Jangan Ada Lagi Jamban Terbang



SP/Luther Ulag

Seorang warga memanfaatkan jamban terapung di Sungai Ciliwung, Jatinegara, Jakarta Timur, baru-baru ini. Selain itu, warga juga memanfaatkan sungai tersebut untuk mandi dan mencuci pakaian.

Jorok dan menjijikkan, namun sangat menggelitik. Itulah kesan pertama saat menyaksikan foto-foto gaya bebas masyarakat Indonesia membuang hajat, yang dipamerkan di sela-sela Pertemuan Puncak Sanitasi Kota se-Indonesia VI (City Sanitation Summit) di Jambi, pekan lalu.

Pengunjung dipaksa terenyum dan tertawa menyaksikan foto-foto berbagai model buang air besar sembarangan (BABS) di sungai, selokan, sawah, dan di jamban darurat sekitar rumah. Apalagi, dilampiri judul-judul yang menggelitik semisal enjoy saja dan mencari inspirasi.

"Ini fakta. Apa adanya, tetapi menarik juga. Foto-foto tersebut menunjukkan betapa buruknya sanitasi di tengah kehidupan masyarakat kita saat ini," kata Harlik, pejabat Pemkot Jambi mengomentari pameran foto tersebut.

Buruknya sanitasi yang terekam melalui pameran foto tersebut, ternyata bukan karena kesabaran tukang potret mengintip orang yang sedang buang hajat di jamban khas masyarakat miskin Indonesia. Tetapi itulah kondisi yang terjadi di sebagian besar daerah di Tanah Air. Orang kurang peduli masalah kebersihan dan kesehatan, sehingga mengabaikan bahaya membuang hajat, membuang sampah, dan membuang limbah rumah tangga secara sembarangan.

Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) Nasional, Handy B Legowo pada diskusi sanitasi tersebut mengemukakan, sanitasi di Indonesia tergolong sangat buruk. Cakupan pelayanan sanitasi terhadap masya- rakat Indonesia juga masih rendah.

Handy, yang juga menjabat Kepala Sub Direktorat Pengembangan Sistem Air Limbah, Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (PU) mengungkapkan, hampir 30 persen penduduk Indonesia saat ini masih buang hajat secara sembarangan.

Dari jumlah itu, sekitar 18,1 persennya tinggal di permukiman kumuh perkotaan. Secara akumulasi, hampir 60 juta penduduk Indonesia masih BABS.

Sebaliknya, penduduk yang telah merasakan pelayanan sanitasi dasar di per-kotaan baru mencapai 71,06 persen, dan di pedesaan sekitar 32,47 persen.

Sanitasi dasar yang yang baik tersebut antara lain air bersih, tempat pembuangan sampah, serta sarana mandi, cuci, kakus (MCK).

"Biasanya warga masyarakat BABS di jamban-jamban darurat khas Indonesia, seperti di pinggir kali, pantai, selokan, sekitar rumah, kebun, dan lapangan terbuka lainnya. Tak jarang warga yang tak punya fasilitas jamban, membuat jamban terbang. Buang hajat menggunakan penampung lalu di buang ke sembarang tempat, bahkan ada yang nyangkut di atas pohon," katanya.

Paling Buruk

Dilihat dari rendahnya cakupan pelayanan sanitasi, kata Handy, kondisi di Indonesia tergolong paling buruk di ASEAN. Cakupan pelayanan sanitasi di Indonesia masih berada di bawah Vietnam, Malaysia, dan Myanmar.

"Hal itu tercermin dari 98 persen tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Indonesia masih bersifat open dumping (terbuka dan tanpa pengolahan)," ujarnya.

Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang telah menikmati pelayanan sanitasi dasar saat ini baru mencapai 57 persen. Sedangkan Thailand sudah mencapai 96 persen, Malaysia 74,70 persen, dan Myanmar 64,48 persen. "Indonesia peringkat tujuh di ASEAN, hanya unggul dari Kamboja yang cakupan pelayanan sanitasi sekitar 28 persen," katanya.

Buruknya sanitasi, mengakibatkan 53 sungai yang menjadi sumber air bersih di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar. Sungai-sungai tersebut umumnya dijadikan tempat pembuangan air limbah domestik. Ironisnya, sebagian besar masyarakat menggunakan air yang sama untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, seperti memasak, mandi, dan mencuci.

Kondisi demikian mengakibatkan warga sangat rentan penyakit diare, polio, tipus, dan penyakit kulit. Sanitasi yang buruk dan air sungai yang tercemar tersebut memicu kematian akibat diare di Indonesia kini mencapai 100.000 orang per tahun.

Kerugian ekonomi akibat air sungai tercemar dan sanitasi yang buruk juga cukup besar. Berdasarkan penelitian Bank Dunia pada 2008, buruknya sanitasi di Indonesia mengakibatkan kerugian hingga Rp 56 triliun per tahun, atau sekitar 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto. "Pihak yang paling banyak dirugikan, ya, penduduk miskin juga," kata Menteri Pekerjaan Umum melalui Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Departemen PU, Susmono, saat membuka pertemuan.

Anggaran Kecil

Buruknya sanitasi di Indonesia sebenarnya tak lepas dari kecilnya anggaran pembangunan sanitasi selama ini. Dalam lima tahun terakhir, anggaran untuk sektor sanitasi kurang dari 1 persen dari volume belanja APBN dan APBD. Akibatnya, selama 30 tahun (1974-2004), anggaran sanitasi penduduk Indonesia rata-rata hanya Rp 200 per orang per tahun. Idealnya biaya sanitasi mencapai Rp 47.000 per orang per tahun.

Secara nasional, anggaran sanitasi setiap tahun hanya Rp 600 miliar. Padahal anggaran yang dibutuhkan untuk membangun sanitasi yang layak mencapai Rp 6 triliun.

Alokasi anggaran sanitasi pun cenderung kurang transparan, karena digabung dengan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) air minum. Akibatnya dana untuk pembangunan sanitasi selalu rendah, dan pembangunan sanitasi pun relatif sedikit.

Dari sekitar Rp 1,2 triliun DAK air minum dan sanitasi tahun 2009, hanya Rp 300 miliar atau 25 persen yang dialokasikan untuk pembangunan sanitasi. Karena itu selama tahun ini hanya 100 paket pembangunan sanitasi yang bisa dilaksanakan.

Pada akhirnya, percepatan pembangunan sanitasi sangat penting, bukan saja untuk membebaskan penduduk Indonesia dari kehidupan yang kumuh, tetapi juga karena menjadi salah satu program tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Program MDGs menetapkan, hingga tahun 2015 harus dapat mengurangi hingga separuh penduduk dunia yang tidak mempunyai akses berkelanjutan untuk memperoleh air minum dan sanitasi dasar.

Untuk itu, Departemen PU telah memisahkan anggaran dana air minum dan sanitasi dalam DAK. Mulai 2010, DAK sanitasi dialokasikan Rp 357 miliar. Dana tersebut akan dimanfaatkan membangun 1.000 paket sarana dan prasarana sanitasi di 449 kota dan kabupaten yang telah memiliki strategi sanitasi kota.

Selain itu, Departemen PU juga akan mengembangkan infrastruktur persampahan di 240 kabupaten/kota, pembangunan 1.500 unit fasilitas pengelolaan sampah, pengembangan infrastruktur drainase di 50 kabupaten/kota, serta normalisasi saluran drainase di 100 kabupaten/kota.

Langkah lainnya, mengkampanyekan pengelolaan sampah melalui pola 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (penggunaan kembali), dan recycle (pengolahan kembali). Upaya itu disertai pembangunan TPA sampah berwawasan lingkungan dan pengurangan genangan sekitar 22.500 hektare di 100 kota. [SP/Radesman Saragih](Suara Pembaruan, Sabtu, 31/10/09 : Halaman 1/Utama)
Memanjakan Pengunjung Museum di Kota Jambi

Memanjakan Pengunjung Museum di Kota Jambi

Rendahnya kunjungan wisata ke museum sebagai pusat wisata sejarah selama ini banyak dipengaruhi kurangnya kegiatan rekreasi yang digelar di arena museum. Masyarakat cenderung enggan berkunjung ke museum kalau hanya melihat-lihat benda-benda bersejarah yang dinilai banyak orang hanya barang kuno.

Kecenderungan seperti itu juga terjadi di dunia pariwisata Provinsi Jambi. Museum di daerah itu sepi kunjungan karena di museum sangat jarang digelar kegiatan rekreasi yang mampu menyedot perhatian pengunjung.

Menyikapi kondisi yang kurang mendukung pengembangan wisata sejarah itu, pihak Museum Negeri dan Museum Perjuangan Rakyat Jambi terus menggencarkan berbagai kegiatan rekreasi, seni, budaya, dan pendidikan di arena museum. Sasaran utama kegiatan tersebut umumnya anak-anak dan remaja.

Kepala Museum Perjuangan Rakyat Jambi Herman di Jambi, baru-baru ini menjelaskan, pihaknya telah beberapa kali menggelar kegiatan rekreasi, seni budaya dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah di arena museum tersebut. Tujuannya, tak lain untuk menggairahkan minat anak-anak dan generasi muda mengunjungi museum.

Lomba menggambar dan mewarnai tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) Kota Jambi digelar di arena museum di pusat kota itu, baru-baru ini. Setelah lomba tersebut, anak-anak diberi kesempatan melihat-lihat berbagai koleksi benda bersejarah di dalam gedung museum.

Kegiatan lain yang digelar di Museum Perjuangan Rakyat Jambi sebelumnya, yakni seminar sejarah perjuangan Jambi dan pameran teknologi tepat guna Juli - Agustus lalu. Secara insidentil, pihak Museum Perjuangan Rakyat Jambi juga bekerja sama dengan berbagai sekolah melakukan kegiatan ekstrakurikuler di museum tersebut. Semua kegiatan tersebut dijadikan sebagai perangsang minat generasi muda mengunjungi museum.

Pantauan SP, koleksi Museum Perjuangan Rakyat Jambi di Jalan Sultan Agung Kota Jambi sebenarnya tidak kalah dari koleksi museum di berbagai daerah di Tanah Air. Untuk wilayah Provinsi Jambi, koleksi Museum Perjuangan Rakyat Jambi paling lengkap.

Museum tersebut cukup layak dijadikan objek wisata sejarah andalan di Sumatera. Museum ini sering dijadikan barometer pengelolaan museum tingkat nasional karena koleksinya cukup lengkap. Pada pameran museum nasional di Sumatera Barat, Mei 2009, Museum Perjuangan Rakyat Jambi mampu memikat pencinta permuseuman karena koleksinya lengkap dan terawat.

Cukup Banyak

Museum yang diresmikan Presiden Soeharto tahun 1997 itu menyimpan koleksi cukup banyak. Koleksi tersebut, antara lain mata uang Kesultanan Jambi. Mata uang koin yang diperkirakan dibuat tahun 1840 itu bertuliskan Arab berbunyi "Sanat 1256".

Koleksi replika pesawat catalina RI 005 merupakan pesawat yang disewa oleh Dewan Pertahanan Daerah Jambi dari seorang mantan penerbang Royal Australian Air Force (RAAF) Kobley.

Pesawat itu digunakan untuk perjuangan mempertahankan dan melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pesawat tersebut menjadi pengangkut senjata, makanan, pakaian, dan perlengkapan militer serta sipil untuk wilayah Kota Jambi, Bukittinggi, Sumatera Barat, Rantauprapat, Sumatera Utara, Banda Aceh, Tanjungkarang, Provinsi Lampung, Yogyakarta, dan Singapura. Pesawat tersebut jatuh di Sungai Batanghari, dekat Desa Sijenjang, 29 Desember 1948.

Koleksi lain yang paling banyak mengisahkan heroisme dan patriotisme Jambi mengusir penjajah Belanda ialah patung, gambar, dan catatan sejarah perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin dengan senjata Keris Siginjei.

Keris yang dibawa Belanda ke Batavia setelah Sultan Thaha gugur, kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Keris Siginjei merupakan pusaka secara turun-temurun Kesultanan Jambi. Keris yang bersarung emas berhiaskan permata itu merupakan lambang pemersatu masyarakat Jambi. Sultan Thaha Syaifuddin menjadi sultan terakhir yang memiliki keris tersebut.

Kepala Museum Perjuangan Rakyat Jambi Herman menjelaskan, peninggalan sejarah yang menjadi koleksi unggulan dan masih terpeli-hara ialah patung, gambar, dan kisah perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin Jambi ser-ta replika pesawat terbang catalina.

Karena itu, pihaknya memajang patung, gambar, dan kisah perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin Jambi di ruang depan museum itu. Replika pesawat catalina dipajang di halaman depan museum agar bisa dilihat masyarakat yang melintas setiap saat.

Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mengatakan, benda-benda peninggalan sejarah yang tersimpan di seluruh museum di Jambi perlu dirawat dan diamankan agar jangan sampai rusak atau hilang. Benda-benda bersejarah di museum perlu dilestarikan agar dapat dijadikan sebagai bahan penyemaian nilai-nilai kejuangan dan nasionalisme di kalangan generasi muda.

Koleksi benda-benda bersejarah di museum Jambi banyak menyimpan kisah perjuangan rakyat Jambi mengusir penjajah. Kisah tersebut, kini banyak dilupakan masyarakat Jambi karena kehadiran museum semakin terabaikan.

"Untuk itu, museum ini harus bisa dikelola dengan baik. Pengelola museum perlu membuat paket-paket rekreasi sejarah yang menarik di arena museum agar pengunjung museum meningkat," katanya. [SP/Radesman Saragih](Suara Pembaruan, Sabtu, 7/11/09: Nusantara)
Srikandi Batik dari Jambi

Srikandi Batik dari Jambi

Keterpurukan usaha kerajinan batik tradisional di Jambi akibat lonjakan harga berbagai bahan baku beberapa tahun belakangan ini, ternyata tidak membuat Nafizah (30) patah arang. Pada saat pengusaha batik bertumbangan akibat mahalnya biaya produksi dan sulitnya pemasaran, usaha milik Nafizah, "Dua Putri" tetap eksis.
Nafizah mampu mempertahankan usaha yang dikelolanya sejak 1994. Kiatnya, tak henti membuat terobosan jitu mencari bahan baku alami dan murah untuk mengatasi mahalnya bahan baku pembuatan batik. Di antaranya, penemuan zat pewarna batik tradisional dari bahan-bahan alam seperti kulit kayu, bunga-bungaan, daun-daunan, dan buah-buahan. Zat-zat pewarna alam penemuan Nafizah tersebut meliputi kulit kayu bulian, kulit batang daun salam, daun salam, daun alpukat, daun mangga, buah mengkudu, bunga bugenvil, dan kulit buah jengkol.
Perjuangan Nafizah menemukan zat-zat pewarna alternatif itu ternyata tidak hanya mampu mengatasi kesulitan modal usaha sanggar batiknya. Penemuan itu justru melambungkan namanya di tingkat nasional. Anak bungsu dari lima bersaudara itu berhasil merebut gelar Juara II Pemuda Pelopor Tingkat Nasional tahun 2005.
Di rumahnya yang sekaligus menjadi sanggar batik di Kelurahan Jelmu, Kecamatan Pelayangan, Seberang Kota Jambi (Sekoja), Nafizah mengaku terpaksa melirik kulit kayu menjadi zat pewarna karena mulai kesulitan membeli zat-zat pewarna kimia. Srikandi batik dari Sekoja itu terpikir untuk memanfaatkan kulit kayu setelah mendapatkan masukan dari orangtuanya. Banyak kulit kayu di Jambi yang memiliki warna. Di antaranya kayu bulian dan kayu samak merah. Kulit kayu tersebut mudah diperoleh karena banyak yang hanyut di Sungai Batanghari selama ini.
Beberapa kali mencoba, usaha itu berhasil. Nafizah mencari jenis-jenis bahan lain untuk zat pewarna alami. Dia pun mencoba mengolah kulit kayu daun salam, daun salam, daun mangga, daun alpukat, bunga bugenvil dan buah mengkudu untuk zat pewarna.
Terakhir, menjelang lomba Pemuda Pelopor, Oktober 2005, ia mencoba mengolah kulit atau cangkang buah jengkol menjadi zat pewarna. Juga berhasil. Upaya itu yang mengantarnya masuk jajaran Pemuda Pelopor 2005 untuk kategori teknologi tepat guna. Sebelumnya, dia meraih gelar Juara I Pemuda Pelopor Kota Jambi dan Juara I Pemuda Pelopor Tingkat Provinsi Jambi.
Nafizah menjelaskan, zat-zat warna bahan-bahan alam itu bisa dimanfaatkan menjadi pewarna batik melalui proses sederhana. Bahan-bahan itu digiling terlebih dulu, kemudian diperas dan disaring. Pemantapan warna dilakukan dengan memasukkan kapur dari batu gamping. Kulit kayu bulian menghasilkan warna merah hati, buah mengkudu menghasilkan warna krem, dan kulit jengkol menghasilkan warna cokelat.
Kelemahan
Terobosan lain, di antaranya mengubah warna-warni batiknya menjadi lebih lembut seperti karakter warna batik Jawa. Namun, bukan berarti ia meninggalkan karakter cemerlang yang selama ini menjadi ciri khas warna batik tradisional Jambi. Paduan warna batik Jawa dengan Jambi itu menjadikan hasil kerajinan batik Nafizah diminati pasar, lokal, nasional, maupun luar negeri.
"Konsumen batik nasional dan internasional cenderung menyukai warna batik yang lembut dan menyejukkan. Peminat batik kami kebanyakan dari Jepang dan Australia. Mereka langsung memesan ke sini," ujar Nafizah, kelahiran Jambi, 12 Agustus 1976 itu.
Kelemahan batik Jambi di pasar nasional dan internasional selama ini menurut pendapatnya bukan karena kualitas produksinya. Kelemahan utama terletak pada corak warna yang terlalu norak, seperti merah menyala, kuning, biru, hijau, kuning, pink. Selain itu motifnya terlalu miskin.
Motifnya terlalu didominasi gambar durian pecah dan kembang. Produk bahan jadinya pun kurang modis. "Kelemahan-kelemahan itulah yang saya perbarui, sehingga tetap bisa mendapatkan pasar. Pembaruan saya lakukan karena pernah studi banding dan pelatihan ke beberapa sentra kerajinan batik di Yogyakarta, Jawa Tengah," ujarnya.
Ia mengakui, usaha kerajinan batik di Jambi saat ini memang benar-benar menghadapi masa sulit. Para perajin sulit memasarkan produksi karena permintaan terus merosot. Perajin sering hanya berproduksi bila ada pesanan. Kondisi demikian membuat usaha-usaha yang masih eksis saat ini mengurangi jumlah pekerja. "Saya kini mempekerjakan dua orang. Biasanya 20 orang per hari. Tujuh pekerja tetap dan 13 orang bekerja dengan gaji harian," ujarnya.
Saat ini rata-rata dalam satu bulan ia minimal bisa menjual 100 meter kain batik bahan katun, kualitas rendah, dan batik sutra. "Penghasilan kotor Rp 3 juta - Rp 4 juta per bulan. Kalau ada pesanan khusus minimal 100 meter penghasilan bisa mencapai Rp 10 juta sebulan," ujarnya.
Pendapatan sebesar itu pas-pasan. Sekitar Rp 2 juta untuk membayar cicilan pinjaman atau kredit dari PT Pertamina, sisanya untuk gaji pekerja dua orang minimal Rp 500.000 per orang sebulan dan modal membeli bahan.
"Penghasilan tambah kalau ada pesanan. Bulan ini saya mendapat penghasilan tambahan karena ada pesanan pembuatan batik dari Pemkab Tanjungjabung Barat, untuk seragam pada pameran ke Pekan Raya Jakarta bulan depan," katanya.
Mencintai
Kendati menghadapi masa sulit, Nafizah bertekad mempertahankan karena sudah telanjur mencintainya dan tidak ingin batik tradisional kekayaan budaya warisan nenek moyang itu punah.
Ia menyayangkan saat ini banyak remaja putri yang menekuni kerajinan batik banting setir. Mereka memilih bekerja di pusat-pusat perbelanjaan. Keadaan seperti itu dikhawatirkan membuat batik Jambi punah karena kehilangan kader-kader perajinnya. "Kalau di Jawa beda. Perajin tampaknya profesional. Kerajinan batik dijadikan penghasilan utama, bukan penghasilan sampingan seperti di Jambi. Inilah tantangan yang harus saya hadapi," ia menegaskan.
Nafizah mulai menekuni kerajinan batik setamat SMA Negeri 7 tahun 1993. Semula ia bekerja di sanggar milik orang lain dengan upah harian. Setelah beberapa tahun menekuni, dia mendirikan sanggar sendiri.
Modal awalnya pinjaman dari PT Pertamina sebesar Rp 10 juta. Pinjaman tersebut cepat bisa dilunasi karena usaha batiknya maju. [Pembaruan/Radesman Saragih]
Pesona dan Keindahan Pulau Berhala

Pesona dan Keindahan Pulau Berhala

PULAU Berhala adalah sebuah pulau kecil yang indah mempesona di Selat Berhala. Ada tiga pulau kecil dengan luas sekitar 0,25 hektar sampai 0,5 hektar mengelilinginya. Air lautnya biru dan jernih. Pantainya yang landai, sebagian merupakan hamparan pasir putih dan sebagian lagi berbatu. Sumur yang digali hanya sekitar 10-15 meter dari bibir pantai dengan airnya yang bening, tawar, dan tidak berbau.
SELAMA beberapa tahun, pulau yang sebagian lahannya ditumbuhi pohon kelapa ini, kepemilikannya dinyatakan status quo oleh pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri), karena diperebutkan oleh Provinsi Jambi dan Provinsi Riau.
Pengamatan Kompas menunjukkan, dari segi sumber daya alam, sesungguhnya Pulau Berhala tidaklah potensial. Potensinya yang menonjol adalah perikanan dari laut yang mengelilinginya. Selebihnya adalah lahan kosong yang gersang, dengan hamparan pasir kuarsa dan batu karang.
Potensi lainnya adalah pariwisata bahari, seperti memancing, menyelam, dan berlayar, karena keindahan pantai dan air lautnya yang biru. Khusus untuk kepentingan pariwisata bahari ini, Pulau Berhala memerlukan penataan, sentuhan, dan pembangunan berbagai fasilitas. Seperti sarana transportasi laut, dermaga, sarana komunikasi, pondok wisata, dan sebagainya. Sebagian besar dari luas pulau yang 200 hektar ini merupakan wilayah kosong, berbatu, dan pasir kuarsa. Di beberapa bagian hanya ada sedikit pohon kelapa.
Dengan kapal feri cepat atau speed-boat dari Kota Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Pulau Berhala bisa dicapai dalam dua jam perjalanan. Sedangkan dari Muaro Sabak, ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Timur, waktu tempuhnya sekitar satu setengah jam, dan kalau dari Nipahpanjang selama 45 menit perjalanan.
Jika berangkat dari Desa Sungai Itik, Tanjung Jabung Timur, waktu tempuhnya hanya 15 menit dengan pompong.
Pulau Berhala dinyatakan status quo sejak tahun 1984 karena Provinsi Riau mengklaim pulau itu masuk Kecamatan Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau. Sedangkan Provinsi Jambi mengklaim masuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sesungguhnya, sebagai negara kesatuan, tidak perlu ada silang sengketa dalam kepemilikan Pulau Berhala. Kedua provinsi hendaknya menyadari bahwa pulau ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemprov Riau yang memiliki ribuan pulau menganggap Pulau Berhala bagian yang tak terpisahkan dari gugusan Kepulauan Dabo Singkep, dan telah membangun sejumlah infrastruktur di pulau itu. Sementara Pemprov Jambi menganggap Pulau Berhala bagian yang tak terpisahkan dari Kerajaan Melayu Jambi. Datuk Paduka Berhala yang merupakan Raja Kerajaan Melayu Jambi dimakamkan di pulau ini. Secara geografis, letak Pulau Berhala memang dekat dari Provinsi Jambi, tepatnya 12 mil dari pantai Sungai Itik.
DENGAN disahkannya Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, status Pulau Berhala berubah. Dalam peta Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Berhala yang dihuni sekitar 60 keluarga itu tidak termasuk Provinsi Kepulauan Riau. Pulau itu masuk ke dalam wilayah Provinsi Jambi, yaitu berada di wilayah Desa Sungai Itik, Kecamatan Nipahpanjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dengan demikian, sengketa antara Provinsi Jambi dengan Riau tentang status kepemilikan Pulau Berhala diharapkan segera berakhir.
Keperluan sehari-hari penduduk pulau ini didatangkan dari Sungai Itik. "Sebuah gedung SD permanen dibangun oleh Pemprov Riau di pulau itu, namun hingga kini belum pernah dibuka. Tidak ada guru yang ditugaskan di tempat ini. Padahal, ada anak usia sekolah sekitar 20 orang," kata Ismael (75), penduduk Pulau Berhala.
Menurut Chalik (45), pemilik satu-satunya warung di Pulau Berhala, harga bahan kebutuhan pokok tidak tinggi karena didatangkan dari Nipahpanjang dan Dabo Singkep. "Di sini tidak ada tenaga medis, apalagi dokter. Kalau ada warga yang sakit dibawa berobat ke Nipahpanjang atau ke Sabo," kata Chalik.
"Perairan sekitar Pulau Berhala kaya dengan berbagai jenis ikan permukaan. Cocok untuk kegiatan memancing dan penangkapan ikan oleh nelayan. Di pulau ini kami membuat keramba besi untuk menampung ikan hasil tangkapan nelayan sebelum dijual agar harganya tidak jatuh," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi Herman Suherman kepada Kompas, akhir Maret lalu.
Kepala Biro Humas dan Umum Pemprov Jambi Syaifuddin Anang (sejak 28 Maret 2003 digantikan oleh Harun Saat) mengatakan, Pulau Berhala adalah bagian tidak terpisahkan dari Provinsi Jambi.
"Tidak mudah bagi Provinsi Jambi mengambil Pulau Berhala, kami memiliki bukti kuat bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Riau," kata Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau Djuharman.
Masalah Pulau Berhala masuk Provinsi Jambi atau Provinsi Riau, meskipun rumit, tetapi bukanlah persoalan sulit yang tidak bisa diselesaikan. Bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Pulau Berhala dan perairan Tanjung Jabung Barat serta Tanjung Jabung Timur dicantumkan sebagai tempat kunjungan wisata bahari yang dilaksanakan pada hari Minggu.
Kapal feri milik BUMD itu merencanakan melakukan pelayaran wisata satu kali seminggu ke pulau itu. Penduduk Provinsi Jambi yang umumnya jauh dari pantai, kini memiliki sarana untuk rekreasi ke laut, mengikuti pelayaran wisata bahari. Akankah "sengketa" kepemilikan Pulau Berhala antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Riau ibarat peribahasa orang pantai, "Bagaikan ombak perang dengan pantai. Entah kapan selesainya?" (NASRUL THAHAR)