsung terkadang tidak melewati penyuntingan, dan itu sangat mengkhawatirkan baginya.

Selain itu, penerapan sistem langsung tersebut juga mengakibatkan penerima informasi tidak memiliki cukup waktu untuk mencerna informasi yang masuk. Hal ini sangat disesalkan oleh jurnalis yang memiliki banyak karya itu, karena baginya, tidak membangun daya kritis para penerima informasi.

"Kecepatan menuntut jurnalis untuk cepat. Tetapi, jurnalis tersebut tidak selamanya siap. Karena tidak mudah membaca berita tanpa teks tertulis, kalau tidak terlatih. Bagaimana pun cepatnya, berita yang ditayangkan harus jelas dan akurat," ungkapnya.


Kemajuan Teknologi

Sementara itu, unsur kedua yang masuk dalam dunia pers saat ini adalah Internet. Lahirnya media online yang selalu memperbaharui beritanya setiap waktu, menurut pria yang akrab dipanggil Goen ini adalah suatu hasil dari kemajuan teknologi.

"Hampir sama dengan televisi, media online juga sangat membutuhkan kecepatan karena berita mereka harus diperbarui, bahkan setiap menit. Kecepatan ini juga yang membuat banyak kelemahan," ungkap pria yang mulai suka menulis sejak usia 17 tahun itu.

Kecepatan yang tidak terarah, lanjutnya, hampir sama dengan televisi yang membuat pembacanya berpikir tidak akurat mengenai informasi yang didapatnya karena tidak sempat mengeceknya lagi atau berpikir sejenak, tetapi langsung menelannya bulat-bulat.

Selain itu, hal ini juga semakin diperparah dengan para jurnalisnya yang asal tabrak. Dalam artian, tidak menyeleksi narasumber yang akan dimintai pendapat, karena dikejar-kejar dengan kecepatan tadi. Hasilnya, banyak narasumber yang tidak kompeten mengomentari suatu masalah.

"Saya sangat menyayangkan mereka yang tidak berkompeten, tetapi mau saja berbicara ketika ditanya oleh wartawan. Seharusnya, mereka mengetahui kapasitas dirinya. Sebagai contoh, diri saya sendiri. Waktu itu, ada wartawan yang bertanya kepada saya mengenai pilkada. Tetapi, saya menolak berkomentar, karena saya tahu kalau saya tidak memiliki kompetensi berbicara mengenai hal itu," kata pria yang juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini.

Melihat kenyataan itu, pria lulusan Sarjana Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini menganggap, media cetak harus mampu bersaing dengan kedua media tersebut. Jangan sampai terbawa arus kecepatan yang membuatnya tidak akurat.

"Media cetak berperan memberi alternatif, yaitu memberikan jarak yang bermaksud memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir, mengenai apa yang tertulis di dalamnya, sehingga membangun daya kritis pembacanya," ungkapnya.

Tetapi lanjutnya, teknologi tidak bisa dipersalahkan. Mengenai dampak teknologi di dunia pers saat ini, menurutnya, yang patut dipersalahkan adalah manusianya yang tidak bisa memanfaatkan teknologi secara tepat.

Terkait kecepatan yang semakin menjadi tuntutan itu, pria yang belajar Ilmu Politik di Belgia ini menegaskan, kalau jurnalis sekarang harus memiliki keahlian, sehingga berita yang dibuatnya jelas dan akurat.

Oleh karena itu, dia melanjutkan jangan pernah berhenti berlatih untuk menjadi jurnalis yang hebat dan jangan lupa melakukan riset terlebih dahulu sebelum menulis sebuah berita. [NOV/N-5]Goenawan Mohamad

SP/Alex Suban

Dunia pers saat ini berbeda dengan dunia pers di tahun-tahun yang lalu. Unsur-unsur baru mulai ikut ambil bagian di dalamnya dan perlahan mengubahnya. Demikian diungkapkan oleh wartawan senior Goenawan Mohamad kepada SP, Senin (25/1).

Perkembangan zaman dan teknologi memang tidak dapat dihindari. Semua harus dihadapi dengan bijaksana, begitu pula dengan media. Tetapi, yang terlihat selama ini sepertinya, media belum memanfaatkannya dengan tepat.

Goenawan mengklasifikasikan, unsur baru yang masuk dan mulai mengubahnya tersebut menjadi dua, yaitu televisi dan internet. Kalau dahulu, menurutnya, media yang paling merajai adalah media cetak, tetapi semakin majunya teknologi, membuat media-media baru juga berkibar, seperti televisi dan internet.

"Unsur baru, seperti televisi dan Internet, sangat berpengaruh karena mereka memiliki daya atau kekuatan melebihi media cetak," ungkap pria kelahiran Batang, Pekalongan Jawa Tengah 29 Juli 1941 ini.

Tetapi, lanjutnya, kedua unsur tersebut tetap memiliki kelemahan mendasar, sehingga membuatnya tidak secara penuh menguasai dunia informasi dan mengalahkan media cetak dalam hal pemberitaan. Media cetak tetap unggul.

Selanjutnya, pria yang dikenal sebagai sastrawan, esais, budayawan, dan wartawan ini, membagi kelebihan sifat televisi menjadi dua, yang membuatnya saat ini lebih diminati daripada media cetak dalam hal pemberitaan. Pertama, televisi langsung terlibat dalam suatu peristiwa. Dalam artian, televisi dapat membawa penonton seperti langsung melihat, bahkan mengalami suatu peristiwa.

"Berbeda dengan media cetak yang membutuhkan jeda bagi pembacanya untuk mengetahui suatu peristiwa dan juga memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir," jelas mantan Pemimpin Redaksi majalah Tempo ini.

Kedua, dengan semakin majunya teknologi, membuat berita yang disajikan di televisi lebih cepat atau ditayangkan langsung, sehingga penonton dapat dengan cepat mendapat informasi.

Hanya saja, pria yang terkenal dengan Catatan Pinggir (Caping) ini mengkritik apa yang dilakukan oleh media elektronik tersebut. Menurutnya, berita yang ditayangkan langsung terkadang tidak melewati penyuntingan, dan itu sangat mengkhawatirkan baginya.

Selain itu, penerapan sistem langsung tersebut juga mengakibatkan penerima informasi tidak memiliki cukup waktu untuk mencerna informasi yang masuk. Hal ini sangat disesalkan oleh jurnalis yang memiliki banyak karya itu, karena baginya, tidak membangun daya kritis para penerima informasi.

"Kecepatan menuntut jurnalis untuk cepat. Tetapi, jurnalis tersebut tidak selamanya siap. Karena tidak mudah membaca berita tanpa teks tertulis, kalau tidak terlatih. Bagaimana pun cepatnya, berita yang ditayangkan harus jelas dan akurat," ungkapnya.


Kemajuan Teknologi

Sementara itu, unsur kedua yang masuk dalam dunia pers saat ini adalah Internet. Lahirnya media online yang selalu memperbaharui beritanya setiap waktu, menurut pria yang akrab dipanggil Goen ini adalah suatu hasil dari kemajuan teknologi.

"Hampir sama dengan televisi, media online juga sangat membutuhkan kecepatan karena berita mereka harus diperbarui, bahkan setiap menit. Kecepatan ini juga yang membuat banyak kelemahan," ungkap pria yang mulai suka menulis sejak usia 17 tahun itu.

Kecepatan yang tidak terarah, lanjutnya, hampir sama dengan televisi yang membuat pembacanya berpikir tidak akurat mengenai informasi yang didapatnya karena tidak sempat mengeceknya lagi atau berpikir sejenak, tetapi langsung menelannya bulat-bulat.

Selain itu, hal ini juga semakin diperparah dengan para jurnalisnya yang asal tabrak. Dalam artian, tidak menyeleksi narasumber yang akan dimintai pendapat, karena dikejar-kejar dengan kecepatan tadi. Hasilnya, banyak narasumber yang tidak kompeten mengomentari suatu masalah.

"Saya sangat menyayangkan mereka yang tidak berkompeten, tetapi mau saja berbicara ketika ditanya oleh wartawan. Seharusnya, mereka mengetahui kapasitas dirinya. Sebagai contoh, diri saya sendiri. Waktu itu, ada wartawan yang bertanya kepada saya mengenai pilkada. Tetapi, saya menolak berkomentar, karena saya tahu kalau saya tidak memiliki kompetensi berbicara mengenai hal itu," kata pria yang juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini.

Melihat kenyataan itu, pria lulusan Sarjana Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini menganggap, media cetak harus mampu bersaing dengan kedua media tersebut. Jangan sampai terbawa arus kecepatan yang membuatnya tidak akurat.

"Media cetak berperan memberi alternatif, yaitu memberikan jarak yang bermaksud memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir, mengenai apa yang tertulis di dalamnya, sehingga membangun daya kritis pembacanya," ungkapnya.

Tetapi lanjutnya, teknologi tidak bisa dipersalahkan. Mengenai dampak teknologi di dunia pers saat ini, menurutnya, yang patut dipersalahkan adalah manusianya yang tidak bisa memanfaatkan teknologi secara tepat.

Terkait kecepatan yang semakin menjadi tuntutan itu, pria yang belajar Ilmu Politik di Belgia ini menegaskan, kalau jurnalis sekarang harus memiliki keahlian, sehingga berita yang dibuatnya jelas dan akurat.

Oleh karena itu, dia melanjutkan jangan pernah berhenti berlatih untuk menjadi jurnalis yang hebat dan jangan lupa melakukan riset terlebih dahulu sebelum menulis sebuah berita. [NOV/N-5](Suara Pembaruan, Rabu, 27 Januari 2010, Hiburan).