Memikul Salib di Kebun Sawit




Warga GKPS se-Provinsi Jambi beribadah di tenda darurat ketika merayakan pesta Pekabaran Injil di GKPS Simpang TKA 44 Bungo, Jambi, baru-baru ini. Mereka terpaksa beribadah di tenda darurat, karena gereja mereka yang dibangun di lahan kebun sawit tidak diberi izin oleh pemerintah daerah setempat dan merekapun menggunakan rumah penduduk (foto kiri bawah) untuk beribadah dengan berpindah-pindah.

Usaha perkebunan kelapa sawit yang mulai berkembang di Provinsi Jambi sejak tahun 1990-an benar-benar bagaikan magnet bagi warga masyarakat Batak, Sumatera Utara (Sumut). Cerahnya prospek perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, membuat orang Batak berduyun-duyun membuka kebun sawit di daerah tersebut.

Perjuangan berkebun sawit tersebut membawa ratusan warga masyarakat Batak di Jambi itu, kini menjadi lebih baik. Namun, ternyata kehidupan kerohanian mereka cukup memilukan.

Mereka tidak bisa mempunyai tempat ibadah yang layak karena sulitnya membangun rumah ibadah. Warga masyarakat Batak beragama Kristen di sentra-sentra kebun sawit di Jambi sulit membangun rumah ibadah karena terbentur masalah izin.

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pembangunan Rumah Ibadah, pembangunan rumah ibadah diperbolehkan, jika telah mengantongi tanda tangan warga setempat minimal 60 jiwa dan telah memiliki warga jemaat minimal 90 jiwa. Namun, persyaratan tersebut, jelas tak bisa dipenuhi, karena jumlah warga Batak di daerah perkebunan sawit Jambi umumnya bermukim secara menyebar.

Ketua Majelis Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Gloria Simpang TKA, St Lilik Suhaeri, jumlah anggota jemaat di GKPS Gloria Simpang TKA hingga saat ini baru 31 kepala keluarga (KK), terdiri dari 135 jiwa. Tempat tinggal mereka terpisah-pisah di lokasi perkebunan karet dan kelapa sawit, Dusun Baru, Petenan, Kecamatan Jujuhan, Kabupaten Bungo. Karena itu, mengumpulkan tanda tangan warga sebanyak 90 jiwa di sekitar lokasi gereja sulit. Apalagi mengumpulkan tanda tangan warga setempat sekitar 60 KK.

Mereka sudah hampir 10 tahun berusaha mendirikan gereja. Namun, tetap gagal sampai sekarang. Bahkan, beberapa kali gereja darurat yang mereka bangun dirobohkan orang tidak bertanggung jawab di daerah itu.

"Kami sudah melakukan pendekatan secara adat kepada tokoh masyarakat dan aparat pemerintah serta anggota dewan agar bisa mendapat izin membangun gereja di kebun sawit kami sendiri. Tetapi, hasilnya nihil sampai sekarang," katanya.

Gereja yang mereka bangun beberapa kali dibongkar paksa orang-orang tidak bertanggung jawab di desa itu. Sampai sekarang, mereka tidak mendapatkan izin membangun gereja, kendati lokasinya sudah ada di kawasan perkebunan dan jauh dari permukiman masyarakat beragama lain.

Beribadah di Rumah

Menurut Lilik, sejak gereja GKPS Simpang TKA 44 dibongkar paksa oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Jujuhan tahun 1997, mereka terpaksa beribadah secara berpindah-pindah setiap Minggu dari rumah ke rumah hingga saat ini. Keadaan yang sama juga dialami warga GKPS Desa Suka Makmur, Kecamatan Babeko, Kabupaten Bungo di Suka Makmur.

Selama satu tahun terakhir sekitar 29 KK (120 jiwa) warga jemaat GKPS Suka Makmur terpaksa beribadah secara berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Gereja yang mereka bangun secara darurat tidak diizinkan digunakan lagi. Larangan penggunaan gereja itu datang dari pemerintah desa setempat.

Ketua Majelis Jemaat GKPS Sukamakmur St A Sidabalok kepada SP di Jambi, baru-baru ini mengatakan, kesulitan membangun rumah ibadah tersebut menyulitkan mereka membina kerohanian anak-anak. Sebagian besar anak-anak mereka sudah menginjak bangku sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA).

"Kami tidak tahu ke mana membawa anak-anak mendapatkan pembinaan kerohanian kalau gereja tidak ada. Beribadah di rumah-rumah, anak-anak harus ikut orang dewasa. Sementara mereka perlu sekolah minggu. Nilai agama anak-anak juga sulit mengurus, karena sekolah-sekolah negeri tidak memberi pelajaran agama Kristen," katanya.

Memikul Salib

Sidabalok mengatakan, kesulitan mendirikan rumah ibadah yang sudah berlangsung hingga puluhan tahun tersebut, tidak menyurutkan niat mereka untuk beribadah. Kendati harus beribadah secara berpindah-pindah dari rumah ke rumah setiap hari Minggu, sebagian besar warga jemaat selalu hadir.

Selain itu, mereka juga selalu mengikuti kegiatan gereja di tingkat GKPS Resor Jambi dan GKPS Distrik VI, Riau setiap tahun. Baik kegiatan yang dilaksanakan di GKPS Pekanbaru, Riau, GKPS Jambi, GKPS Batam dan GKPS Palembang, Sumatera Selatan.

"Mungkin kesulitan mendirikan rumah ibadah ini merupakan salib yang harus kami pikul di kawasan perkebunan kelapa sawit ini. Mudah-mudahan keadaan yang kami alami tidak selamanya begini," katanya.


Sementara itu, Pendeta GKPS Resor Jambi Rayon II Muarabungo, Pdt Edwin Sinaga STh pada Sinode Resort GKPS Jambi di Jambi, baru-baru ini menjelaskan, warga jemaat GKPS Suka Makmur tidak bisa lagi menggunakan gereja papan mereka, karena dilarang pemerintah desa dan kecamatan. Pelarangan penggunaan gereja tersebut tidak jelas. Masalahnya, selama ini gereja tersebut sudah digunakan dan tidak ada larangan. Izin masyarakat setempat sudah ada kendati jumlah warga yang memberikan tanda tangan tidak sebanyak yang diharuskan SKB dua menteri.

Disebutkan, alasan utama masyarakat dan pemerintah setempat melarang penggunaan gereja tersebut, hanya masalah izin dan perilaku masyarakat perantau asal Sumut di daerah itu. Izin bangunan gereja itu tidak ada, karena masyarakat sekitar tidak mau menandatangani kesediaan membangun gereja di sekitar desa mereka.

Secara terpisah Prases GKPS Distrik VI, Pdt Hot Imanson Sinaga STh mengingatkan warga GKPS di Jambi, khususnya di Simpang TKA 44 dan Suka Makmur senantiasa menjalin kerukunan dengan warga beragama lain di daerah itu. Kerukunan ini dinilai penting guna menciptakan kerja sama segenap elemen masyarakat desa dalam membangun desa mereka.

"Kehadiran warga GKPS di sini jangan menyusahkan aparat pemerintah dan mengancam umat lain. Tetapi sebaliknya, warga GKPS harus mampu menjadi mitra pemerintah, tokoh masyarakat, dan agama lainnya untuk membangun desa ini,"katanya.

Hot Imanson Sinaga mengakui, umat Kristen di beberapa daerah di Sumatera jarang mendapatkan izin tertulis dari masyarakat dan pemerintah untuk membangun gereja. "Saya sudah melihat itu di Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi ini. Sekarang kita harus berani membangun gereja, tetapi tidak dengan cara pemaksaan dan unjuk kekuatan. Kita bangun gereja dengan kerendahan hati, yakni membangun gereja dengan bangunan seadanya," ujarnya.

Dikatakan, berdasarkan SKB dua menteri, umat Kristen di suatu tempat bisa mendirikan gereja kalau jumlah mereka mencapai 90 orang. Tetapi, hal itu tidak begitu saja bisa dilaksanakan di lapangan karena umat Kristen harus berhadapan dengan masyarakat setempat yang berbeda agama, suku, dan kelompok. [SP/Radesman Saragih]*** [Suara Pembaruan, Sabtu, 4/4/09, Faith and Life]

1 Response to "Memikul Salib di Kebun Sawit"