Jangan Ada Lagi Jamban Terbang



SP/Luther Ulag

Seorang warga memanfaatkan jamban terapung di Sungai Ciliwung, Jatinegara, Jakarta Timur, baru-baru ini. Selain itu, warga juga memanfaatkan sungai tersebut untuk mandi dan mencuci pakaian.

Jorok dan menjijikkan, namun sangat menggelitik. Itulah kesan pertama saat menyaksikan foto-foto gaya bebas masyarakat Indonesia membuang hajat, yang dipamerkan di sela-sela Pertemuan Puncak Sanitasi Kota se-Indonesia VI (City Sanitation Summit) di Jambi, pekan lalu.

Pengunjung dipaksa terenyum dan tertawa menyaksikan foto-foto berbagai model buang air besar sembarangan (BABS) di sungai, selokan, sawah, dan di jamban darurat sekitar rumah. Apalagi, dilampiri judul-judul yang menggelitik semisal enjoy saja dan mencari inspirasi.

"Ini fakta. Apa adanya, tetapi menarik juga. Foto-foto tersebut menunjukkan betapa buruknya sanitasi di tengah kehidupan masyarakat kita saat ini," kata Harlik, pejabat Pemkot Jambi mengomentari pameran foto tersebut.

Buruknya sanitasi yang terekam melalui pameran foto tersebut, ternyata bukan karena kesabaran tukang potret mengintip orang yang sedang buang hajat di jamban khas masyarakat miskin Indonesia. Tetapi itulah kondisi yang terjadi di sebagian besar daerah di Tanah Air. Orang kurang peduli masalah kebersihan dan kesehatan, sehingga mengabaikan bahaya membuang hajat, membuang sampah, dan membuang limbah rumah tangga secara sembarangan.

Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) Nasional, Handy B Legowo pada diskusi sanitasi tersebut mengemukakan, sanitasi di Indonesia tergolong sangat buruk. Cakupan pelayanan sanitasi terhadap masya- rakat Indonesia juga masih rendah.

Handy, yang juga menjabat Kepala Sub Direktorat Pengembangan Sistem Air Limbah, Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (PU) mengungkapkan, hampir 30 persen penduduk Indonesia saat ini masih buang hajat secara sembarangan.

Dari jumlah itu, sekitar 18,1 persennya tinggal di permukiman kumuh perkotaan. Secara akumulasi, hampir 60 juta penduduk Indonesia masih BABS.

Sebaliknya, penduduk yang telah merasakan pelayanan sanitasi dasar di per-kotaan baru mencapai 71,06 persen, dan di pedesaan sekitar 32,47 persen.

Sanitasi dasar yang yang baik tersebut antara lain air bersih, tempat pembuangan sampah, serta sarana mandi, cuci, kakus (MCK).

"Biasanya warga masyarakat BABS di jamban-jamban darurat khas Indonesia, seperti di pinggir kali, pantai, selokan, sekitar rumah, kebun, dan lapangan terbuka lainnya. Tak jarang warga yang tak punya fasilitas jamban, membuat jamban terbang. Buang hajat menggunakan penampung lalu di buang ke sembarang tempat, bahkan ada yang nyangkut di atas pohon," katanya.

Paling Buruk

Dilihat dari rendahnya cakupan pelayanan sanitasi, kata Handy, kondisi di Indonesia tergolong paling buruk di ASEAN. Cakupan pelayanan sanitasi di Indonesia masih berada di bawah Vietnam, Malaysia, dan Myanmar.

"Hal itu tercermin dari 98 persen tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Indonesia masih bersifat open dumping (terbuka dan tanpa pengolahan)," ujarnya.

Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang telah menikmati pelayanan sanitasi dasar saat ini baru mencapai 57 persen. Sedangkan Thailand sudah mencapai 96 persen, Malaysia 74,70 persen, dan Myanmar 64,48 persen. "Indonesia peringkat tujuh di ASEAN, hanya unggul dari Kamboja yang cakupan pelayanan sanitasi sekitar 28 persen," katanya.

Buruknya sanitasi, mengakibatkan 53 sungai yang menjadi sumber air bersih di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar. Sungai-sungai tersebut umumnya dijadikan tempat pembuangan air limbah domestik. Ironisnya, sebagian besar masyarakat menggunakan air yang sama untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, seperti memasak, mandi, dan mencuci.

Kondisi demikian mengakibatkan warga sangat rentan penyakit diare, polio, tipus, dan penyakit kulit. Sanitasi yang buruk dan air sungai yang tercemar tersebut memicu kematian akibat diare di Indonesia kini mencapai 100.000 orang per tahun.

Kerugian ekonomi akibat air sungai tercemar dan sanitasi yang buruk juga cukup besar. Berdasarkan penelitian Bank Dunia pada 2008, buruknya sanitasi di Indonesia mengakibatkan kerugian hingga Rp 56 triliun per tahun, atau sekitar 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto. "Pihak yang paling banyak dirugikan, ya, penduduk miskin juga," kata Menteri Pekerjaan Umum melalui Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Departemen PU, Susmono, saat membuka pertemuan.

Anggaran Kecil

Buruknya sanitasi di Indonesia sebenarnya tak lepas dari kecilnya anggaran pembangunan sanitasi selama ini. Dalam lima tahun terakhir, anggaran untuk sektor sanitasi kurang dari 1 persen dari volume belanja APBN dan APBD. Akibatnya, selama 30 tahun (1974-2004), anggaran sanitasi penduduk Indonesia rata-rata hanya Rp 200 per orang per tahun. Idealnya biaya sanitasi mencapai Rp 47.000 per orang per tahun.

Secara nasional, anggaran sanitasi setiap tahun hanya Rp 600 miliar. Padahal anggaran yang dibutuhkan untuk membangun sanitasi yang layak mencapai Rp 6 triliun.

Alokasi anggaran sanitasi pun cenderung kurang transparan, karena digabung dengan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) air minum. Akibatnya dana untuk pembangunan sanitasi selalu rendah, dan pembangunan sanitasi pun relatif sedikit.

Dari sekitar Rp 1,2 triliun DAK air minum dan sanitasi tahun 2009, hanya Rp 300 miliar atau 25 persen yang dialokasikan untuk pembangunan sanitasi. Karena itu selama tahun ini hanya 100 paket pembangunan sanitasi yang bisa dilaksanakan.

Pada akhirnya, percepatan pembangunan sanitasi sangat penting, bukan saja untuk membebaskan penduduk Indonesia dari kehidupan yang kumuh, tetapi juga karena menjadi salah satu program tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Program MDGs menetapkan, hingga tahun 2015 harus dapat mengurangi hingga separuh penduduk dunia yang tidak mempunyai akses berkelanjutan untuk memperoleh air minum dan sanitasi dasar.

Untuk itu, Departemen PU telah memisahkan anggaran dana air minum dan sanitasi dalam DAK. Mulai 2010, DAK sanitasi dialokasikan Rp 357 miliar. Dana tersebut akan dimanfaatkan membangun 1.000 paket sarana dan prasarana sanitasi di 449 kota dan kabupaten yang telah memiliki strategi sanitasi kota.

Selain itu, Departemen PU juga akan mengembangkan infrastruktur persampahan di 240 kabupaten/kota, pembangunan 1.500 unit fasilitas pengelolaan sampah, pengembangan infrastruktur drainase di 50 kabupaten/kota, serta normalisasi saluran drainase di 100 kabupaten/kota.

Langkah lainnya, mengkampanyekan pengelolaan sampah melalui pola 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (penggunaan kembali), dan recycle (pengolahan kembali). Upaya itu disertai pembangunan TPA sampah berwawasan lingkungan dan pengurangan genangan sekitar 22.500 hektare di 100 kota. [SP/Radesman Saragih](Suara Pembaruan, Sabtu, 31/10/09 : Halaman 1/Utama)

0 Response to "Jangan Ada Lagi Jamban Terbang"

Posting Komentar